19. Lenyap

152 53 10
                                    


"Sejak kejadian di depan gedung teater lo jadi lebih banyak diam deh, Liv. Sebenarnya apa yang lo pikirin?" tanya Hera. Ia dan Livia baru saja kembali dari kantin asrama setelah makan malam. Mereka masih menapaki lorong-lorong panjang yang ramai oleh anak-anak dari berbagai angkatan. Andin mengeluh sakit perut lagi, sehingga ia tetap tinggal di kamar.

"Gue masih penasaran aja soal orang yang mukul gue," ujar Livia, memasukkan tangan ke saku jaket. "Anak-anak pada curiga kalau pelakunya ada di antara lo, Andin, Maya, juga Nessa. Tapi gue nggak percaya salah satu dari kalian tega ngelakuin hal itu ke gue."

"Kenapa mesti nggak tega?" sahut Hera, membuat Livia sontak menatapnya. "Orang dia aja bisa nekat ngebunuh Dian. Jadi mukul lo bagi dia jelas bukan apa-apa."

Dada Livia berdesir mendengar Hera mengucapkan hal itu dengan begitu santai. Lagi-lagi perasaan ingin curiga itu timbul. Namun Livia lebih yakin jika seseorang yang tega melukainya bukan Hera. Bukan pula sahabat yang lainnya.

"Belakangan ini Andin curhat sama lo soal cowok nggak, Ra? Maksud gue apa ada cowok yang lagi dia suka?" alih Livia, coba mencari tahu kebenaran dengan bukti yang sudah pasti saja.

"Setelah nggak jadi sama Sammy gara-gara Dian sih, kayaknya belum ada gebetan lagi," jawab Hera. "Emang kenapa?"

"Gue cuma lagi kepikiran aja, kenapa jepit Andin bisa kita temuin di laci," ujar Livia, agak pelan karena beberapa anak jalan di belakang mereka. "Menurut Kak Lutvi, ada kemungkinan besar kalau pemilik jepit emang pelaku yang udah bunuh Dian. Waktu itu kita berdua juga sempat mikir begitu, tapi rasanya nggak masuk akal Andin bisa begitu. Kecuali dia ada apa-apa sama Fiyan, mungkin kecurigaan kita bakal lebih beralasan."

"Kenapa sama Fiyan?" Hera melirik Livia heran.

"Gue tetap yakin kalau pertemuan Fiyan sore itu dengan Dian ada hubungannya sama kejadian ini. Misalnya aja Andin marah karena lagi-lagi Dian deketin incarannya," Livia mengangkat bahu. "Gue nggak serius lagi nuduh Andin sih, cuma lagi ngebayangin kemungkinan terburuk aja."

"Kalau Andin sih kayaknya nggak pernah tertarik sama Fiyan, tapi kalau Maya, gue rasa diam-diam dia naksir tu anak," ucap Hera sambil mulai menaiki tangga menuju lantai dua.

"Hah, Maya naksir Fiyan?" Livia melirik Hera kaget.

"Gue sering aja mergokin Maya ngeliatin Fiyan waktu pelajaran. Terus coba deh lo pikir. Kalau ada tugas kelompok mingguan, yang pertama Maya ajak jadi kelompoknya pasti Fiyan. Apa lagi kalau dia nggak naksir?"

Serta merta pikiran Livia saling bergumul. Malam itu ia sampai tidak bisa tidur dengan nyenyak. Benarkah yang dikatakan Hera bahwa Maya menyukai Fiyan? Mungkinkah Maya lah yang ada di balik kejahatan ini? Bagaimana jika Hera ternyata berbohong? Bagaimana jika Hera sengaja mengatakan hal itu supaya ia tak lagi mencurigai Andin?

Livia melihatnya dengan jelas. Raut Hera saat membicarakan Maya tadi terkesan berlebihan, seolah ingin Livia percaya kepadanya. Padahal tak biasanya Hera bersikap begitu. Mengingat perkataan Lutvi tentang kemungkinan pelakunya lebih dari satu orang, Livia jadi resah. Bagaimana jika ternyata bukan Maya dan Andin, melainkan Hera adalah partner lain dalam kejahatan yang ditutupi ini? Mereka berdua adalah teman sekamar yang kompak.

Segala yang Livia saksikan dalam mimpi kilas balik kembali berputar di kepalanya. Segala pembicaraan teman-temannya dalam mimpi sebelum ia menusuk-nusuk Dian juga membayangi tidurnya. Esok ia harus berbicara empat mata dengan Nessa apapun caranya. Livia tidak tahan lagi. Ia hanya ingin mengetahui siapa sebenarnya yang membunuh Dian, dan siapa yang memukulnya hingga pingsan. Ia benar-benar ingin tahu, supaya dirinya tak jadi gila karena penasaran.

"Muka lo kusut amat sih, Liv? Lo nggak sakit atau masuk angin, kan?" sapa Maya, yang muncul begitu Livia membuka pintu kamar. Masing-masing sudah berseragam lengkap, siap untuk berangkat sekolah.

Permainan MingguanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang