12. Minta Tolong

131 51 7
                                    

---

"Hah, Fiyan?" Serempak Andin dan Hera berseru saat Livia menceritakan apa yang diketahuinya dari Lutvi, malam menjelang tidur.

"Tapi kalian jangan kasih tahu siapapun soal ini. Kak Lutvi bilang ini tuh sebenernya rahasia. Nessa sama Maya juga nggak usah dikasih tahu. Mereka kan masih sok main detektif di belakang kita. Jadi kali ini biar gue yang nyari tahu penyebab meninggalnya Dian. Gue sebagai orang yang paling sering dituduh sebagai pembunuh nggak bisa tinggal diam. Siapa tahu Fiyan emang kunci dari kasus ini," ujar Livia serius.

"Tapi aneh juga," komentar Hera. "Setahu gue, Fiyan sama Dian nggak ada apa-apa. Di kelas aja jarang gue lihat mereka ngobrol-ngobrol akrab."

"Bener. Lagian Fiyan kan bukan tipe cowok incaran Dian," sahut Andin setuju. "Terakhir setelah putus sama Felix, Dian sih bilangnya pengen coba gaet Brian."

"Maksud lo Brian Stewart?" tanya Livia dan Andin mengangguk. "Yah, kalau Brian sih emang tipe Dian banget," gumamnya. Brian si anak blasteran Inggris dari 11 Seni-1 belakangan menjadi buah bibir SMA Jakava. Jelasnya sejak sinetron yang tengah dibintanginya sukses menarik perhatian pemirsa. Namun Brian terpaksa keluar dari Jakava ketika berita pindah lokasi diumumkan. Sebab ia harus tetap syuting sinetronnya yang tayang tiap hari di Jakarta.

Paginya Livia mulai melakukan penyelidikan terhadap Fiyan. Awalnya ia memanggil Endru, mencoba menggali informasi darinya. Namun Endru malah kelihatan bingung. Agaknya Fiyan memang merahasiakan kenyataan bahwa dirinya ikut diperiksa polisi dari siapapun. Termasuk dari Endru, sahabatnya.

"Ada apa sih? Cepet ya, gue nggak punya banyak waktu," ucap Fiyan ketus. Begitu jam istirahat berbunyi, Livia memintanya mengobrol sebentar. Jadilah mereka berdua berhadapan di pojok koridor lantai dua yang jarang dilalui orang.

"Gue mau lo jujur sama gue," ucap Livia, menimbang-nimbang. Ia tak tahu bagaimana cara memulai pembicaraan yang mengarah kepada kasus Dian. Jika langsung ke pokok pertanyaan, ia yakin Fiyan akan langsung meninggalkannya.

"Jujur soal apa?" Fiyan, sembari mengernyit menatap Livia tak mengerti.

"Soal ... cewek yang belum lama ini deket sama lo," ucap Livia pelan. Tentu saja hal itu membuat Fiyan terkaget-kaget sampai mukanya hampir tertawa.

"Gue nggak salah denger nih?" katanya, menunjukkan raut geli yang jarang diperlihatkan. Terutama di depan Livia. "Ngapain lo mau tahu cewek yang lagi deket sama gue segala? Gue boleh ngakak nggak, sih? Naksir lo sama gue?"

Mati-matian Livia menahan diri untuk tak mengutuk cowok itu. Ia paham jika Fiyan jadi berpikiran begitu, sebab dirinya pun merasa aneh dengan pertanyaannya. Akan tetapi ia tak punya ide lain.

"Yah, terserah lo aja," Livia melirik arah samping. "Ini tuh sebenarnya bukan gue yang mau tahu, tapi ada temen gue yang naksir sama lo. Ehm, temen gue dari kelas lain. Dia nggak berani tanya sendiri, makanya sebagai anak yang sekelas sama lo gue diminta bantuin dia," alasannya kemudian.

"Emang ada temen lo dari kelas lain?" Fiyan menatap Livia tak percaya. "Teman lo kan cuma itu-itu aja."

"Eh, ngejek lo ya? Gue juga punya lah kenalan dari kelas lain. Emang nggak terlalu akrab sih, tapi tetap aja kan dia layak disebut teman," sangkal Livia. "Jadi gimana? Ada cewek yang lagi deket sama lo nggak? Lo belum punya pacar, kan?"

"Sori, gue males jawab!" jawab Fiyan seraya bersiap pergi. "Udah ya, nggak penting banget lo ngajak gue nyepi gini cuma buat ngomongin hal nggak mutu."

"Hei, bentar dulu dong!" cegah Livia. "Tinggal jawab aja kan bisa. Nanti gue harus ngomong apa ke teman gue coba?"

"Bukan urusan gue. Suruh aja dia maju sendiri," sahut Fiyan cuek sambil mulai berlalu.

Permainan MingguanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang