Setelah tamparan secara fisik mau pun mental, Jisung dengan cepat kembali ke rumah sakit.
Jisung sangat jarang menggunakan kemampuan terbangnya, dia lebih suka melesat dalam bayang-bayang. Namun, untuk kali ini, Jisung melesat begitu cepat melawan angin di angkasa. Jisung tidak ingin membuang waktu. Jika dia tidak bersegera, mungkin saja dia tidak akan sempat bertemu dengan Chenle.
Jisung mengubah wujudnya begitu dia sampai di dalam gedung. Dengan cepat dia menghampiri teman Chenle yang duduk dan bertanya. "Apa belum selesai?"
"Baru saja selesai. Dokter bilang semuanya berjalan lancar. Beberapa saat lagi mungkin mereka akan membawa Chenle ke kamar rawatnya."
Jisung terdiam dan tanpa sadar mengulas senyum pahit. Dia menertawakan betapa sia-sia semua usaha ini dalam hatinya. Melemparkan sumpah serapah pada dunia dimana dia berpijak sekarang.
"Maaf, kita belum berkenalan sebelumnya. Aku Haechan dan ini suamiku, Mark. Kami adalah teman Chenle sejak bangku menengah pertama." lelaki berkulit madu dan pria berwajah barat itu membungkuk sopan pada Jisung.
Jisung yang tidak terlalu peduli hanya mengibaskan tangannya satu kali sebelum dia bertanya. "Kalian tidak akan pergi?"
Baik Mark mau pun Haechan dibuat terkejut dengan perlakuan tidak sopan yang diberikan pada mereka. Haechan yang merasa tidak terima hampir menyumpah serapahi Jisung jika saja tidak ditahan oleh Mark.
"Sepertinya kau bisa menjaga Chenle sendiri. Kalau begitu kami pamit, kami harus berlatih—"
"Pergilah kalau begitu."
Kedua manusia itu pun pergi. Walau salah satu dari mereka harus diseret terlebih dahulu. Namun, Jisung tidak peduli. Dia hanya duduk di kursi tunggu seraya memandangi pintu masuk ruang operasi.
Ketika pintu itu terbuka dan menampakkan sosok yang terbaring dengan tenang , Jisung dengan cepat berdiri dan mengikuti kemana para perawat membawa Chenle.
Chenle tampak begitu damai dalam tidurnya. Kulitnya sedikit lebih pucat dari biasanya, hampir mendekati pucatnya seorang mayat. Jika saja Jisung tidak memperhatikan gerakan kecil perut Chenle, Chenle tampak seperti... sedang tidur untuk selamanya.
Setelah perawat menjelaskan kondisi Chenle, Jisung hanya duduk termenung di samping ranjang. Ini seperti hampir setiap hari yang mereka lalui, hanya saja Chenle sedang tertidur dan baru akan bangun beberapa jam.
Atau tidak sama sekali.
Jisung tidak tahu.
Jisung melihat salah seorang petinggi Dunia Bawah berdiri di atas gedung yang berada di seberang rumah sakit ketika dalam perjalanan. Posisi petinggi Dunia Bawah itu cukup strategis untuk mengawasi Chenle dari jendela kamar rawatnya. Jisung rasanya ingin sekali melawan, tapi untuk apa? Bahkan ayahnya yang merupakan raja iblis tidak bisa menjauhkan atau pun menghapus maut.
Kecuali Jisung ingin membuat kepala ayahnya pecah karena protes dari dunia bawah, Jisung lebih baik diam.
Jisung memijat batang hidungnya dan salah satu sudut bibirnya tertarik. Jisung berusaha mengatur nafasnya. Semua ini membuatnya marah. Semua ini... bagaimana dia tidak bisa melakukan apa-apa, bagaimana dia seperti hanya membiarkan Chenle diambil darinya.
Namun, apa yang bisa dilakukan untuk melawan itu semua?
Walau Jisung meratakan bumi ini, mungkin Chenle akan tetap diambil darinya. Jisung tidak berdaya.
Jika Chenle pergi... Jisung tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
"... Bahkan jika dibutuhkan satu juta tahun lamanya, ayah masih sanggup menunggu kedatangan ibumu!"
Jisung mengusap wajahnya. Dia sudah siap jika harus menunggu selama itu jika memang selama itulah yang diperlukan Chenle untuk bereinkarnasi. Namun, Jisung belum siap untuk ditinggalkan.
Apa Chenle akan merasakan sakit?
Apa Chenle akan baik-baik saja?
Pikiran-pikiran itu terus menghantui Jisung hingga matahari terbit. Jisung masih berada di posisinya, tidak berpindah atau pun bergerak sedikit pun.
Namun, Jisung bangun begitu cepat ketika Chenle membuka kedua matanya dengan perlahan. Jari-jari ramping lelaki itu bergerak kecil dan Jisung dengan lembut menggenggamnya.
"Chenle..."
"Lihat?... aku tidak terlalu percaya diri kali ini."
Senyum lesu itu terulas begitu indah, Jisung sampai tidak bisa berkata-kata dibuatnya. Pria itu hanya bisa tersenyum dihiasi aliran air mata.
"Maaf sudah membuatmu khawatir." suara Chenle terdengar parau.
Jisung menggeleng. "Sudah sepatutnya aku khawatir."
Chenle terkekeh dengan lesu. "Kau banyak berubah."
"Walau begitu kau masih menyukaiku bukan?"
Pucatnya wajah Chenle tidak dapat menutupi rona samar yang mewarnai pipinya. Jisung yang melihat itu tersenyum dan mengusap lembut pipi Chenle.
"Kau ingat? Kau berkata bahwa bunga edelweiss adalah yang tercantik di dunia. Namun, sepertinya bunga itu akan malu jika bertemu denganmu."
Tangan Chenle bergerak mendekati wajah Jisung. Bibir pewaris takhta neraka itu ditariknya pelan. "Mulut manis."
Jisung terkekeh dan menyentuh tangan Chenle. Dia kembali duduk tanpa melepas tangannya dari tangan Chenle.
"Aku sudah memutuskan untuk percaya padamu."
Jisung membelai lembut alis Chenle, sementara yang dibelai menatap Jisung dengan bingung. "Bukankah aku bisa saja mengkhianatimu?" Chenle bertanya.
"Kau tidak akan. Kalau pun pada akhirnya kau mengkhianatiku, aku tidak akan peduli. Karena itu... berjanjilah bahwa kau akan kembali padaku, bahkan jika aku perlu menunggumu jutaan tahun lamanya."
Chenle terpaku. Dari bagaimana Jisung mengatakannya, sepertinya Jisung juga sudah mengetahui bahwa tidak ada jalan keluar bagi Chenle untuk keluar dari situasi ini. Menyadari itu dada Chenle terasa sakit dan sesak, tapi di sisi lain, Chenle merasa lega.
Chenle mengusap tangan Jisung yang menggenggam tangannya yang lain. "Aku berjanji akan kembali padamu secepatnya."
--
(10.03.21) Z tau hari ini bukan hari Sabtu, tapi Sabtu kemungkinan Z ngga akan sempet buka wattpad, jadi Z update malem ini
KAMU SEDANG MEMBACA
Byōyomi [JiChen | ChenJi] ✓
Fanfiction✨A Story by Z✨ Chenle tidak pernah mengira dirinya akan mendapat tamu yang sangat mengejutkan seumur hidupnya. ▶️JiChen / ChenSung / ChenJi ▶️NCT ⚠️BxB [211009] #1 in chenji (out of 2.12k stories)