26: Cinta atau Kasihan?

1.3K 271 75
                                    

-Awali dengan Bismillah dan akhiri dengan Alhamdulillah-

✨✨

"Terkadang seseorang rela berkorban demi membantu orang lain yang ia sayang. Bukan karena ia lemah, namun karena rasa iba di dalam hati."
Indahnursf~

✨✨

Jika ditanya mengapa hidup ini penuh dengan warna, maka jawabannya karena senang dan sedih itu adalah ujian yang akan memberi warna pada kertas putih yang disebut dengan kehidupan. Warna demi warna itulah yang akan membentuk gambar yang indah yang akan kita sebut dengan 'hikmah'.

"Kamu yakin mau pulang ke rumah ibu?" Dhuha menatap Auliya serius. Setelah makan siang Auliya mulai mengutarakan keinginannya. Auliya mengatakan kalau keputusannya itu sudah bulat, bahkan ia mengabaikan Dhuha yang membujuk Auliya untuk tidak menginap di rumah orang tuanya.

"Iya, Mas. Aku rindu sama ayah ibu. Aku juga ingin melihat perkembangan kesehatan ayah. Aku rasa ayah dan ibu juga merindukanku walau mereka tidak pernah mengatakan itu, tapi ikatan hati orangtua dan anak itu ada." Auliya duduk di tepi ranjang. Setelah selesai makan siang semuanya kembali ke kamar masing-masing. Dhuha menemani Fani yang sedang tidak enak badan selesai salat, sementara Auliya membereskan barang-barang penting yang ingin ia bawa nanti.

"Berapa hari?" tanya Dhuha. Jujur, ia tidak sanggup rasanya jauh dari Auliya. Ia tidak melarang Auliya bertemu orangtuanya, sama sekali tidak. Namun, Dhuha ingin menemani Auliya ke rumah orangtuanya dan menginap di sana. Tapi, Dhuha bingung, bagaimana dengan Fani? Bagaimanapun juga Fani bagian dari anggota keluarga mereka. Dhuha harus membawa Fani sebagai apa? Dhuha sebenarnya sudah pasrah, jika memang ayahnya Auliya suatu saat bakal mengetahui yang sebenarnya Dhuha siap menerima segala konsekuensi yang ada, tapi tidak dengan Auliya. Ia tetap ingin menjaga nama baik Dhuha beserta rumah tangga mereka agar tetap baik di mata ayahnya. Mengingat sumpah Dhuha terhadap sang ayah bukanlah sumpah biasa. Auliya tidak ingin dipandang sang ayah bahwa ia tidak bahagia menikah dengan ada perempuan lain, yang bisa berakibat fatal dalam rumah tangganya.

Semuanya rumit. Karena itu sebisa mungkin Auliya menutupi itu. Sekaligus menjaga perasaannya Fani. Sebagai sesama perempuan.

"Tidak tahu, seminggu, dua minggu, atau mungkin satu bulan. Tidak bisa di--"

"Selama itu kau meninggalkan saya sendirian?" potong Dhuha tiba-tiba saat mendengar Auliya menyebutkan hari yang bagi Dhuha sangat lama jika dilalui tanpa sang istri tercinta.

Auliya tersenyum, kemudian mendekati Dhuha dan menggenggam tangan suaminya, "Mas tidak sendirian. Kan ada Fani, dia yang akan menjaga, Mas. Lagian ia juga memiliki kewajiban sama sepertiku. Mas jangan khawatir sendirian, Fani yang akan menggantikanku sementara waktu," jelas Auliya.

Seketika wajah Dhuha terlihat tanpa senyum. Bagaimana mungkin ia bisa menggantikan posisi Auliya dengan Fani. Keduanya memiliki tempat masing-masing di dalam hati Dhuha. Fani dan Auliya tak bisa disamakan walau tugas dan kewajiban keduanya sama. Auliya cinta pertamanya, sementara Fani, sampai saat ini pun Dhuha belum bisa mencintai Fani seperti ia mencintai Auliya. Ia melakukan semua ini karena ia tahu bagaimana cara memperlakukan seorang perempuan. Ia terlahir dari rahim perempuan, dibesarkan dengan tangan perempuan, mana mungkin ia menyakiti perempuan. Karena itu perlakuannya terhadap Auliya dan Fani begitu baik.

"Jangan samakan itu, Auliya. Kamu dan Fani memiliki posisi yang berbeda. Kamu itu cinta pertama saya, sementara Fani--"

"Mas Dhuha! Tolong, jangan bedakan aku dan Fani. Kami sama-sama perempuan, kami istri Mas Dhuha. Perasaan kami terhadap Mas Dhuha itu sama. Harapan kami pun sama. Tolong, tempatkan aku dan Fani sebagaimana mestinya. Aku memberimu izin menikahi Fani, agar Mas Dhuha bisa berlaku adil pada perempuan. Tolong Mas, jangan melukai hatinya. Fani orang yang baik," lirih Auliya.

DhuhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang