Quattordici

2.7K 461 72
                                    

Happy Reading!!!

.

.

"Kamu gak les?" Tanya Doyoung karena melihat anaknya sedang bersantai sambil menonton kartun.

Jeno melihat Doyoung sekilas, "Engga, Bun. Katanya hari ini libur. Besok baru masuk lagi."

"Oh, udah sampe mana kemampuan gambar kamu?"

"Hmm... Jeno baru bisa teknik gambar arsir, sketsa, sama dussel. Bunda mau liat hasilnya?"

Doyoung menganggukkan kepalanya, "Boleh."

"Sebentar ya, Bun." Jeno pun pergi ke kamarnya. Tidak lama, dia kembali dengan beberapa kertas di tangannya.

"Ini, Bun." Dia menyodorkan kertasnya pada Doyoung.

Reaksi Doyoung? Tentu sangat terkejut. Anaknya yang tidak bisa apa-apa dalam menggambar sekarang malah bisa ngehasilin gambar yang lumayan bagus atau malah bagus banget untuk ukuran seorang Jeno.

"Kamu beneran yang gambar semua ini?"

"Iyalah. Bunda gak percaya? Apa Jeno perlu ngegambar langsung di depan Bunda?"

"Kalau kamu gak keberatan, ya silahkan."

Tanpa banyak bicara lagi, Jeno duduk dan mulai menggambar. Doyoung mulai memperhatikan bagaimana lihainya tangan Jeno saat menggambar.

Jujur, dia masih tidak percaya Jeno dapat berkembang secepat ini bahkan dalam waktu yang belum genap tiga bulan.

Jeno baru saja menjalani les selama satu bulan setengah, tapi ini hasil yang diberikan?! Wah, Doyoung benar-benar takjub melihat kemampuannya yang sangat cepat dalam menanggapi sesuatu.

Apakah yang di hadapannya ini adalah seorang jin yang berwujud seperti Jeno alias anaknya?

"Bun, ini udah selesai."

Doyoung tersadar dari lamunannya. "Udah selesai?! Kok cepet banget?!"

"Ngapain lama-lama kalau bisa cepet? Gimana, Bun?" Tanya Jeno saat melihat Doyoung mulai memperhatikan gambarnya.

Tanpa sadar, Doyoung malah menitikkan air matanya. Dia jadi merasa bersalah pada Jeno. Anaknya itu benar-benar bekerja keras untuk memenuhi tuntutannya.

"Loh, Bun? Kok nangis? Kalau Papa tahu nanti Jeno bisa diomelin," ucapnya panik dan mengambil kotak tisu.

Jeno mengambil beberapa lembar tisu dan melipatnya, setelah itu dia pun mulai mengelap air mata di pipi sang Bunda.

"Bunda kenapa nangis, hm?"

Doyoung memeluknya, "Maafin Bunda ya karena sebelumnya terlalu keras sama kamu. Banyak nuntut kamu ini itu dan terlalu maksa kamu. Maaf..."

Jeno memeluk balik Doyoung, "Bunda ngapain minta maaf, sih? Bunda itu gak ada salah sama sekali. Jeno tahu, Bunda selalu ingin yang terbaik untuk masa depan Jeno sendiri. Ya... walaupun Jeno sempet kesel, tapi Jeno akhirnya sadar kalau tujuan Bunda itu baik. Udah, ya? Jangan nangis lagi."

"Huhuhuu Bunda sayang banget sama kamu."

"Jeno juga sayang Bunda~" jawabnya, "Uang jajan bakal dinaikin dong?"

Doyoung terkekeh lalu menangkup wajah tampan sang anak, "Boleh. Asal kamu udah gak jomblo."

Jeno mencebikkan bibirnya, "Bunda ngejek aku?"

"Engga. Kapan mau ngenalin Bunda sama anak dari tempat les kamu itu?"

Pemuda pemilik eyes smile ini tertawa, "Secepatnya! Kalau Jeno udah resmi sama dia, nanti Jeno bawa kesini."

[✓] Disegnàre || NoRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang