20. Jangan Coba-coba

164 52 16
                                    

***

Jam kosong setelah pelajaran Bahasa Inggris lagi-lagi Livia kehilangan Andin dan Nessa. Pagi sebelum bel, ia sudah berpikir telah terjadi hal buruk pada mereka. Namun sesaat setelah bel berbunyi, dua anak itu masuk kelas berbarengan dengan Bu Yuni. Keduanya begitu tergesa.

Hari ini jam pertama dan kedua diisi ulangan Bahasa Indonesia. Setelahnya pelajaran Matematika, semua anak sibuk mengerjakan tugas 50 soal dari Pak Hanan. Waktu istirahat sampai nyaris tertunda. Livia sama sekali tak punya kesempatan untuk mengajak Andin ataupun Nessa berbicara. Sekarang di saat jam kosong keduanya juga langsung pergi keluar kelas, seolah sengaja tak ingin berhadapan dengannya.

Maya bilang mereka berdua sedang asyik mencari tahu soal kakak kelas yang kabarnya naksir Hera, tapi tentu saja Livia tak percaya. Sambil uring-uringan Livia meneguk botol mineral di mejanya. Baru saja Maya pergi bersama Terri untuk membicarakan kegiatan PMR yang pekan ini kembali diaktifkan. Sedangkan Hera ikut Endru menghadap Pak Alex, hendak membahas lomba olahraga antar sekolah yang diadakan pemerintah setempat.

"Eh, cacing gelang!" Fiyan tahu-tahu telah berdiri di dekat mejanya saat Livia menoleh. "Gue masih penasaran sama kejadian yang bikin lo pingsan sore itu. Apa lo bener-bener nggak punya feeling siapa yang udah mukul lo?"

Livia menatapnya aneh. "Bukannya gue udah pernah jelasin di depan lo dan yang lain, ya?" sahutnya malas. "Tapi kalau lo mau denger yang sebenarnya, feeling gue orang itu lo."

"Oh ya? Kalau niat mau ngebuli lo, gue pastinya bakal terang-terangan di hadapan banyak orang. Ngapain berlagak kayak pshyco?" Fiyan berkata lantang walau tahu Livia tak sungguh-sungguh menuduhnya.

Sebentar Livia mengawasi keadaan kelas yang cukup sepi. Kebanyakan anak memang senang main keluar saat jam bebas seperti ini. "Biar kecurigaan Hera nggak nular ke gue, coba sekarang lo jawab jujur. Sore itu apa yang lo lakuin setelah pergi dari acara ulang tahun Bonnie? Kenapa lo cuma jalan-jalan aja, nggak langsung balik ke asrama? Lo pasti sebenarnya punya tujuan, kan?"

"Gue nyariin lo," jawab Fiyan setelah cukup terdiam. "Endru bilang lo nanyain gue sebelum dia nyamperin gue bareng Maya. Jadi karena nggak betah di kafe lebih lama gue mutusin buat nyari lo. Tapi lo nggak ketemu biar gue udah jalan ke sekeliling asrama."

"Nyariin gue?" ucap Livia dengan tatapan tak mengerti. "Endru aja didengerin. Lo seriusan percaya gue nanyain lo apa?"

"Kenapa mesti nggak percaya?" Fiyan terlihat hampir memutar mata. "Sebelumnya kan lo baru aja ngomong naksir sama gue. Kali aja lo mau nyatain cinta."

"Hikh, sumpah!" Livia sampai kesulitan memberi tanggapan Fiyan mengatakan hal itu dengan percaya dirinya. Merasa konyol sekaligus tak masuk akal, alhasil tak ada yang bisa Livia lakukan selain tertawa.

"Oke, makasih udah nggak ngebiarin gue ketawa lebih lama," kata Livia kemudian sadar Fiyan kelihatan jengkel. "Kalau gitu gue mau tanya satu hal lagi."

"Apa imbalannya kalau gue mau jawab?" sahut Fiyan datar, tapi tatapannya menantang.

Livia mendecak. "Jarang-jarang kita bisa ngobrol baik-baik kayak gini. Tapi baik lah, sebagai pribadi yang paham budi pekerti, lo boleh nanya balik gue atau minta sesuatu sebagai imbalan habis ini."

Walau tak mengangguk Fiyan menampakkan muka tak keberatan.

"Apa alasan lo ketemu sama Dian di kafe sebelum dia meninggal? Apa diam-diam kalian dekat dan ada hubungan?"

"Gue ketemu Dian cuma buat urusan tugas sekolah. Gue sama dia kan satu kelompok dalam pelajaran Ekonomi sama Bahasa Jepang. Emang lo nggak tahu apa?" sahut Fiyan ketus. "Lagian itu bukan pertama kalinya gue ngomongin tugas di luar sama dia."

Permainan MingguanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang