Ulangan Bahasa Jawa baru saja selesai. Jam masih menunjukkan pukul 10 pagi, sementara pelajaran berikutnya dimulai pukul 10 lebih seperempat.
Enggan menghadapi pertanyaan teman-teman sekelasnya, diam-diam Livia meninggalkan kelas begitu Pak Suroto keluar ruangan. Ia sempat melihat Maya sedang berbincang dengan Fiyan. Sedangkan tak jauh dari mereka, Nessa dan Andin tengah bergurau dengan Endru. Hera tampak melihat berkeliling kelas, agaknya sedang mencari dirinya.
"Huffhh, apa yang sebaiknya gue lakuin?" gumam Livia seraya menuruni tangga gedung. Sejenak di bawah ia berhenti, bingung hendak pergi ke mana. Namun kemudian ia memutuskan untuk pergi ke tempat sepi, di mana Hera atau teman-temannya yang lain tak akan menemukannya.
Belakang gedung kelas 10 adalah tempat yang sempurna. Di sana Livia duduk di salah satu bangku besi taman, di antara pohon-pohon cemara. Pikirannya melayang, kembali ke kejadian yang merenggut nyawa Dian. Ia penasaran, apakah Hera benar-benar pelakunya? Atau mungkinkah salah satu di antara Andin dan Maya?
Duk. Duk. Duk.
Bunyi bola basket memantul ke tanah membuat renungan Livia buyar. Ia menyaksikan sebuah bola oranye menggelinding dari sebelah gedung kelas 10, dan seseorang yang ia kenal mengejarnya. Orang yang tak lain adalah Lutvi tentu terkejut mendapati Livia duduk seorang diri di tempat itu.
"Hei, Tuyul! Ngapain lo sendirian di situ?" serunya langsung saja. Ia memungut bola dari rerumputan lantas menghampiri Livia. "Jangan sendirian gini, dong. Entar diculik atau kerasukan lagi, lho."
Livia melirik cowok itu tanpa begitu peduli. "Nggak usah ganggu, deh. Pergi sana! Lagi butuh waktu sendiri, nih."
Lutvi mengibas satu tangannya. "Terakhir lo ngusir gue kayak gini, setelahnya lo ngilang tanpa jejak. Jadi kali ini gue menolak pergi. Gue nggak mau lo ngilang lagi," ujarnya lalu nyengir sendiri.
"Mulai deh. Di mana-mana kapten basket emang biasanya terkenal terus kebanyakan jadi playboy. Satu ini contohnya. Nggak heran urusan gombalin cewek juara," Livia menatapnya risi Lutvi walau sebenarnya geli juga. Akan tetapi cowok itu hanya tertawa. "Ngapain nggak buruan pergi? Emang nggak ikut pelajaran, ya?"
"Udah selesai. Barusan gue abis penilaian olahraga," jawab Lutvi seraya duduk di sebelah Livia. "Gue lihat tadi muka lo serius banget. Mikirin apa? Sini cerita sama gue! Gue siap lho dijadiin pemecah solusi."
Livia hanya mendecak kecil. Ia membiarkan Lutvi asyik bermain-main dengan bola oranye di tangannya sementara ia termenung lagi. Ia masih tak tahu mengapa ia diberi penglihatan tentang pembunuhan Dian seperti itu. Saat Maya bilang dirinya sempat kerasukan ketika pingsan, Livia jadi berpikir jika mungkin Dian memang ingin ia mengetahui tentang siapa yang telah membunuhnya. Lagi pula beberapa malam lalu saat Dian muncul menghantuinya, ia bilang 'tolong' kepadanya.
Ketika masih sibuk menerka-nerka tentang siapa sosok yang berada di taxi bersama Dian dan memindahkan tubuhnya ke kamar, mendadak Livia memergoki jika Lutvi ternyata sedang memandanginya. Bahkan kelihatannya sudah agak lama.
"Apa liat-liat? Pakai senyum-senyum sendiri pula, kayak orang nggak beres aja. Naksir sama gue ya?" lontar Livia, menatap balik Lutvi dengan sebal.
Lutvi langsung tertawa. "Iya nih gue naksir sama lo. Naksir berat rasanya. Sampai bingung mesti gimana." Ia lalu berujar membuat Livia spontan menendang tungkai kakinya.
"Menurut Kak Lutvi, siapa yang kemarin mukul gue? Apa orang itu kira-kira emang ada kaitannya dengan kasus pembunuhan Dian?" tanya Livia setelah beberapa menit mereka lalui tanpa pembicaraan.
"Sebenarnya kemarin gue curiga banget sama Nessa," ucap Lutvi sembari memutar-mutar bola basket dengan ujung telunjuknya. "Dia kayaknya tahu sesuatu soal kematian Dian. Waktu lo hilang, tu anak paling panik. Cuman paniknya dia itu agak aneh menurut gue."
