Zwölf

2.3K 496 45
                                    

Chenle memandang Jisung dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. "I-itu... itu kau?"

Jisung tersenyum lirih dan bangun dari duduknya. "Kau benar-benar anak kecil itu?"

Jisung tidak pernah tahu dengan pasti, dia tidak dapat mengandalkan ingatannya dengan baik. Ketika semua bayangan tentang anak kecil itu muncul, tidak pernah terbesit di benak Jisung bahwa anak itu adalah Chenle. Dia hanya berpikir, Chenle mengingatkannya pada anak kecil itu. Jisung pikir semua ingatan itu tiba-tiba saja datang karena Chenle mengingatkannya pada anak itu.

Chenle mengangguk dengan sebuah senyuman lebar yang secara tidak sadar dia ulas. Air matanya mengaliri wajahnya, tapi Chenle terlalu senang untuk merasakannya.

"Pria penyelamat berpakaian hitam. Aku mengatakan itu pada polisi ketika mereka bertanya siapa yang memberikanku makan dan minum di tanganku saat itu." Chenle terkekeh dengan genangan air mata menghiasi.

Jisung turut terkekeh bersama Chenle. Kakinya melangkah menghampiri Chenle dan tangannya menyentuh kepala Chenle dengan lembut ketika dia sampai di pinggir ranjang. "Pembohong kecil."

"Aku tidak bisa mengingat wajahmu. Bertahun-tahun aku bertanya-tanya siapa pria itu dan ternyata itu adalah kau." Chenle meraih Jisung dan meremat kemeja hitam yang dikenakan pria itu. "Terima kasih banyak, Jisung."

Jisung tidak bisa menahan diri untuk kali ini. Dia membungkukkan tubuhnya dan merengkuh Chenle ke dalam pelukannya. Dia usap dengan lembut punggung Chenle yang bergetar.

Chenle tidak tahu mengapa dirinya menangis. Namun, rasanya seolah semua beban yang dia tahan selama ini menghilang begitu saja ketika dia terisak dalam pelukan Jisung.

"Kenapa kau malah menangis?"

"A-aku tidak— hiks, tahu."

Ribuan tahun sudah Jisung hidup, tapi dia tidak pernah menenangkan atau menghibur orang yang menangis, dia terbiasa menertawakan mereka. Namun sekarang, walau dia tidak pernah melakukannya, Jisung dengan kikuknya menenangkan Chenle hingga lelaki itu berhenti menangis dan tenang.

"Terima kasih banyak." Chenle berbisik lembut.

"Tidak perlu." Jisung menggeleng kecil. "Namun jika kau ingin membalasku, ada satu hal yang bisa kau kau lakukan."

"Apa itu?"

"Jangan membicarakan apa pun yang berhubungan dengan kematianmu. Aku membencinya. Aku sudah memperingatkanmu tentang amarahku bukan?"

Chenle tersenyum kecil. "Bahwa aku tidak akan menyukainya?"

Jisung mengangguk kecil. "Kau tidak akan menyukainya."

Chenle menyamankan kepalanya, bersandar di dada bidang Jisung. "Kalau begitu, aku tidak akan— a-akh... t-tidak— akh..."

Jisung menjauhkan Chenle dari dirinya dan menatap lelaki itu dengan kedua matanya yang terbelalak. Kepanikan jelas tergambar di wajah pria itu. "Kau kenapa?!"

Chenle memegangi perutnya dan meringkuk tidak berdaya. Jisung dengan cepat memposisikan Chenle agar lelaki itu merasa nyaman dan mengubah wujudnya dengan cepat untuk mencari siapa pun yang bisa menolongnya.

"Tolong!" Jisung menarik seorang perawat dan menahannya. "Aku mohon selamatkan dia!"

"Tuan, ada apa? Siapa yang anda maksud?"

"Chenle, