20: Luka

1.4K 278 50
                                    

-Awali dengan Bismillah dan akhiri dengan Alhamdulillah-

✨✨

"Perempuan itu pandai sekali menyembunyikan perasaannya. Termasuk rasa sakit di hati."

Indahnursf~

✨✨

Jika bertiga itu menyakitkan, lantas bagaimana dengan perasaan Auliya sekarang? Rumah tangganya harus dihadiri oleh perempuan lain. Menerimanya, terasa sakit, namun semua adalah keharusan baginya.

"Dia siapa?"

Benar sekali, ayahnya pasti bertanya siapa Fani dan kenapa Fani bisa ada di antara Auliya dan Dhuha. "Oh, dia adalah--"

"Saya sepupunya Dhuha, Om," potong Fani dengan cepat. Baru saja Auliya ingin menjawab, namun Fani lebih dulu menjawab. "Saya pingin bertemu dengan ayahnya Auliya, makanya ikut ke rumah sakit, karena saat acara pernikahan kemarin saya tidak enak badan, jadi tidak bisa bertemu dengan keluarga Auliya satu per satu." Alibinya. Baik Auliya maupun Dhuha tidak menyangka jika Fani akan mengakui dirinya sebagai sepupu Dhuha di hadapan ayah Auliya. Keduanya hanya mengangguk dan tersenyum, mendukung alibi yang telah Fani ciptakan agar tak terlihat mereka sedang bersandiwara.

Ayah pun hanya mengangguk, tak banyak bicara sebab dia tidak merasa curiga sama sekali. "Oh iya, gimana kabar Ayah?" Auliya tersenyum penuh bahagia. Dia ingin mengalihkan kecanggungan yang ada. Di dalam ruangan itu hanya ayah yang tidak tahu siapa Fani sebenarnya. "Auliya hari ini mau pindah ke rumah Mas Dhuha, Yah. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah sakit ini, di jalan Demang Lebar Daun. Nanti, kalau Ayah sudah boleh pulang, main ke rumah Mas Dhuha, ya, Ayah," jelas Auliya. Dia memeluk ayahnya. Dhuha mengangguk, menimpali ucapan Auliya, Fani hanya tersenyum--dia bingung harus bicara apa saat ini.

Setelah menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit, akhirnya mereka bertiga pamit untuk pulang. Ketiganya keluar dari ruang perawatan ayah berbarengan, begitu pun saat menuju ke mobil. Ketiganya bungkam, sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Kita langsung pulang? Apa kalian berdua lapar?" Dhuha memecah keheningan. Berjalan beriringan bertiga dan ia di tengah-tengah membuat Dhuha juga merasa tak enak. Jujur, selama hidupnya berjalan beriringan dengan perempuan pun tak pernah selain ibunya, kini ia harus terbiasa berjalan beriringan dengan dua perempuan sekaligus. Kali pertama Dhuha seintens ini dengan perempuan dan sekali dua.

"Langsung pulang saja, Mas." Auliya menjawab.

"Pulang saja," timpal Fani. Akhirnya Dhuha melajukan mobilnya untuk pulang setelah mendapat jawaban final.

✨✨

Sesampainya mereka di rumah baru Dhuha, rumah yang sudah dibelinya sejak 6 bulan terakhir. Dengan hasil jerih payah sendiri, Dhuha membeli dan mendesain rumah sesuai keinginannya. Dhuha sudah mengumpulkan uang sejak jaman kuliah, karena Dhuha sudah mengatakan pada diri sendiri, bahwasanya tidak ingin punya rumah yang dari warisan orang tua. Dia ingin bekerja keras dengan usahanya.

"Di sini ada dua kamar, kalian berhak mendapati satu kamar masing-masing. Ini kamar untuk Auliya, dan sebelahnya untuk Fani." Entahlah, kamar itu seperti kebetulan. Dhuha memang sengaja membangun 2 kamar bersebelahan, pikirnya kala itu satu kamar untuknya dan istri dan satu lagi untuk menjadi kamar tamu, tapi nyatanya, dia harus menunggu rumahnya dengan dua istri yang masing-masing memiliki hak tempat pribadi, kamar.

Baik Auliya maupun Fani, mengangguk paham. Saat keduanya sudah benar-benar masuk ke kamar masing-masing, Dhuha menarik napas panjang. Kini, kisah rumah tangganya telah dimulai. Ada dua perempuan yang hidup bersamanya dalam satu rumah, ada dua hati yang harus Dhuha jaga agar tak menyakitinya, ada dua ikrar janji yang telah Dhuha lantunkan saat ijab kabul. Dan, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat jika Dhuha tak bisa menjalani kewajibannya dengan baik.

DhuhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang