8. Jepit Merah

139 49 7
                                    

"Sebagian besar orang tua murid menolak keputusan kepala sekolah untuk memindahkan kegiatan belajar mengajar ke luar daerah. Bahkan dikabarkan para murid SMA Jakava akan mengadakan demo besar-besaran untuk menentang keputusan tersebut. Pemilik SMA Jakava, Jaka Hardiningrat, memilih untuk tidak menanggapi...."

Livia cepat mematikan layar TV yang tengah menayangkan berita tentang sekolahnya itu. "Sepanjang hari di mana-mana ini terus yang muncul. Kepala gue sampai pusing denger aja," keluhnya seraya melempar remote ke sofa.

"Gimana sama bokap lo, Liv? Lo dibolehin pergi ke Jawa?" tanya Andin. Ia tengah meminum larutan penyegar yang baru diambil dari kulkas.

"Mereka justru pada seneng. Katanya tinggal di asrama dan jauh dari orang tua bagus buat melatih mental dan kesiplinan," ujar Livia, mengangkat bahu. Semua anak tahu jika ia sering menjenguk rumah walau malamnya ia akan pulang ke tempat Maya.

"Sama!" Nessa dari ruang tamu tiba-tiba menyahut. “Mama sama papa malahan setuju banget. Soalnya Temanggung kan deket banget sama Magelang. Jadi katanya biar gue bisa lebih sering jenguk eyang."

"Orang tua gue nggak terlalu peduli sih," ujar Maya, muncul di belakang Nessa. "Mereka lebih tertarik ngurusin bisnis. Yang penting gue bisa tetap makan dan punya tempat tinggal yang baik udah cukup bagi mereka."

Greeekkk!

Mendadak terdengar suara bantingan pintu dari dapur. Sontak anak-anak itu terdiam. Pintu belakang telah dikunci dari dalam, jadi tak mungkin seseorang bisa masuk. Terlebih kelima penghuninya kini tengah berada di ruang yang sama. Namun di sana seperti ada seseorang berjalan, kemudian suara seretan di lantai terdengar. Tak lama setelah itu, pintu kamar Nessa dan almarhum Dian yang berada di lantai atas terbuka sendiri.

"Gue bilang juga apa? Rumah ini sekarang jadi serem," Andin meringsek pada Hera yang asyik dengan ponselnya sejak tadi.

"Orang mati itu udah punya alam sendiri," jawab Hera, tak terpengaruh.

"Tapi, orang yang meninggalnya nggak wajar dan penyebabnya ditutupi, bisa jadi arwahnya nggak tenang," bisik Livia sambil melihat ke pintu kamar yang terlihat dari ruang tengah di bawah.

"Berhenti ngomong kayak gitu, Livi! Gue nggak suka ada yang ngebahas horor di sini," tengah Maya. Ia memang selalu tersinggung setiap kali yang lain menganggap rumahnya jadi seram.

"Gue bukannya sok horor, May. Gue cuma ngerasa nggak tenang. Rasanya gue nggak bisa tidur nyenyak lagi tiap malam. Gue takut," balas Livia pelan.

"Lo ngerasa nggak tenang?" Dalam sekejap Maya menatap ganjil Livia. "Jangan-jangan lo yang ngelakuin itu, makanya lo ngerasa dihantui Dian!"

"Apa?" Tentu saja Livia kaget Maya yang biasanya membelanya menuduh begitu. "Jangan munafik! Sekarang coba gue tanya yang lain. Apa kalian bisa tenang tinggal di sini semenjak Dian nggak ada?"

Sesaat Andin membuang muka kala Maya menatapnya. "Livi bener, gue emang sering takut tiap kebangun tengah malam. Gue juga suka merinding pas di dapur sendirian. Padahal gue sering bangun paling pagi buat bikin sarapan."

"Gue apalagi," Nessa menyambung. "Gue jadi nggak berani tidur di kamar sendiri. Baru masuk aja udah nggak tenang," ujarnya. Sejak kematian Dian, Nessa menempati satu kamar ukuran kecil di bawah yang tadinya dijadikan tempat buku-buku bekas.

"Terus lo semua mau pergi dari sini? Kalian nggak betah tinggal di rumah gue lagi?" kata Maya marah. "Oke. Pergi aja kalau itu yang kalian mau! Silakan pulang ke rumah bokap nyokap lo! Terserah kalian aja!" serunya lantas membanting pintu kamar.

Nessa, Andin, dan Livia saling bertatapan. Mereka bisa maklum jika Maya kesal. Apabila mereka pergi, maka Maya akan tinggal di rumah ini sendirian. Dulu yang pertama mengusulkan agar mereka tinggal bersama memang orang tua Maya. Mereka sering sekali bepergian ke luar negeri mengurus pekerjaan. Memang kadang seminggu sekali Maya menginap di apartemen orang tuanya waktu mereka pulang, tapi ia bilang mereka tetap sibuk sendiri.

Permainan MingguanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang