"Wah, ada murid Jakava tuh!" bisik seorang anak SMP pada temannya kala Livia, Andin, dan Hera berhenti di depan mereka, hendak menyeberang jalan menuju sekolah.
"Gila, anak Jakava emang keren-keren ya," sahut temannya tanpa kedip. "Gue denger itu sekolah isinya dipenuhi keturunan Jawa yang sukses di Jakarta. Sekolahnya orang kaya. Tahu nggak restoran depan Lotta Mal yang mewah banget itu? Yang punya kan orang Solo. Anaknya juga sekolah di sana, lho!"
"Nggak heran sih. Kata kakak gue aja, kalau kita masuk Jakava kita nggak bakal nyangka kalau orang-orang di sana semuanya berdarah Jawa. Muka-muka penghuninya sebagian rasa impor, sih. Jauh dari gambaran sinetron di mana murid pindahan Jawa selalu kelihatan udik."
"Iya sih, kalau di tivi-tivi kan tiap ada murid pindahan dari Jawa sering digambarin ndeso. Suka dijadiin bahan candaan pula. Tapi di SMA Jakava semua murid berjaya. Bahkan nih ya, yang masuk karena beasiswa aja katanya nggak dibeda-bedain."
"Keren ya. Kalau aja bisa, gue juga pengen nanti masuk Jakava. Gedung sekolahnya aja hebat banget gitu. Bangunan megah perpaduan antara budaya Jawa dan seni moderen. Kemarin juga abis buat syuting film yang diperanin Nicolas Reinhart itu, kan? Parah ya."
"Eh, tapi beberapa waktu lalu gue sempat denger kabar kalau SMA Jakava katanya bakal digusur," kata temannya tiba-tiba.
"Hah, digusur gimana?"
"Gue baca di berita, dua bersaudara pemilik Jakava dikabarin berebut hak kepemilikan. Katanya sih salah satu pihak merasa dicurangi dalam pembagian warisan, makanya sekolah yang mereka bangun bersama akhirnya jadi korban. Sekolah Jakava bakalan digusur dan gedungnya yang sekarang ini bakal ganti fungsi jadi gedung perkantoran."
"Wah, terus gimana tuh?"
"Kalau dari berita yang gue baca sih, udah hampir setahun ini salah satu pemilik Jakava bersaudara membangun sekolah pengganti, cuman letaknya jauh banget. Rumornya ada di daerah pelosok Jawa Tengah. Dia memenangkan hak kepemilikan sekolah Jakava, tapi saudaranya nggak ngebolehin gedung Jakava yang mereka bangun bersama digunakan. Makanya, sebagai solusi dia ngebangun sekolah baru di tempat lain."
"Masa sih? Emang murid-murid Jakava pada mau dipindah ke pelosok apa?"
"Nggak tahu juga. Kali aja itu cuma kabar burung. Gue bacanya juga udah lama sih," ujar anak itu. "Sayang banget ya misal beneran pindah."
"Bener, kita nggak bisa lagi lihat mobil-mobil mewah limited edition lewat jalan sini tiap pagi," ujar anak itu membuat temannya tertawa.
"Apa sekolah kita sepopuler itu di mata orang luar?" kata Andin yang kini telah menyeberang bersama dua lainnya.
"Yah, dari luar SMA Jakava emang keren abis. Dulu sebelum masuk sini gue juga mikir begitu. Mereka cuma nggak tahu kalau yang namanya sekolah tetap aja sekolah," sahut Livia, mengangkat bahu. "Tapi soal gosip penggusuran itu emang seriusan, ya?"
"Rumor paling," ujar Hera tak acuh. Ia membiarkan Livia dan Andin terus berbincang sementara matanya menyorot Maya dan Nessa yang jalan lebih dulu di depan. Kedua anak itu makin akrab saja belakangan.
Setibanya di sekolah, Livia dan kawan-kawan dikejutkan berita penyelidikan kasus kematian Dian ditutup. Sejumlah pihak mengatakan bahwa kasus itu tak lagi diusut atas permintaan keluarga Dian sendiri. Tak heran gosip jadi makin bermunculan di sana-sini.
"Aneh, putri pengusaha sukses dibunuh tapi pelaku dilindungi," ujar anak kelas 10 Seni-3 waktu Livia baru keluar dari toiet.
"Kabarnya polisi udah nemuin pembunuh Dian lho! Tapi kenapa keluarga Dian minta polisi nggak menindak lanjuti kasus itu lagi coba? Mencurigakan banget nggak sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Permainan Mingguan
Mystery / ThrillerJakava Story ~ Permainan Mingguan Jakava, sekolah elite khusus keturunan Jawa yang sukses di Jakarta, dikabarkan bakal pindah gedung dan para murid akan diasramakan ke pelosok Jawa Tengah. Penolakan besar sudah pasti terjadi. Akan tetapi, kepindahan...