22. The Next Target

134 42 10
                                    

Ada yang nunggu lanjutan atau musim baru cerita ini? 😂😂 Aku kembali!

***

Beberapa hari telah berlalu semenjak hari tak terlupakan itu. Bersama tiga lainnya, Livia mulai coba menjalani hidup seperti sebelum ia mengetahui fakta sebenarnya. Walau ganjalan tetap saja tersimpan di dada, tapi ia memaksa untuk mengabaikan supaya bisa menghadapi Maya seperti biasa.

"Emangnya lo mau aktif di regu PMR lagi?" tanya Andin. Siang setelah bel pelajaran terakhir usai, ia berhenti di halaman gedung kelas 11 bersama Livia dan Maya. Hera telah pergi ke gedung olahraga untuk latihan karate, sementara Nessa sedang ke kantor guru menumpuk tugas.

"Sebenarnya gue udah agak males sih, tapi Terri maksa. Katanya dia kurang cocok sama kebanyakan anak di sana. Makanya dia minta gue buat aktif lagi," ujar Maya, mengangkat bahu.

"Ya udah kalau gitu. Gue belanja sama Nessa dan Livi aja. Lo mau titip apaan?" kata Andin seraya merogoh risleting tas selempangnya, mencari ponsel.

"Gue udah ngasih tahu Nessa kok mesti beli apa aja," Maya lalu menatap Livia yang tampak lesu. "Lo kenapa? Jangan bilang lo masih kesel sama Fiyan tadi."

"Siapa yang nggak kesel coba?" gerutu Livia dengan wajah cemberut. "Kalau nggak gara-gara dia, nggak bakalan gue disemprot Bu Sindi."

Andin tertawa ringan. "Lo sih, pakai molor segala tahu Bu Sindi galaknya gimana," lontarnya, tepat saat Nessa berlari-lari kecil menghampiri mereka.

"Kita langsung berangkat sekarang?" kata anak itu dengan napas agak tersengal.

"Sori ya, kayaknya gue nggak jadi ikut ke swalayan," ujar Livia, membuat teman-temannya menoleh heran. "Gue masih bete banget. Lagian kebutuhan gue masih ada semua. Lo berdua aja deh yang belanja. Mungkin sebaiknya gue ke gedung olahraga aja nonton Hera latihan. Kali aja di sana gue bisa ikut nonjok orang buat pelampiasan."

Kontan saja Nessa, Andin, dan Maya tertawa.

"Ya udah. Gue pergi dulu ya!" seru Maya, melihat Terri muncul dari suatu koridor dengan Rezha. Mereka berdua tengah berbincang-bincang. Atmosfer hangat jelas terlihat di antara keduanya. Saat Maya datang barulah mereka berhenti saling bicara.

Livia tertegun menyaksikan pemandangan itu. Ia sampai tak sadar jika Nessa dan Andin sudah pergi meninggalkannya. Wajah Rezha yang agak tersenyum membuatnya teringat hari di mana ia berhasil memergokinya tertawa.

"Hayoo, ketahuan nih lagi memandang Rezha!" Lutvi, dengan muka tengil—yang walau tak mengurangi kadar gantengnya—tiba-tiba mengejutkan Livia. Ia muncul dari samping kemudian menyenggol sikunya. "Udah dong, Tuyul. Jangan naksir Rezha lagi. Dia udah ada gandengan. Mendingan lo cari gebetan lain aja, oke? Cakep-cakep gini kok jadi sad girl. Sayang banget. Mau gue kenalin ke teman-teman gue nggak? Sebutin deh tipe cowok lo yang kayak gimana. Entar gue bantu cariin dengan segenap tenaga."

"Bener, lebih bagus kalau tipe cowok lo kayak gue. Jadi biar Lutvi gampang nyarinya gitu," sambung Varis, yang muncul dari belakang temannya. "Sekedar informasi, gue masih jomblo sampai hari ini."

"Dih, lagi-lagi kalian berdua. Hobi banget sih ngerusuhin orang?" decak Livia, melirik dua kakak kelas itu dengan raut datar. "Pergi, deh. Gue lagi lemes, jadi plis jangan nambah-nambahin tenaga gue buat berkurang."

"Kok sewot sih? Gini nih tanda-tanda orang patah hati! Cemburu lihat Rezha berduaan sama Terri! Uhuk!" ceplos Varis. Ia langsung meringis saat Livia memberi pelototan tajam.

"Udah, daripada misuh-misuh gitu mending ayo ikut gue aja!" Lutvi dengan seenaknya menggiring bahu Livia pergi menuju gerbang. "Hari ini gue bakal traktir lo sepuasnya. Pilih aja apapun makanan yang lo suka."

Permainan MingguanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang