Bulan telah berubah menjadi mangkuk yang dimiringkan. Namun cahayanya masih bisa menerangi hampir sebagian besar kegelapan yang ada.
Chenle yang sedang ditemani bukunya mengulas senyumnya melihat sekelebat bayangan di depannya. Dengan begitu cepat, bayangan hitam itu berubah menjadi sosok yang dikenalnya.
"Hai, Jisung." senyum Chenle terulas.
"Buku itu lagi? Kau tidak bosan?"
Pria itu menarik kursi dan duduk di samping Chenle. Tangannya disandarkan di ranjang dan menopang kepalanya.
Chenle menutup bukunya. "Kau baru melihatnya dua kali dan kau sudah bosan?"
Jisung mengangguk. "Cari kegiatan lain saja. Kau tidak punya kegemaran lain?"
Tentu saja Chenle memilikinya. Namun dia tidak berada dalam kondisi di mana dia bisa melakukannya. Rasanya pahit jika diingat, terlalu pahit hingga senyuman sendu terlukis tanpa disadarinya.
"Eii, ada apa dengan senyuman itu? Terlihat menyedihkan. Sudah kukatakan, jangan bersikap menyedihkan, tapi kau tetap melakukannya."
Chenle tidak dapat mendengar apa pun yang Jisung katakan. Dia larut dalam ingatannya. Dia larut dalam kesedihannya.
"... jika kau bersikap menyedihkan, orang-orang akan menginjak-injakmu—, ya! Kau tidak mendengarkan?!"
Chenle mengerjapkan matanya beberapa kali dan menoleh pada Jisung dengan tatapan linglung. "Maaf. Aku tidak merasa baik hari ini."
Suaranya terdengar begitu lemah dan lirih. Jisung menatap Chenle dengan heran. Semangat berapi-api yang selalu berada dalam dirinya secara mendadak padam oleh sesuatu yang tidak dia ketahui.
"Kau... terlihat sedih."
"Hanya merasa tidak baik saja." Sebuah senyuman Chenle paksakan. "Jisung, sudah berapa lama kau hidup?"
Jisung menatap langit-langit kamar rawat, menerawang tahun-tahun yang sudah dia lewati. "Sudah sekitar... seribu lima ratus tahun?"
"Wah!" Chenle menekuk lututnya. Matanya yang berbinar-binar menatap Jisung dengan penuh minat. "Kau pasti memiliki banyak kisah yang menarik. Bisakah kau menceritakannya padaku?"
"Ada terlalu banyak. Namun ada satu yang selalu kuingat. Ketika itu, usiaku baru menginjak 998 tahun. Neraka dan langit sedang berada dalam suasana yang panas."
"Oh, mereka berperang?"
"Belum sampai tahap perang. Semuanya selesai sebelum keadaan semakin parah dan semua itu berkat diriku." Jisung menyentuh dadanya dan tersenyum bangga.
Chenle memeluk lututnya dan menyandarkan kepalanya di sana. "Apa masalah antara kedua dunia itu dan apa yang kau lakukan?"
"Saat itu, hampir seisi langit murka karena adik keduaku membuat masalah. Lalu, aku membalasnya dengan membuat masalah yang lebih besar, tapi aku memanipulasinya sehingga terlihat begitu alami. Setelah itu, aku menyelesaikan masalah yang kubuat. Yah, kurang lebih seperti itu."
Dahi Chenle berkerut, walau begitu kekaguman tetap tergambar di wajahnya. "Kau membuat masalah dan menyelesaikan masalah lain dengan masalah itu?"
"Ung!" Jisung mengangguk dengan tegas. "Para Dewa itu tidak tahu semua kepura-puraan itu. Masalah adikku selesai dan ayah memberiku banyak hadiah. Itulah kelebihan menjadi penguasa tipu muslihat."
"Apa aku tidak boleh tahu detailnya?"
Chenle menatap mata Jisung, sedang yang ditatap tampak menimbang-nimbang. Bahkan pada waktu seperti itu wajah pria ini masih terlihat tampan.
"Kurasa itu cerita untuk lain waktu." Jisung akhrinya membalas tatapan Chenle. "Bagaimana dengan hidupmu?"
"Hidupku?" Chenle terdiam sesaat sebelum akhirnya dia menghembuskan nafasnya. "Ayah dan ibuku menelantarkanku. Setelah itu aku dirawat di sebuah panti asuhan. Aku belajar banyak hal, musik adalah yang paling kusukai. Jadi aku berusaha untuk tekun belajar dan mencari banyak uang agar bisa masuk ke sekolah musik."
Semua memori kehidupannya terputar begitu cepat dalam pikirannya, menghasilkan perasaan yang sulit untuk dia jelaskan.
"Orang-orang bilang, aku sangat berbakat dalam bermain piano. Yah, aku sangat menyukai piano, jadi aku menekuninya dengan serius." Ingatannya melayang pada setiap saat dia membiarkan jarinya menari di atas setiap tuts, menciptakan suara yang begitu indah untuk didengar.
"Lalu, tanpa kusadari semua hal membaik. Aku semakin dikenal banyak orang, setiap kali aku melakukan konser tiketnya akan selalu habis, banyak orang yang merasa senang ketika aku memainkan pianoku." Chenle termenung. Mulutnya terkatup dan matanya terasa panas. Dia bahkan tidak lagi bisa melihat Jisung. Semuanya tampak buram.
Jisung terdiam. Dia tahu kelanjutannya, itu terpampang jelas di depannya. Biasanya dia akan bersikap tidak peduli karena kenyataannya dia tidak peduli. Dia itu iblis, dia menikmati kesedihan dan kesulitan manusia. Itulah sumber hiburannya.
Namun kali ini Jisung merasakan sesuatu. Rasanya sangat tidak nyaman dan itu membuat Jisung ingin melakukan sesuatu agar dia bisa menghapus kesedihan yang Chenle rasakan.
"Kau... kau pasti bisa kembali sehat seperti semula. Aku yakin itu."
Jisung meremat celana bahannya. Dia berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri dari memeluk bahkan menyentuh Chenle. Dia terus mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia tidak seharusnya menjadi penghibur kesedihan manusia. Dia seharusnya melakukan kebalikan dari menghibur.
Aliran air mata di wajahnya Chenle usap, "Maaf karena merusak harimu." Ucapnya. Matanya berputar mencari jam dan menarik selimutnya.
"Sudah larut malam, aku harus beristirahat. Sekali lagi maaf, Jisung."
Jisung hanya diam dan membiarkan Chenle bergelung dalam nyamannya selimut. Ingin sekali dia mengucapkan selamat tinggal, tapi dia urungkan keinginan itu. Perasaan yang tidak nyaman ini benar-benar asing untuk Jisung. Jisung pun pergi meninggalkan Chenle sendiri di kamar itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/244944360-288-k153349.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Byōyomi [JiChen | ChenJi] ✓
Fanfiction✨A Story by Z✨ Chenle tidak pernah mengira dirinya akan mendapat tamu yang sangat mengejutkan seumur hidupnya. ▶️JiChen / ChenSung / ChenJi ▶️NCT ⚠️BxB [211009] #1 in chenji (out of 2.12k stories)