24: Kembalinya Marvin

1.4K 259 26
                                    

-Awali dengan Bismillah dan akhiri dengan Alhamdulillah-

✨✨

"Permasalahan dalam hidup itu memang sudah jadi bagian takdir, namun, tidak ada masalah tanpa solusi. Yang membuat masalah jadi berat itu kita sendiri, sebab tidak berusaha untuk mencari jalan keluar. Sesuatu itu harus dijemput, tidak bisa datang dengan sendirinya."

Indahnursf~

✨✨

Semalaman Auliya dan Dhuha mencari Fani, perempuan itu hilang seperti ditelan bumi. Tidak ada kabar sama sekali, pun juga tidak ada kontaknya yang bisa dihubungi. Dhuha benar-benar khawatir, dia takut sesuatu hal buruk terjadi pada Fani, begitu juga dengan Auliya yang selalu menemani Dhuha ke mana pun suaminya itu pergi untuk mencari madunya. Sebenarnya, bukan hanya Dhuha yang khawatir, Auliya pun sama. Bagaimanapun juga, Fani tetaplah istri sah Dhuha, dan Auliya tahu atas kewajiban Dhuha pada Fani.

"Ke mana dia pergi?" lirih Dhuha saat melirik jam tangan sudah pukul tiga malam. Mereka berdua terus saja mencari, mengitari kota yang sudah terlihat sepi.

Dhuha menepikan mobilnya, dia melihat Auliya menahan kantuk berat. Ya, Auliya memang lelah, seharian dia mengurus rumah, memasak, membersihkan rumah, menyiapkan segala kebutuhan Dhuha, semuanya Auliya lakukan sendirian. Auliya tidak pernah memaksa Fani untuk membantunya, toh, mereka berdua tahu atas kewajiban yang harus mereka lakukan.

Pernah beberapa kali Fani membantu Auliya untuk bergotong-royong membersihkan rumah, juga mempersiapkan segala kebutuhan mereka bertiga, namun hanya beberapa hari saja. Setelah itu Fani kembali sibuk keluar rumah saat Dhuha sudah pergi ke kantor, setiap pukul 9 atau 10 pagi, Fani pasti keluar rumah dengan berbagai alasan. Auliya juga mengizinkan asal Fani sudah izin terlebih dahulu pada Dhuha, bagaimanapun seorang perempuan dilarang keluar rumah tanpa izin dari suaminya.

"Sayang, maaf, ya. Karena saya kamu jadi ikut keluar rumah malam-malam begini." Dhuha membelai wajah Auliya yang terlihat pucat. Ia tertidur tanpa direncanakan, sepanjang jalan Auliya sudah menahan kantuk, namun semaksimal mungkin ia menahan, demi bisa menemani Dhuha dalam pencariannya, namun, Auliya tetaplah manusia biasa yang tidak bisa menahan lelah dan akhirnya tertidur. Auliya juga tidak terbiasa tidur terlalu larut malam, ia dibiaskan untuk tidur maksimal jam sebelas malam, jika memang ada keperluan mendesak, atau jam delapan dan sembilan ia sudah memilih tidur. Sebab, pada pukul tiga atau empat dini hari ia akan terbangun untuk salat tahajud dan dilanjutkan dengan salat Subuh.

"Astaghfirullah, maaf, Mas. Aku tidak sengaja tertidur," ucap Auliya dengan suara serak, seraya mengusap wajahnya. Rasa kantuk Auliya benar-benar tidak bisa dihindari.

Dhuha tersenyum, dia yang merasa bersalah saat ini. Karenanya Auliya jadi ikut terbebani, sudah banyak sekali luka dan rasa sakit yang ia torehkan dalam kehidupan Auliya. Sejak awal pernikahan sampai sekarang, Dhuha merasa ia belum bisa menjadi suami yang baik untuk perempuan sebaik Auliya.

"Maafkan saya, Auliya. Maaf, jika selama kamu mengenal saya saya tidak bisa memberikan kebahagiaan untukmu, pun juga tidak bisa menjanjikan hidupmu jauh dari masalah. Maaf." Dhuha menunduk, menenggelamkan perasaan sedihnya dalam rasa bersalah.

Auliya menggenggam tangan Dhuha. Sejak Fani sah menjadi istrinya Dhuha, sejak saat itu Auliya belajar ikhlas. Memang, perkara ikhlas bagi manusia itu sulit, namun jika dicoba dan dijalani pasti akan terasa lebih lega. Perkara sesuatu di dunia ini sudah ada yang menetapkan. Rasa sakit, bahagia, sedih, kecewa, senang, juga terluka. Semuanya sudah Allah tetapkan. Percaya pada firman-firman Allah di dalam Al-Qur'an, niscaya kita akan merasa lebih enteng dalam menerima sesuatu di dunia ini yang tak sesuai dengan keinginan kita.

DhuhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang