21. Menjaga Rahasia

197 53 21
                                    

"A-apa maksudnya?" ucap Livia, segera setelah cukup bisa mengatasi rasa terkejutnya. Lidah yang kelu menyebabkan bicaranya terputus-putus. "J-jadi kalian.... Kalian bertiga...."

Livia tak mampu meneruskan perkataannya. Ia benar-benar tak menyangka tiga sahabatnya itu bisa bersekongkol, dan kini menempatkannya dalam situasi mencekam.

Suasana ruangan menjadi senyap karena semua orang terdiam. Livia yang masih berdiri di tengah-tengah Andin dan Hera menahan napas gugup. Terlebih saat Nessa bangkit dari bangku yang didudukinya lantas mendekati mereka. Langkah kakinya pelan berirama. Livia menelan ludah, mencoba menenangkan hatinya yang berdegup kencang. Nessa yang biasanya terlihat begitu imut kini berubah menakutkan di matanya.

"Ayolah, kenapa kita semua jadi tegang begini?" ucap Nessa. Ia berhenti melangkah beberapa jarak di samping kanan Hera. "Udah cukup. Udah cukup seharian ini tangan gue terus gemetar."

"Lo bener," sahut Andin. Ia bergerak melewati Livia, lantas bergabung ke barisan dua lainnya. "Mending buruan kasih tahu Livi soal kebenaran ini biar kita bisa cepet akhiri semuanya."

"Apanya yang mau diakhiri?" Sontak Livia mundur ke pintu walau tak yakin bisa melarikan diri. "Kalian mau ngakhirin hidup gue juga kayak Dian? Salah gue apa?"

Baik Andin, Hera, dan Nessa, mereka menatap Livia tajam sebelum saling berpandangan. Livia harap mereka akan segera terbahak, menertawakan ucapan konyolnya. Akan tetapi muka mereka tetap tak berubah dari sebelumnya.

"Sementara lo diam dulu aja, Liv. Tenang sedikit. Pokoknya jangan biarin siapa pun tahu kalau lo ada di sini. Apalagi sama kami," kata Hera. "Lo nggak tahu betapa susahnya Nessa nyari waktu biar kita berempat bisa ngumpul begini."

Alis Livia saling menaut. Perasaan takut dan gelisahnya serta merta berubah menjadi bingung. "Maksudnya apa?"

Andin menarik napas dalam mengetahui Nessa dan Hera diam saja. "Gue udah ingat soal jepit merah gue yang hilang," katanya kemudian, berusaha mengatasi ketegangan. "Jadi sebenarnya jepit gue nggak pernah hilang, Liv. Gue cuma lupa. Terakhir kali gue makai jepit itu adalah waktu gue pergi ke salon, hari yang sama di mana Dian terakhir kita lihat hidup di dunia."

"Jadi jepit lo hilang di salon gitu?" tanya Livia, ragu untuk langsung mempercayainya.

"Nggak, bukannya hilang," cepat Andin menjawab. "Sebelum rambut gue di-creambath, gue mesti lepasin jepitnya, kan? Jadi saat itu iseng aja gue masangin jepit gue ke Maya," terangnya, terjeda beberapa detik. "Maya nggak sadar kalau gue masang tu jepit di rambutnya. Waktu itu dia lagi asyik sama ponselnya sambil siap-siap di-facial."

Perasaan Livia mulai tak enak nama Maya dibawa-bawa. Namun ia diam saja, memilih mendengarkan Andin melanjutkan ceritanya.

"Nggak lama setelah gue selesai creambath dan Maya juga beres di-facial, gue dapat chat dari Dian. Gue kasih tahu Maya deh kalau Dian lagi ketemu sama cowok, tapi Dian nggak mau nyebutin tu cowok siapa." Andin menghirup napas lagi. Agaknya ia sendiri juga gugup, sama halnya dengan Livia.

"Setelah percakapan gue pagi ini sama Nessa, kayaknya Maya tahu kalau cowok yang Dian maksud itu Fiyan. Ehm, bisa jadi Maya tahu dari Fiyan atau Dian sendiri karena selama di salon dia aktif terus sama HP-nya."

"Seperti yang pernah gue bilang, Maya emang naksir Fiyan," Hera gantian berbicara. "Maya juga pernah ngeluh sama gue kalau Dian suka jelek-jelekin dia di depan Fiyan. Dian kayaknya juga sadar kalau Maya diam-diam naksir tuh anak. Jadi entah karena emang wataknya atau cuma mau ngerjain Maya, Dian mulai ngomong buruk begitu."

"Jadi maksud kalian, Maya yang bunuh Dian?" tanya Livia. Tentu saja dengan pandangan tak percaya. Dibandingkan Maya, tiga anak di depannya itu kini jauh lebih pantas dijadikan tersangka. "Nggak mungkin Maya. Gimana bisa dia ngelakuin hal begitu? Lagian sesorean Maya di salon terus sama lo, kan?" katanya pada Andin.

Permainan MingguanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang