14. DIHUKUM

658 110 9
                                    

Happy reading ( ͡°❥ ͡°)

"Ni," bisik Feli pada Nia.

Akan tetapi, Nia lebih memilih mengabaikan Feli dan tetap stay tidur cantik. Ralat tidak ada cantik-cantiknya karena Nia tidur dengan sesekali mengusap air liur yang mengalir dari sudut bibirnya. Satu kata yang cocok untuk Nia, jorok.

Ya ampun si kebo kalo hibernasi susah amat dibangunin, batin Feli.

Feli menghela napasnya pasrah. Sekarang ia telah menyerah membangunkan sahabat kebonya. Sudah sepuluh kali ia mencoba membangunkan putri salju dadakan itu. Namun, nihil. Sia-sia saja suaranya yang bagus bak suaranya Agnes Monica ini. Ia kembali fokus ke depan memperhatikan pelajaran yang sedang dijelaskan oleh Pak Raka, tetapi Feli sedikit terganggu dengan bunyi ngorok di sampingnya. Sebenarnya Nia tidak tidur berapa abad pemirsa, kenapa dia sampai santai banget tidur di saat guru killer ini mengajar? Sampai ngorok pula.

Lani yang berada di depan Nia pun menengok ke belakang. "Nia kok tidur, sih!"

Feli menempelkan jari telunjuk dibibirnya lalu berbisik, "Jangan berisik nanti Pak Raka denger."

Tanpa Feli sadari guru galak berkepala botak itu kini sudah berada di belakangnya. Pak Raka mengamati dulu tingkah tiga murid uniknya, eksekusi kemudian.

"Berisik aja nggak papa," sahut seseorang tepat di belakang Feli.

"Nggak, ah kalau ketauan Pak Raka nanti bisa dihukum," balas cewek dengan bandana berwarna merah itu. Dia tidak sadar jika yang berucap barusan adalah guru botak yang sedari tadi dibicarakannya.

Sedangkan Lani hanya bisa meneguk ludahnya kasar. Ia yang menyadari hadirnya Pak Raka seketika memasang wajah kaku berbeda dengan Feli yang belum menyadari suatu bahaya yang sedang mengancam kehidupannya. Apalagi cewek yang sedang molor itu. Dia terlihat nyaman sekali dengan tidurnya bahkan dengkurannya sampai terdengar diindra pendengaran Pak Raka.

Lalu Pak Raka berdehem keras mengalihkan atensi seluruh murid di kelas XI-IPA 1.

"Feli, Lani dan ...."

"Siapa itu yang molor?! Lupa saya namanya!"

Pak Raka mengelus-elus kumisnya menambah kesan garang pada pria paruh baya itu. Sepasang matanya menatap tajam tiga murid durjananya.

Terkejut tentu saja dirasakan Feli. Jantungnya serasa ingin melompat ke kali ciliwung. Aish tapi kenapa Nia belum bangun juga? Apakah dia tidak tahu jika ada bahaya besar yang sedang mengancam keselamatan hidupnya?

"Siapa yang molor?" tanya Pak Raka mengulangi pertanyaannya tadi. Suaranya terdengar menyeramkan bagi Feli dan Lani.

"N-nia, Pak," jawab Feli dan Lani. Mereka berdua sama-sama takut sekaligus merutuki Nia yang sedang asyik berlabuh di dunia mimpinya tanpa terganggu sedikitpun.

Pak Raka kini beralih memegang janggutnya. "Oh Antania ya."

Feli dan Lani mengangguk.

"Cara apa yang harus saya lakukan agar bocah itu bisa bangun?" tanya Pak Raka membuat Feli berdiri dari duduknya. Dengan tidak sopannya dia membisikkan sesuatu pada Pak Raka yang dibalas anggukan kepala beberapa kali.

Kemudian Feli kembali duduk dengan senyuman jahil yang mengembang. Ia pikir rencana membangunkan Nia kali ini pasti berhasil.

"ANTANIA! ELVAN GANDENGAN TANGAN SAMA CEWEK!" teriak Pak Raka keras sesuai bisikan Feli tadi dan benar saja sesuai dugaan. Nia langsung terbangun dari hibernasinya.

"MANA CEWEKNYA?! MANA? BAWA SINI BIAR GUE SLEDING!"

Krik ... krik ... krik

Jangkrik yang waktu itu berada di rooftop kini sudah urbanisasi ke kelas XI-IPA 1. Nia mengerjapkan matanya beberapa kali.

ARDAN [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang