{Chapter 24}

645 91 21
                                    

A/n: Gila memang, tapi ini kenyataannya. Ide muncul ketika malam. Dan aku pikir ini udah ganti hari, hehehehe.

 Dan aku pikir ini udah ganti hari, hehehehe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Claude

Athanasia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Athanasia

Herina / You

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Herina / You

.
.
.
.

Tidak hentinya senyuman Athanasia luntur, meski Claude sudah mengubah kembali ekspresinya seperti semula, setidaknya kebahagian Athanasia semakin bertambah ketika ada Herina disampingnya.

Ngomong-ngomong, ketika dikehidupan sebelumnya, sebelum semua kembali berubah seperti semula. Bukankah ini adalah pose di mana Athanasia mengingatnya? Saat itu bukan Herina, namun Zenith yang duduk disampingnya.

Di mana ketika Athanasia masih menyandang nama belakang milik Zenith. Meski kini sudah berubah seperti awal, entah ada apa. Tapi intinya, bukankah bukan waktu yang pas jika mengingatnya kembali?

Benar ... Athanasia terlalu sibuk mengubah alur dalam cerita, hingga lupa bagaimana caranya bahagia. "Papa ... bukankah kami sangat mirip?" Claude yang semula menatap Danau disekelilingnya, kini kembali menoleh kearah Athanasia.

"Hm ...." Jawaban yang terbilang singkat, namun dengan Claude menjawab seperti ini cukup membuat Athanasia tersenyum lebar. Herina sedari tadi masih sibuk dengan dunianya sendiri, gadis muda itu memutar berulang kali gagang besi payung yang dia bawa.

Rasanya dia tidak asing dengan suasana ini. Entah kenapa, ada suatu hal yang memang membuat Herina nyaman ketika bersama sang Adik—Athanasia dan Claude. "Athy ... bunga apa itu?" Bukan hanya Athanasia, Claude ikut menatap gadis itu.

Keempat pasang manik kristal biru tersebut memandang kearah bunga yang berada ditengah air, rasanya memang sangat familier. "Ah ... kenapa? Aku tidak tahu namanya, tapi sewaktu kecil ... aku pernah terjatuh dari atas perahu karena ingin mengambil bunga tersebut."

Herina yang mendengarnya langsung saja menatap Athanasia khawatir, perihal dia baru tahu hal ini sekarang. Tentu saja, jika dia ada pada saat itu, mungkin dirinya masih bisa menarik Athanasia dari air.

"Lalu? Apakah ... kau baik-baik saja?" Sedikit menjeda waktu untuk menjawab, namun selepasnya Athanasia mengangguk. "Iya! Papa menolongku." Herina mengikuti arah pandang Athanasia, maniknya menatap Claude dan tersenyum kecil.

Berterima kasih didalam hatinya kepada sang Raja, karena telah menyelamatkan Athanasia saat itu. "Ya ... meski memang agak terlambat, nyaris saja aku kehilangan napas," lanjut Athanasia meski dengan sedikit berbisik.

Herina dan Athanasia tertawa kecil bersama, entahlah ... Namun cerita itu membuat keduanya ingin tertawa saja. "Ada apa?" Pertanyaan Claude langsung membuat tawa keduanya berhenti, lebih memilih untuk sama-sama sibuk dengan aktifitasnya masing-masing.

"Apa kalian senang?" Setelah beberapa menit dalam keheningan, Athanasia dan Herina saling bertatap pandang, kemudian kembali menatap Claude dengan mata yang memancarkan kebahagiaan.

"Sangat menyenangkan, Papa!" Athanasia yang menjawabnya, dengan antusias dia mengepalkan kedua tangan—seakan memang menunjukkan bahwa gadis bersurai emas ini sangat semangat dan bahagia.

Claude tersenyum, kemudian dirinya menatap kearah Herina. Benar ... Manik mata itu ... Bukan manik biasa, memiliki kecerahan kristal seperti manik miliknya dengan Athanasia, namun dengan warna merah muda delima yang Diana miliki.

