"Hera! Bangun! Andin! Plis, bangun!" panggil Livia begitu bisa mengendalikan rasa paniknya. Ia merasa sudah berteriak keras memanggil dua temannya tapi ternyata yang keluar hanya suara pelan saja. Dengan gerak cepat Livia menarik lagi selimutnya lantas menutup seluruh badan. Mulutnya berkomat-kamit membaca berbagai doa untuk mengusir rasa takutnya.
Sekitar dua menit kemudian Livia membuka mata, memasang baik-baik lagi telinganya. Sepi. Suasana mencekam tadi agaknya mulai sirna. Selain suara detak jarum jam dari jam besar di pojok lorong asrama lantai dua, ia hanya mendengar suara-suara binatang, juga angin malam yang tak pernah ia dengar di Jakarta. Tidak ada lagi bisikan Dian. Tidak ada lagi udara beku yang membuat kuduknya meremang.
Walau merasa Dian sudah pergi, tapi Livia tetap mendekam dalam selimut. Ia lalu memejamkan mata, berharap cepat tidur hingga pagi menjelang.
***
"Lo pikir gue sama yang lain anak buah lo apa? Nggak ada kali yang pernah nunjuk lo buat ngetuain kita. Selama ini gue diam bukan berarti gue setuju atau takut sama lo. Gue sengaja ngebiarin buat lihat sikap sombong lo itu bakal berlanjut sampai mana," kata Hera tajam.
"Gue juga bosan tahu dibuli terus-terusan. Padahal kita ini deket, teman sekamar, tapi lo selalu aja nyari kesempatan buat ngerjain gue. Lo pikir rasanya seneng diketawain orang-orang? Apa sih masalah lo sama gue sebenarnya? Jangan-jangan lo masih nggak terima Jonathan lebih milih gue dibanding nanggepin lo. Padahal kan gue juga udah nolak dia," ucap Nessa dengan wajah bersungut, tak kalah kesalnya.
"Gue nggak nyangka lo bisa begini sama gue," Andin menyeruak di antara Hera dan Nessa. "Ternyata diam-diam lo suka ketemuan sama Sammy. Waktu itu lo bilang lo nggak tertarik sama dia dan minta gue aja buat maju. Kenapa setelah kami dekat lo malah ngasih dia harapan? Lo sengaja mau main-main sama gue? Atau, lo mau nunjukin ke semua orang kalau lo lebih menarik dari gue? Begitu, ya?"
"Gue nggak tahu lo ini pengen dipandang paling wah, pengen menguasai dan tahu segalanya, atau lo emang seneng lihat yang lain menderita." Kali ini Maya yang berada di sisi lain Nessa berkata dengan wajah menahan marah. "Sah-sah aja lo sok mau tahu urusan orang, tapi apa yang lo lakuin sekarang udah kelewatan. Maksud lo apa coba ngejelek-jelekin gue di depan cowok yang gue suka? Emangnya ngomongin keburukan teman lo di depan orang lain bikin lo puas, ya?"
"Irrgggh, gue kesel sama lo, Di. Gue kesel banget! Lo bikin gue malu dan dianggap tukang bohong sama Bu Yuni. Lo bikin gue diledekin anak-anak sekelas sampai terus dijailin Kak Varis dan Kak Lutvi. Gue kesel! Gue kesel! Gue pengen bunuh lo. Gue pengen bunuh lo. Gue bunuh lo!" Livia menyambar pisau dapur dari dekat wastafel lalu tanpa pikir panjang ia menancapkan ujungnya yang runcing ke dada Dian.
Livia membabi buta menusukkan mata pisau itu berkali-kali hingga darah mencuat lalu merembes ke seluruh baju Dian. Dian yang terbaring tak berdaya dalam laci dapur besar di rumah Maya saat warna merah menenggelamkannya. Dian yang hanya membelalak tanpa bisa menyuarakan rasa sakitnya.
"Bangun, Liv! Bangun, woi!"
Dengan napas di ujung tenggorokan Livia langsung membuka mata. Tubuhnya basah oleh keringat. Seruan Andin membuatnya kaget sekaligus lega ia mengakhiri mimpi mengerikannya.
Livia menegakkan punggung seraya membuang napas. Ia melihat berkeliling, dan menemukan Andin tengah membuka jendela kamar mereka. Udara beku dan bersih langsung menyebar ke ruangan.
"Di sini dingin banget ya kalau pagi," ujar Andin seraya memeluk tubuhnya sendiri. "Rasanya berhari-hari di sini nggak bakalan bikin kita keringetan. Jadi males mandi."
"Lo nggak dingin aja jarang mandi," Hera sambil keluar dari pintu toilet berkomentar. Ia mengusap wajahnya dengan handuk yang tersampir di pundaknya lantas menatap Livia yang termenung di atas ranjang. "Lo kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Permainan Mingguan
Mystery / ThrillerJakava Story ~ Permainan Mingguan Jakava, sekolah elite khusus keturunan Jawa yang sukses di Jakarta, dikabarkan bakal pindah gedung dan para murid akan diasramakan ke pelosok Jawa Tengah. Penolakan besar sudah pasti terjadi. Akan tetapi, kepindahan...