"Mungkin nggak, Nessa diancam si pelaku supaya tetap bungkam soal apa yang ia ketahui?" Livia menatap Lutvi dengan serius kali ini. "Maya cerita kalau Nessa suka ngigau nyebut nama Dian tiap malam. Mungkin Dian ingin Nessa ngasih tahu yang lain sebab kematiannya, tapi si pelaku ngelakuin sesuatu sampai Nessa nggak berani bilang."
"Bisa jadi," ujar Lutvi, mangut-mangut. "Tapi setelah kejadian kemarin, sebenarnya gue jadi lebih curiga ke Hera. Pernyataan dia soal alibinya, menurut gue kurang kuat. Denger-denger dulunya juga dia yang paling sering berantem sama Dian."
Livia tak menyangkal. Kecurigaan Lutvi tak bisa disalahkan. Hera dan Dian sama-sama keras kepala dan pendirian. Setiap kali beradu argumen, rasanya mereka bisa perang sungguhan. Namun walau di luar Hera tampak begitu keras dan cuek, Livia tahu anak itu tak sekritis kelihatannya. Akan tetapi kenyataan bahwa Hera pulang naik taxi dan sore kemarin ia sempat berada di sekolah memang tak bisa diabaikan.
"Lo udah dikasih banyak petunjuk tuh," komentar Lutvi setelah Livia menceritakan segala yang ia saksikan dalam mimpi ketika pingsan. "Bukannya udah jelas si pelaku adalah pemilik jepit itu?"
"Bener jepit merah itu adalah bukti yang nggak bisa dielakkan," Livia mengembus napas panjang. "Jepit itu punya Andin, Kak. Andin juga ngaku sendiri kalau jepit yang belum lama ini ia pakai emang hilang."
"Andin?" Lutvi mengernyit. "Yah, masuk akal sih. Lo bilang Andin sama Dian juga belum lama ini ribut masalah cowok. Motif nggak terima dan balas dendam adalah hal yang biasa terjadi dalam kasus pembunuhan."
"Tapi sulit buat nuduh Andin. Sore sampai petang saat Dian menghilang, Andin lagi pergi ke salon sama Maya. Mereka berangkat dan pulangnya juga barengan," ujar Livia lelah.
"Gimana kalau ternyata mereka kerja sama?" celetuk Lutvi. "Dari sini kita bisa ngambil kesimpulan kalau pelakunya bisa lebih dari satu orang. Bisa aja mereka sengaja pergi berdua supaya punya alibi yang sempurna."
"Itu mungkin aja sih, Kak. Cuma kalau dari gambaran yang gue lihat di mimpi, kayaknya nggak begitu kejadiannya," ujar Livia usai berpikir dalam-dalam. "Gue sebenarnya nggak suka nuduh Hera, tapi nggak tahu kenapa banyak petunjuk mengarah kalau dia adalah pelakunya. Padahal nggak mungkin Hera. Apalagi dia sampai mukul gue. Nggak mungkin banget."
"Kenapa nggak mungkin?" tanya Lutvi, tak habis pikir. "Kebanyakan orang di sekolah aja nuduh lo sebagai pembunuh Dian. Padahal nggak lucu banget tuyul kayak lo dijadiin tersangka utama. Menurut gue, Hera lebih pantes dituduh daripada lo atau Nessa. Gue bisa curiga berdasarkan pernyataan dan peluang yang dia punya."
Kembali Livia mengembus napas panjang. Mungkinkah Hera tega membunuh Dian dan memukulnya hingga pingsan seperti itu? Rasanya sulit dipercaya.
"Terus gimana sama Fiyan?" tanya Livia lagi. "Gue nggak bisa buang pikiran kalau Fiyan tetap ada sangkut pautnya sama kasus ini. Belum lagi soal mobil hitam yang berhenti di depan kafe. Ada suatu perasaan yang mendesak gue buat mikir kalau siapa pun yang ada di mobil itu, lebih berbahaya daripada orang yang pulang sama Dian naik taxi. Gue nggak tahu apa alasannya, tapi gue yakin banget orang itu punya keterlibatan paling utama."
"Mobil hitam, ya?" gumam Lutvi seraya mendekap bola basket yang sejak tadi dibuatnya main-main. "Pas di Jakarta, Rezha sering ke sekolah bawa mobil warna hitam. Gue nggak tahu sih mobil yang lo maksud itu atau bukan, cuma Rezha pernah cerita kalau mobilnya itu kadang juga dipakai Fiyan misal lagi ada urusan."
3 Desember 2020
©Francesc Indah
KAMU SEDANG MEMBACA
Permainan Mingguan
Misterio / SuspensoJakava Story ~ Permainan Mingguan Jakava, sekolah elite khusus keturunan Jawa yang sukses di Jakarta, dikabarkan bakal pindah gedung dan para murid akan diasramakan ke pelosok Jawa Tengah. Penolakan besar sudah pasti terjadi. Akan tetapi, kepindahan...