5. Saling Curiga

171 55 13
                                    

"Kalian tahu ke mana kemarin Dian pergi?" tanya Pak William, pria berkebangsaan Jerman yang sudah tinggal di Jakarta hampir 20 tahun. Muka tegasnya tampak sayu mengetahui anak perempuannya telah tiada.

"Kemarin sore Dian cuma bilang ke kafe buat ketemu teman, Om, tapi kami nggak tahu siapa temannya itu," jelas Andin seraya mengusap air matanya yang masih saja mengalir.

Saat ini jenazah Dian telah dibawa ke rumah sakit. Pihak keluarga mengira Dian mengalami serangan jantung karena sejak kecil anak itu mempunyai masalah dengan kesehatan organ dalamnya. Namun mereka tetap akan menunggu hasil pemeriksaan dokter untuk mengetahui penyebab pastinya.

"Lalu gimana keadaan Dian waktu pulang? Apa dia mengeluh sakit atau semacamnya?" tanya Pak William lagi, memandang sekilas lalu lalang orang di sekitar lobi rumah sakit.

"Kami nggak tahu, Om. Jam 9 malem Dian belum juga sampai rumah, padahal dia janji cuma mau pergi sebentar. Jadi kami mutusin buat tidur dulu karena Dian bawa kunci cadangan," terang Livia. "Nessa yang satu kamar aja nggak tahu kapan Dian pulang."

"Di mana Nessa?" Pak William bertanya setelah tak menemukan anak itu dari empat gadis yang berada di hadapannya.

"Sementara Nessa dibawa pulang ke rumah orang tuanya dulu, Om. Kayaknya Nessa terlalu syok karena Dian yang jadi teman sekamarnya tiba-tiba nggak ada," ujar Maya sedih.

Malam kembali datang. Suasana rumah terlihat dingin mencekam. Tak ada suara musik, tak ada canda tawa atau pun ribut-ribut seperti yang biasa terdengar. Setelah selesai menghadiri acara pemakaman, Livia, Maya, Andin dan Hera tak banyak berbincang. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Nessa sendiri dikabarkan masih istirahat di rumahnya. Agaknya ia masih syok berat atas ketiadaan teman sekamarnya.

"May, lo belum tidur kan?" bisik Livia ketika hanya terdengar detak jarum jam di kamar mereka.

"Kenapa?" Maya yang telah berselimut perlahan membalik badan ke arah ranjang Livia di seberang.

"Itu ..., gue rasa ada yang aneh soal Dian," kata Livia, terdengar ragu. "Di antara kita berlima nggak ada yang tahu kapan Dian pulang. Padahal kalau pintu depan dibuka, paling nggak pasti ada suaranya, kan?"

"Kita semua kan udah tidur. Apalagi lo, lo kalau tidur kuping sering disumpelin headset. Jadi gimana lo bisa tahu Dian pulang?" jawab Maya tanpa bergerak.

"Iya sih, tapi Andin bilang dia keluar buat ngambil minuman di kulkas sekitar jam dua. Dia bilang nggak ada tanda-tanda Dian udah pulang apa belum. Dian kan pakai sepatu hak. Nggak mungkin kan Dian sampai kamarnya tanpa suara?" Livia menatap Maya sambil menahan napas, menenangkan hatinya yang bergetar.

"Iya juga," Maya termenung sejenak. "Tapi bisa aja kan Dian udah pulang sebelum Andin bangun? Udah ah, lo jangan mikir yang nggak-nggak. Gue jadi makin nggak bisa tidur, nih."

Livia hanya mengembus napas menyaksikan Maya membalik badannya lagi ke arah dinding. Ia juga kesulitan tidur, sama halnya dengan anak itu. Sedari tadi ia hanya membolak-balik dengan pikiran ke mana-mana. Padahal sudah jam sebelas lebih.

Merasa sia-sia berdiam diri dalam selimutnya, Livia memutuskan untuk keluar kamar. Ia sedang menuju dapur untuk membuat susu hangat saat menyadari Hera dan Andin juga masih terjaga. Mereka tengah berbisik-bisik di sofa ruang tengah.

"Jadi menurut lo, Dian dibunuh orang?" ucap Andin yang tertangkap telinga Livia.

"Gue cuma ngerasa ada yang nggak beres," Hera menggumam.

"Nah, kan?" Serta merta Livia bergabung dengan mereka. "Gue juga ngerasa gitu, Ra. Ada yang aneh sama meninggalnya Dian."

Hera dan Andin tak begitu kaget oleh kedatangan Livia yang tiba-tiba. Mereka cuma menolehnya sesaat lantas kembali berhadapan dengan raut serius.

Permainan MingguanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang