Chenle berusaha menahan desakkan dalam perutnya dan berjalan sekuat tenaga ke kamar mandi. Semua yang dia cerna tumpah ke dalam toilet.
Perutnya terasa seperti diaduk dan kepalanya terasa nyeri. Untuk dapat berdiri saja Chenle sudah sangat bersyukur, dia hanya tinggal memikirkan bagaimana caranya dia berjalan tanpa harus terjatuh. Tampaknya akan sulit karena pandangannya sedikit berputar, sepertinya akibat dari nyeri yang kepalanya rasakan.
Perlahan-lahan Chenle menggerakkan kakinya. Tangannya meraba dinding sebagai penahan tubuhnya. Namun Chenle kesulitan menyeimbangkan tubuhnya ketika dia hampir mencapai ranjangnya. Chenle sudah mempersiapkan diri untuk merasakan sakitnya menghantam lantai, tapi seseorang menahan tubuhnya.
"Ya! Kau ini tidak bisa jalan dengan benar?!"
Sadar itu adalah Jisung, senyum kecil Chenle ulas. "Hai, Jisung." Dia mengangkat kepalanya dan menunjukkan senyumnya pada pria itu.
Tidak, Jisung tidak merasa senang melihat senyum Chenle kali ini. Untuk pertama kalinya, Jisung merasa takut. Wajah Chenle sangat pucat, matanya sayu, dan bibirnya kering. Lelaki itu tampak seolah dia sehabis disiksa.
"Kenapa kau bisa seperti ini?"
"Kemoterapi. Memang selalu begini."
Jisung tidak tahu apa itu, tapi dari ucapan Chenle, sepertinya hal itu sudah pernah dilakukan berkali-kali.
Jisung mengangkat tubuh Chenle dan dengan perlahan membaringkan lelaki itu di ranjangnya.
"Kau sudah makan?"
Chenle mengangguk. "Sedikit. Mulutku terasa seperti logam, tidak terlalu enak untuk dipakai makan."
Jisung berdecak. "Kau seharusnya makan yang banyak agar cepat sehat."
"Dan kau seharusnya melakukan pekerjaanmu, Jisung."
Jisung mengibaskan tangannya. "Itu bisa kuatur nanti. Pikirkan dirimu sendiri saja dulu."
Jisung mengambil kantung plastik yang baru Chenle sadari ada di atas sofa. Sebungkus roti Jisung keluarkan dari sana dan diberikannya roti tersebut pada Chenle.
"Aku tidak tahu roti apa yang kau suka, jadi aku ambil saja ini."
Walau tidak memiliki keinginan untuk makan, Chenle tetap menerima roti itu. "Terima kasih, akan kumakan nanti."
Jisung meletakkan plastik di tangannya dan duduk di sisi ranjang Chenle. "Apa itu kemoterapi?"
"Pengobatan untuk mengobati penyakitku."
Dahi Jisung berkerut. "Namun kau tidak terlihat lebih sehat. Kau bertambah pucat, bahkan tadi kau hampir hilang kesadaran."
"Itu adalah efek samping dari pengobatan itu. Yah, mungkin efeknya bertambah parah karena fisikku memang lemah."
"Jika begitu, bukankah akan lebih mudah jika ada yang menjagamu di sini? Jadi kau tidak perlu menuntun dirimu sendiri ke kamar mandi dan akan selalu ada yang menangkapmu ketika kau jatuh seperti tadi."
Jisung memperhatikan wajah Chenle. Senyum lelaki itu berganti dengan senyum yang selalu Jisung anggap menyedihkan. Namun Jisung tidak akan memprotes kali ini, dia ingin mendengar jawaban Chenle
"Teman-temanku sudah terlalu banyak membantuku. Akan sangat merepotkan bagi mereka jika harus mengurusku."
Jisung memutar bola matanya. "Kenapa manusia rumit sekali?"
Chenle terkekeh. Jelas Jisung belum memahami manusia. Namun bagi Chenle itu yang membuatnya senang akan kehadiran Jisung.
"Jisung, apa kau memiliki teman?"
Jisung berdecih sinis. "Cih, untuk apa? Bahkan saudara-saudaraku terkadang masih mengkhianatiku, bagaimana dengan teman?" Jisung terdiam sesaat sebelum melanjutkan. "Hanya adik keduaku yang bisa kupercaya."
"Kau bisa mempercayaiku."
Chenle meraih tangan Jisung dan menggenggamnya. Namun Jisung menarik tangannya dan menyilangkan keduanya di depan dada. "Kau adalah manusia. Kau bisa mengkhianatiku juga seperti saudara-saudaraku dan aku adalah iblis, kau tidak bisa mempercayaiku."
"Hm? Kenapa tidak bisa?"
Jisung tertawa. Dia menertawakan kepolosan Chenle. Namun dalam hatinya, dia sedikit terkesan dengan Chenle.
"Aku adalah perwujudan pengkhianatan itu sendiri. Aku bisa saja meminta pencabut nyawa mengambil nyawamu sekarang. Kau tidak takut?"
Tentu saja Jisung tidak serius dengan ucapannya. Akan ada hukuman bila dia berani ikut campur dengan nyawa manusia secara langsung. Selain itu, Jisung benar-benar tidak bisa. Tidak jika itu Chenle. Entah mengapa.
Chenle tersenyum dan menggeleng kecil. "Aku tahu kau tidak akan melakukannya. Kau bahkan menyuruhku untuk makan agar cepat sehat."
Mata Jisung terbelalak dan dia tiba-tiba saja berdiri. "Ya! Jangan terlalu mempercayai orang seperti itu!" omelnya. "Aku tidak akan mempercayaimu, jadi sebaiknya kau juga tidak mempercayaiku."
"Tidak mau. Aku akan tetap mempercayaimu. Aku percaya bahwa kau akan selalu menemani dan menjagaku."
"Sudah kukatakan jangan mempercayaiku."
Chenle menutup kedua telinganya dan tersenyum pada Jisung. "Aku tidak dengar."
"Jangan mempercayaiku!"
"Kau bilang apa?"
Jisung mendengus. Dia tidak bisa melawan Chenle, jadi dia hanya bungkam. Chenle sendiri yang merasa puas dengan diamnya Jisung melepas tangannya dari telinga dan berkata,
"Aku akan selalu percaya padamu."
Tangan Jisung terkepal dan dia tidak bisa mengatakan apa pun.
Dia ingin mempercayai Chenle, sangat ingin mempercayainya. Namun, lelaki ini bahkan sudah mengkhianatinya sebelum Jisung ingin mempercayainya.
--
Spoilernya Epik High favorit Z banget sejak baru dirilis huhuhu. Berharap banget banyak yang suka lagu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Byōyomi [JiChen | ChenJi] ✓
Фанфик✨A Story by Z✨ Chenle tidak pernah mengira dirinya akan mendapat tamu yang sangat mengejutkan seumur hidupnya. ▶️JiChen / ChenSung / ChenJi ▶️NCT ⚠️BxB [211009] #1 in chenji (out of 2.12k stories)