Merasa terus diperhatikan, Herina sedikit canggung, seraya berkata, "apa ... ada masalah dengan saya, Papa?" Claude hanya membalasnya dengan gelengan kepala, lalu tersenyum kecil.

Memang mengejutkan ketika melihat Claude seperti ini. Tapi, Athanasia lebih unggul. Dirinya sudah mendapatkan senyuman Claude lebih dari satu kali. Haruskah Athanasia menyombongkan itu kepada Kakaknya? Tidak perlu. Itu hal yang biasa.

Mungkin lain kali Herina juga akan mendapatkannya kembali. "Papa ... setelah turun dari perahu, kita akan kemana?" Arah pandang Claude kini menatap kearah si bungsu Athanasia, kemudian menunjuk kearah tiga kursi dengan satu meja bundar didekat tepian Danau sana.

Tidak lupa, sudah ada Felix, Lily, Hannah, dan Seth juga. Mereka yang akan melayani keluarga bahagia ini.

Ngomong-ngomong soal keluarga bahagia ... Memang keluarga yang bahagia benar ada nyatanya, ya?

Mari kita beralih kepada Tuan putri yang menyedihkan di sini. Zenith, rasanya omong kosong merasakan keluarga bahagia yang dia inginkan. Kamarnya memang tidak jauh dari Danau tersebut.

Di mana sangat merasa pedih ketika melihatnya. Dia mengepalkan kedua tangan kuat-kuat. Seharusnya hanya dia yang berada di sana, bersama Claude. Setidaknya, biarkan dia yang menempati posisi Herina.

Semakin hancur hidupnya. Benar ... Putri yang sesungguh bukan dia, namun Athanasia dengan Herina. Lalu ... Jika perkataan Roger ada benarnya, Putri macam apa Zenith ini?

Bahkan beberapa kali dirinya selalu berpikir. Apa benar aku ini anak kandung Ayah? Rasanya bahkan Ayah tidak pernah melihat kearahku, apa karena perlakuanku yang buruk terhadap Athy? Aku melakukan ini karena hanya takut, takut jika perhatian Ayah hanya untuk dia saja, tapi kali ini? Bukan hanya kepadanya, bahkan Ayah peduli kepada saudari kembarnya. Tapi ... Bukankah aku juga saudari Athanasia?, pikirnya dengan air mata yang berderai.

Blair, pelayan pribadinya bahkan enggan untuk menenangkan Zenith seperti Lily yang selalu ada untuk Athanasia. Wanita itu rasanya ingin sekali bergabung dengan kawanan Lily. Lebih berwarna dibandingkan mengikuti Tuannya yang angkuh ini, itu pikirnya.

Zenith masih sibuk menatap keluarga bahagia itu diatas balkon. "Zenith ... kehidupan keluarga kerajaan sedikit suram untukmu ... mungkin. Tapi, raihlah apa yang kau inginkan agar bisa tercapai. Sekalipun melakukan hal yang sangat-sangat salah."

Teringat perkataan sang Paman dari Alphaeus, memang benar adanya. Jika Zenith memang Anak kandung sang Kaisar, bukankah seharusnya dia mendapatkan kasih sayang juga?

Benar ....

Perkataan Roger semakin membuatnya semangat kembali, bergerak untuk bangkit dari kelemahannya. Gadis itu mengusap air mata secara kasar, berjalan melangkah mendekat kearah cermin, menatap dirinya sendiri dengan percaya diri.

"Aku juga sama-sama anak Papa ... jika begitu kenyataannya, maka aku juga pantas mendapatkan apa yang seharusnya aku dapatkan."

A/n: Yang salah di sini itu Roger :") Ngapain ngajarin gak bener? Heum banget ya bapaknya Izekiel ini 😠

Chapter selanjutnya akan diupdate besok, ya-! ^^

Look at me! || WMMAP FANFICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang