9. Menginap

143 51 5
                                    

"Lo ... serius lo lupa?" tanya Livia setelah beberapa detik hanya mampu terpana.

"Lo tahu sendiri kan gue nggak suka pakai jepit kayak gitu? Karena jarang gue pakai jadi gue lupa naruhnya di mana. Entar deh, gue cari lagi pas di rumah. Atau besok aja sekalian beresin barang di asrama. Kali aja keselip di salah satu barang-barang gue," ujar Hera tenang. Ia lalu mengajak Livia cepat meninggalkan dapur karena Maya sudah memanggil mereka.

***

Livia berhenti di depan pintu rumahnya. Ia mencampakkan dua koper yang ia bawa dari tempat Maya lantas mengintip lewat kaca jendela. Sepi. Tampaknya mamanya sedang tidak ada di rumah. Padahal ia sudah bilang bahwa hari ini ia akan pulang sebelum besok berangkat ke Jawa Tengah.

"Mama ke mana sih?" gumamnya sambil mengeluarkan ponsel. Siang-siang begini papa dan kakaknya jelas sedang di kantor. Namun mamanya yang juga bekerja di perusahaan keluarga biasanya lebih sering mengerjakan sesuatu di rumah.

"Aduh, Mama sampai lupa ngabarin kamu gara-gara panik ngejar waktu. Mama udah sampai Surabaya sekarang. Iya, pagi-pagi buta Mama sama Papa berangkat dari rumah biar nggak ketinggalan acara pemakaman. Iya, adiknya eyang yang tinggal di Surabaya itu yang meninggal.

"Kamu hati-hati ya ke Temanggungnya. Pastiin nggak ada barang yang ketinggalan. Oh, kakak kamu palingan hari ini nggak pulang, Liv. Dia pasti lembur. Iya, ngerjain tugas Papa juga soalnya. Oh, pasti kuncinya dibawa Jordan. Mama lupa ngasih tahu dia kalau kamu mau pulang. Ya udah, malam ini kamu nginep di rumah Hera atau Nessa aja. Sekalian kan besok bisa berangkat ke bandara sama-sama."

"Iih, Mama yang bener aja nih," gerutu Livia begitu menutup telepon. "Belum juga sejam yang lalu gue bilang sampai jumpa sama mereka masa udah harus nebeng lagi? Nggak lucu banget, deh."

Beberapa saat Livia cuma duduk di teras rumah, mencoba menghubungi Jordan, kakaknya. Sayang sekali tidak juga diangkat. Kakaknya yang gila kerja itu mungkin kini sedang memimpin rapat menggantikan papanya. Livia memandang satu persatu kontak sahabatnya tapi tetap saja ia tak yakin hendak menghubungi mereka.

"Ah, sebaiknya gue ke kantor Kak Jordan aja buat ngambil kunci. Atau tidur di sana sekalian nemenin dia lembur daripada takut semalaman di rumah sendiri," putus Livia tak lama kemudian. Maka sambil kembali menyeret dua koper dan menggedong ransel penuh, ia pun meninggalkan gerbang rumahnya.

"Livia, mau ke mana kamu?" Seruan itu terdengar kala Livia baru berjalan beberapa meter dari jalan depan rumahnya. Saat menoleh, ia melihat wali kelasnya muncul dari rumah seorang tetangga. "Pergi ke Temanggung-nya kan masih besok, kenapa sekarang kamu sudah bawa-bawa koper begitu?"

"Bu Yuni kok bisa di sini?" heran Livia, terhenti menatapnya.

"Ini rumah teman Ibu. Tadi Ibu habis minta bantuan dia nyari orang buat ngerawat rumah kalau besok Ibu sudah tinggal di asrama," jelas Bu Yuni. Ia lalu bertanya lagi dan Livia pun menceritakan tentang ketidak beradaan orang tuanya.

"Ya sudah, kamu ikut pulang Ibu aja. Lagian besok kamu bisa repot buat siap-siap pergi ke bandara kalau tidur di tempat kerja kakak kamu."

"Nggak usah, Bu. Nggak bakalan repot kok di sana," tolak Livia. "Lagian Kak Jordan orangnya...."

"Kamu ini, turuti aja apa kata Ibu nggak bisa ya? Kalau besok kamu bangun kesiangan terus ketinggalan pesawat emangnya kamu mau?" semprot Bu Yuni, seketika menyadarkan Livia bahwa ia guru paling galak seantero Jakava. Salah sedikit saja, satu jam pelajaran bisa habis hanya untuk menceramahi korbannya. Andin saja pernah dihukum berdiri selama 2 jam pelajaran di dekat papan tulis sambil mengangkat satu kaki hanya karena ketahuan main ponsel. Juga masih ditambah omelan pedas tiada henti yang membuat pendengar sakit telinga.

Permainan MingguanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang