Seratus lima tahun. Jisung sedikit lebih baik dalam mengatasi kesedihan dan juga kesabarannya dalam menanti Chenle.
Jisung selalu berpikir seolah Chenle tidak akan kembali. Hatinya selalu terasa sakit, tapi dia teguhkan agar dia tetap kuat menunggu edelweissnya tersayang. Jika dia tidak menetapkan pikiran seperti itu, mungkin dia tidak akan sanggup untuk bertahan sejauh ini.
Karena peluang bahwa Chenle tidak akan kembali cukup besar dan Jisung tahu itu. Jadi, lebih baik mempersiapkan diri seperti ini.
Lima tahun ini tidak menyebabkan begitu banyak perubahan. Felix dan ayah mereka masih terus menyemangatinya. Changbin tidak pernah lupa memberikan nasihat yang sebenarnya tidak terlalu Jisung butuhkan. Pada tingkatan ini, Jisung lebih berpengalaman dalam menunggu ketimbang Changbin, jadi dia hanya berpura-pura mendengarkan setiap kali Dewa itu membuka mulutnya.
Sungchan... anak bungsu itu baik-baik saja. Jisung bahkan mendapat sedikit hadiah dari anak itu. Adik tidak sedarahnya itu ternyata menyimpan bantal yang Chenle tiduri terakhir kali selama ini. Dia menyimpannya dan ingin memberikannya kepada Jisung tapi gengsinya terlalu besar hingga akhirnya tiga tahun yang lalu, akhirnya anak itu memberikannya kepada Jisung.
Masih tersisa aroma Chenle di bantal tersebut dan itu membuat kebahagiaan Jisung sedikit bertambah. Walaupun hanya sedikit, tapi itu sudah lebih dari cukup.
Jisung menyamankan posisi tidurnya di bawah pohon yang rindang dan mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Hari ini sangat indah dan akan sangat menyenangkan jika bisa menghabiskannya bersama Chenle. Namun, pohon sakura yang menaunginya serta bantal Chenle yang dia peluk sudah menghiburnya. Jisung sedikit merasa dia berada di kamar rawat Chenle saat ini. Hanya kurang kehadiran Chenle saja.
Tepat seratus lima tahun sudah Chenle meninggalkannya. Jisung bertanya-tanya, apa lelaki itu masih mengingatnya? Apa lelaki itu baik-baik saja di sana? Tuan Besar Changmin pasti merawat Chenle dengan baik bukan?
Walau sudah terbiasa dengan bersikap sabar, ada satu hal yang belum bisa Jisung biasakan. Rindu, Jisung belum terbiasa mengabaikan rindu yang dia rasakan terhadap Chenle.
"Tidak akan pernah bisa." Jisung menggeleng kecil dan menghela nafasnya. "Aku selalu merindukanmu."
Jisung memejamkan matanya. Matahari di penghujung musim semi ini bersinar begitu cerah dan angin sejuk yang menemaninya membuat segalanya sangat sempurna untuk bersantai dan mendalami kerinduannya.
Dalam hitam benaknya, Jisung dapat melihat wajah Chenle. Lelaki itu tersenyum padanya dengan rona manis menghiasi kedua pipinya.
Edelweissnya yang manis, betapa Jisung merindukannya.
Dahi Jisung sedikit berkerut ketika merasakan ada yang menghalangi sinar mentari dari mengenai wajahnya. Perasaan Jisung menjadi mendung seketika dan dia pun membuka matanya, siap untuk melampiaskan kekesalannya pada siapa pun yang telah mengganggunya.
Pada awalnya hanya hitam yang dapat Jisung lihat. Mengingat bagaimana orang itu membelakangi cahaya matahari, Jisung pun tidak merasa terkejut.
Jisung berusaha untuk memfokuskan pandangannya agar dia dapat menangkap wajah orang itu. Ketika dia dapat melihat wajahnya, Jisung terpaku dengan nafasnya yang tertahan, jantungnya seolah berhenti berdetak.
Cantik dan manis, dia selalu terlihat seperti itu. Kulit putih pucatnya tidak mengurangi kecantikannya, malah semakin membuatnya terlihat seperti bunga. Bibir merah mudanya begitu indah. Senyumnya dapat mengusir semua kegelapan yang ada pada Jisung. Mata yang berkilau itu selalu berhasil membuat Jisung tidak bisa menatap yang lain.
Seratus lima tahun Jisung menunggunya dan kini penantiannya sudah terbayarkan.
Dengan cepat Jisung bangkit. Dengan hati-hati tangannya menyentuh wajah itu dan mengusapnya dengan lembut.
Lembut, ini adalah lembut yang Jisung rindukan. Kelembutan ini membuat Jisung tidak lagi bisa menahan genangan air matanya. Tangannya pun bergetar hebat.
Edelweissnya telah kembali.
"C-Chenle..."
Lelaki itu tersenyum. Matanya yang berlinangan air mata tampak berkilau di bawah sinar mentari. Tangan lentiknya menyentuh tangan Jisung dan mengusapnya lembut.
"Aku kembali."
Pada akhirnya, apel dari pohon itu jatuh dan berguling pada seorang lelaki yang berada di dekatnya. Pohon yang sekarat itu pun pada akhirnya menemukan alasannya untuk tetap hidup dan berjuang kembali untuk tetap hadir untuk lelaki yang telah mengambil buahnya.
Jisung merengkuh Chenle ke dalam pelukan eratnya. Dia terisak dalam kebahagiaan di bahu Chenle. Chenle yang berada dalam pelukan Jisung pun turut terisak. Keduanya merasakan kebahagiaan luar biasa di bawah naungan matahari dan angin sejuk. Menghapuskan rasa rindu yang menyiksa hanya dengan sebuah pelukan erat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Byōyomi [JiChen | ChenJi] ✓
Fanfic✨A Story by Z✨ Chenle tidak pernah mengira dirinya akan mendapat tamu yang sangat mengejutkan seumur hidupnya. ▶️JiChen / ChenSung / ChenJi ▶️NCT ⚠️BxB [211009] #1 in chenji (out of 2.12k stories)