17. Taxi

142 53 26
                                    

---

Di waktu yang sama ketika Livia berada di alam masa lalu, tubuhnya telah dibawa oleh Lutvi dan yang lain ke klinik. Jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Pak Alex dan Bu Yuni menyuruh anak-anak itu untuk kembali ke asrama, tapi beberapa dari mereka tentu menolak.

"Biarin saya nemenin Livi, Pak. Saya juga nggak bakalan bisa tidur misalkan balik ke asrama," bujuk Andin.

"Bener, Pak. Paling nggak kami harus lihat Livi sadar dulu," tambah Maya.

"Tapi kalian nggak bisa ramai-ramai di klinik begini," timpal Pak Alex. "Ayo, kalian ikut saya pulang ke asrama sekarang! Sebentar lagi lampu akan dimatikan. Livia biar ditemani Andin sama Hera aja, teman sekamarnya. Dokter Yulian akan mengawasi di sini juga. Dokter kan sudah bilang Livia nggak kenapa-napa, jadi jangan kuatir. Besok pagi kalian bisa ke sini lagi, kan?"

Nessa dan Maya yang dipaksa keluar oleh Pak Alex tampak enggan pergi. Di muka pintu yang terbuka, Rezha, Lutvi, Varis, dan Fiyan serta Endru tak melakukan protes walau sepintas juga keberatan.

"Nanti gue bakal langsung ngabarin kalau Livi udah siuman," ujar Hera pada Nessa dan Maya. "Makasih udah bantu nyari sampai malam," lanjutnya pada Lutvi dan yang lain.

Nessa yang masih terlihat berat diam saja saat Maya menarik tangannya. Ia memandang Livia yang terbaring lemah di ranjang klinik dengan mata tertutup. Tiba-tiba Nessa melihat kepala Livia bergerak.

"Livi mulai sadar!" seru Nessa, seketika membuat semua orang menengok.

Benar saja. Kedua mata Livia kini telah terbuka. Dengan gerakan cepat ia lalu menegakkan punggung, mengamati semua orang yang ada di sekitarnya.

"Liv, lo baik-baik aja? Apa yang terjadi sama lo?" tanya Andin segera. Namun aneh, Livia diam saja. Tatapannya tajam dan gelap, seperti bukan dirinya. Ia melihat satu persatu temannya, kemudian beralih pada para cowok yang sudah hampir keluar dari pintu.

"Pembunuh!" Mendadak Livia berkata geram. "Pembunuh!" Ia lalu berteriak marah. Sambil mencengkeram selimut tipis yang menutupi kakinya ia menjerit lagi. "Kenapa harus mati? Kenapa ... gue harus dibunuh? Kenapa?!"

"Dian?" serta merta Nessa membelalak menatap Livia yang terisak sendiri. "Dian, ini lo kan?"

"Ness, jangan ngaco!" Maya menahan lengannya saat anak itu hendak mendekati Livia. Namun Nessa memberontak dan langsung menghampiri Livia.

"Dian ...?" sebut Nessa terbata. Sebelum ia sempat menyentuh, mata Livia tiba-tiba memejam lagi, kemudian ia ambruk dan kembali tak sadarkan diri.

"Sebaiknya kalian semua tunggu di luar atau silakan kembali dulu ke asrama. Saya akan memeriksa lagi keadaan Livia," ujar Dokter Yulian, yang masuk ke ruangan mendengar kegaduhan itu. "Sepertinya Livia mengalami syok. Selain itu dia juga agak demam. Mungkin karena dia kedinginan cukup lama di luar. Biarkan dia istirahat."

Kali ini mereka tak menolak. Pada akhirnya hanya Dokter Yulian dan seorang asistennya yang malam itu menjaga Livia.

***

"Lo udah salah cari musuh. Dian dilawan," ucap Dian melalui telepon. Ia lalu tertawa, tak bisa dipastikan ucapannya hanya bercanda atau sungguh-sungguh. "Kayaknya Fiyan udah balik barusan. Nggak tahu juga kalau dia masih di depan. Kami datang sendiri-sendiri. Gue? Eum, masih di kafe. Mau langsung balik rencananya."

Livia mulai mengerti, sepertinya dirinya kini tengah di alam mimpi. Setelah sebelumnya ia berada di kantor guru SMA Jakava lama, sekarang ia melihat Dian tengah duduk di sebuah kafe, menerima telepon seseorang. Dari pembicaraan mereka jelas bahwa ia baru saja bertemu Fiyan.

Permainan MingguanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang