1. Hukuman Permainan

737 67 4
                                    

- Trailer Jakava Story -

-----------------------------------------


COBA AGAK CAPER KE BU YUNI. ADA KEJUTAN MENANTI.

Livia mendesis membaca isi buntalan kertas yang Dian lempar ke arahnya. Dengan wajah manyun ia melirik wali kelasnya yang tengah duduk manis di depan meja guru, menulis sesuatu di buku batik besarnya. Livia menggelengkan kepala. Dian pasti sudah gila memintanya membuat rusuh pada guru yang jelas-jelas dikenal galak seantero Jakava.

Kelas begitu hening. Semua anak tampak sibuk mengerjakan tugas yang Bu Yuni berikan seperempat jam sebelumnya. Livia meremas kertas tadi hingga kembali menjadi bulat, berniat melempar balik ke si pengirim yang kedapatan terus melihatnya.

"Ayo! Buruan!" Dian berseru tanpa suara dari kejauhan. Tangannya bergerak-gerak bak tukang parkir, menyuruh Livia agar cepat menurutinya.

Livia nyaris memutar mata. Kalau saja dirinya tak kalah dalam permainan semalam, tentu ia tak perlu repot-repot menanggapi segala ocehan Dian. Setiap malam Senin, Livia dan lima temannya selalu mengadakan permainan yang ujung-ujungnya sering diakhiri dengan tantangan sebagai hukuman.

Livia masih ingat benar saat minggu lalu Nessa yang kalah harus datang ke sekolah dengan rambut kepang dua ala gadis desa selama sepekan. Belum lagi kacamata kuno dengan bingkai berantai emas yang harus ia kenakan selama berangkat dan pulang sekolah. Nessa sampai jadi bulan-bulanan adik kelas gara-gara penampilan konyolnya.

"Gue pikir minggu ini Nessa lagi yang bakal kalah," ucap Dian tadi malam saat permainan menyebalkan itu berakhir.

"Kenapa harus gue?" sahut Nessa, cemberut pun nadanya tak senang. "Makasih ya udah bikin gue sampai diejek adik kelas. Gue bahkan jadi punya julukan baru dari anak-anak kelas 10 itu. Mbak-mbak dari jaman 70-an."

Andin yang duduk bersila di sebelah Livia tertawa kencang. "Padahal Dian udah nyiapin rencana yang lebih oke kalau lo kalah lagi, Ness. Sayang banget malah Livia."

"Emang hukumannya apa?" tanya Maya. Ia sedari tadi bersimpuh di samping kanan Dian, bersandar di balkon lantai dua rumahnya tempat mereka biasa melakukan permainan. "Karena bukan Nessa yang kalah, apa hukumannya jadi mau diganti gitu?"

Semua anak langsung menatap Dian. Termasuk Hera yang sejak permainan berakhir hanya fokus pada ponselnya.

"Nggak sih. Kayaknya Livia juga oke buat dapetin hukuman ini," jawab Dian dengan senyum ganjil. "Coba lo hubungi nomor ini, Liv!"

Livia yang sudah lesu melirik Dian curiga. "Nomor siapa nih?"

Dian mengangkat bahu. "Nggak seru dong kalau gue kasih tahu sekarang," ucapnya, menyembunyikan senyum. "Yang pasti, lo mesti ngajak kenalan pemilik nomor ini. Disaksikan semua yang ada di sini."

"Kenapa sih hukuman harus selalu dari lo?" protes Nessa tiba-tiba. "Sesekali gue juga pengin ngasih tantangan kalau yang lain kalah."

"Iya nih. Gantian dong. Masa lo terus tukang ngasih hukumannya?" sambung Andin.

Dian mengibas tangan tak peduli. "Gue belum pernah kalah, kan? Sesuai perjanjian, artinya gue masih jadi pemegang kendali permainan ini."

"Perjanjian yang mana?" Hera berceletuk sinis. Ia sendiri belum pernah kalah dalam permainan seperti halnya Dian, akan tetapi ia jarang mengusulkan hukuman.

Permainan MingguanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang