Seratus lima tahun merindukan Chenle dan akhirnya semuanya terbayarkan dengan kehadirannya serta pelukan erat di pinggir danau.
Jisung tidak memiliki sedikit pun niatan untuk melepaskan pelukan ini, begitu pula dengan Chenle. Bahkan ketika mereka berdua bergerak untuk duduk. Keduanya saling memeluk erat satu sama lain di bawah naungan pohon rindang yang hijau.
"Apa hari-hari yang kau lewati tanpaku berlalu begitu saja? Atau itu terasa seperti berabad-abad lamanya?" Chenle bertanya seraya mengusap punggung Jisung dengan lembut.
Jisung melesakkan kepalanya pada perpotongan leher Chenle, menghirup aroma Chenle untuk memastikan bahwa dia tidak bermimpi.
"Lebih terasa seperti jutaan tahun lamanya." dia mengeratkan pelukannya.
"Maafkan aku."
"Apa yang perlu dimaafkan?" Jisung melepas pelukannya dan menangkup wajah Chenle dengan tangannya. "Itu bukan keinginan atau pun kehendakmu. Itu semua bukanlah salahmu."
Senyum kecil terulas di wajah Chenle. Tangan lentiknya bergerak untuk mengusap pipi Jisung dan naik untuk mengusak surainya. Namun, gerakan itu terhenti begitu Jisung menyadari sesuatu. Chenle yang melihat Jisung yang terpaku menghela nafasnya.
"Jisung—"
"Chenle... kau... Dewa?"
Chenle terpaku untuk sesaat, lalu menunduk. Tangannya dia tarik dan dia mainkan dengan kikuk.
Jisung tahu apa yang Chenle pikirkan. Bagi Jisung, itu sama sekali bukanlah sebuah masalah. Manusia, Dewa, atau pun hantu sekali pun, selama itu adalah Chenle dan terus berada di sisinya, Jisung tidak peduli dengan yang lain. Lagipula, Jisung menunggu seratus lima tahun, ini sudah lebih dari cukup untuknya.
Jisung mengusak surai Chenle dengan lembut. "Yang penting itu adalah kau dan hanya kau. Yang lainnya bukanlah hal yang penting." Jisung terkekeh. "Lagipula, aku menunggu seratus lima tahun, bahkan jika kau menjadi katak pun aku tidak masalah."
Chenle mengangkat kepalanya dan menatap manik Jisung. Hanya ada ketulusan di manik sekelam malam itu, juga binaran yang membuat hati Chenle merasa damai.
Chenle meninju pelan lengan Jisung seraya mendengus pelan. "Jahat."
Kemudian kedua mata yang berkilau itu membulat, "Oh ya, aku akan menjadi sangat sibuk karena aku hanya Dewa golongan menengah, aku harus membantu para golongan atas." Wajahnya menunjukkan penyesalan dan rasa bersalah untuk Jisung.
Jisung pun memeluk Chenle kembali. "Aku sudah mengundurkan diri dari menjadi pewaris takhta dan sudah tidak memiliki pekerjaan," Jisung tersenyum lebar, memamerkan status penganggurannya. "aku bisa mengganggumu kapan pun aku ingin."
Chenle terkekeh. "Kau mungkin akan terkena masalah jika menggangguku."
Jisung berdecih. "Walaupun aku bukan lagi Putra Mahkota, ayahku masihlah seorang raja iblis. Dewa-Dewa itu tidak akan berani menggangguku."
Chenle melepas pelukannya, lalu meraih tangan Jisung dan menggenggamnya. "Kau banyak berubah, tapi juga tidak berubah di saat yang bersamaan."
"Kau tidak menyukainya?"
"Yang penting itu adalah kau dan hanya kau. Yang lainnya bukanlah hal penting." Chenle mengulangi perkataan Jisung dengan senyum lebar di wajahnya.
Jantung Jisung berdebar cepat, sebuah debaran yang mengingatkannya bahwa dia hidup dan debaran ini datang karena Chenle. Ini adalah yang pertama kalinya sejak seratus lima tahun yang lalu.
"Kemarilah." Jisung meluruskan kakinya dan menepuk pahanya. Tahu maksud Jisung, Chenle pun berbaring dan menjadikan paha Jisung sebagai bantalnya.
"Jadi, kau dibawah bimbingan siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Byōyomi [JiChen | ChenJi] ✓
Fanfic✨A Story by Z✨ Chenle tidak pernah mengira dirinya akan mendapat tamu yang sangat mengejutkan seumur hidupnya. ▶️JiChen / ChenSung / ChenJi ▶️NCT ⚠️BxB [211009] #1 in chenji (out of 2.12k stories)