-Awali dengan Bismillah dan akhiri dengan Alhamdulillah-
✨✨
"Saat doa itu aku langitkan, aku meminta pada Tuhan agar kita dipersatukan, hanya kita berdua dalam rumah tangga, bukan untuk bertiga. Karena bertiga itu terluka."
Indahnursf~✨✨
Hanya memerlukan dua hari saja Dhuha di rawat di rumah sakit, lelaki itu mengatakan kalau dia sudah membaik dan ingin segera pulang, dia ingin mempersiapkan pernikahannya sebaik mungkin. Ditambah lagi kasusnya dengan Marvin belum juga selesai karena keduanya masih dalam keadaan sakit.
Semenjak Dhuha di rawat di rumah sakit, Dhuha tak pernah absen untuk membesuk lelaki itu. Auliya selalu menyempatkan diri membesuk Dhuha sekaligus menjaga ayahnya yang di rawat di rumah sakit yang sama. Dhuha terlihat begitu lemah, bahkan dia lebih pendiam dari biasanya. Auliya bingung, kenapa Dhuha seperti ada masalah besar, namun Auliya tak ingin suuzan, dia berusaha untuk tetap berpikir hal yang baik-baik saja agar tak menimbulkan fitnah.
Dua hari lagi pernikahan akan dilaksanakan, sejak kemarin saat Dhuha sudah berada di rumah, lelaki itu banyak mengurung diri di kamar. Berbeda dari Dhuha yang selalu semangat dalam mengerjakan sesuatu.
"Pak Dhuha, ada yang ingin bertemu di depan," ucap asisten rumah tangga saat mengetuk pintu kamar Dhuha.
"Siapa?" jawab Dhuha pelan, seperti berbisik.
"Mbak Auliya, Pak."
Mendengar nama Auliya, Dhuha langsung bangkit dari posisi berbaringnya dan keluar kamar. Seperti ada semangat yang merasuk ke dalam tubuhnya.
Tepat saat Dhuha keluar kamar, seorang perempuan berjilbab marun yang menutupi dada hingga sampai pinggang itu menatap Dhuha, pandangan keduanya beradu untuk beberapa saat. Jantung Auliya seakan mau keluar dari tempatnya, begitu juga dengan Dhuha.
"Saya tinggal dulu, Pak." pamit sang ART, membiarkan Dhuha dan Auliya berdua di depan kamar Dhuha.
Dengan cepat Dhuha mengajak Auliya untuk ke taman belakang, sepertinya ada sesuatu hal yang ingin keduanya bicarakan.
Keduanya memilih diam, Dhuha berjalan lebih dulu dari Auliya. Keduanya hanya menikmati semilir angin, tak ada yang membuka suara sebelum akhirnya mereka berhenti di taman belakang rumah Dhuha.
"Maaf mengganggu waktu istirahat Pak Dhuha." Auliya mengawali obrolan, karena dirasa keduanya sudah berada di tempat yang tak hanya mereka berdua saja, melainkan beberapa meter di depan mereka ada seorang lelaki yang sedang membersihkan taman. Auliya rasa ini tempat yang aman agar tak terjadi fitnah di antara keduanya.
"Tidak, sama sekali tidak mengganggu, saya senang kamu datang ke sini," jawab Dhuha. Seulas senyum mengembang. Senyum pertama yang Auliya dapati setelah Dhuha kembali dari rumah sakit. "Kamu ke sini sendirian?"
"Iya, Pak. Saya sendirian. Oh iya, bagaimana kabar Pak Dhuha? Apakah sudah membaik dari sebelumnya?" Auliya duduk di salah satu kursi yang terbuat dari kayu jati dengan jarak satu kursi antara dirinya dan posisi Dhuha.
"Alhamdulillah, sudah mendingan," jeda beberapa detik. "Auliya, makasih ya untuk semuanya. Saya beruntung bisa menjadi calon suami kamu," ucap Dhuha. Senyumnya begitu tulus, terlihat begitu manis membuat Auliya salah tingkah, bahkan kedua wajahnya sudah bersemu merah.
Auliya tersenyum, "Saya juga berterima kasih karena Pak Dhuha mau menerima segala kekurangan saya, dan saya harap Pak Dhuha mau membimbing saya dengan sabar dan tanpa lelah," pinta Auliya. Wajahnya ia tenggelamkan di balik jilbab dengan degup jantung yang bak pacuan kuda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dhuha
SpiritualArrayyan Ad-Dhuha Kareem. Seindah namanya, dialah yang sering di sapa Dhuha. Lelaki yang sangat mencintai salat di waktu pagi hingga menjelang siang, yang senada dengan namanya; Dhuha. "Mulailah harimu dengan salat sunah di waktu pagi; dhuha. Karena...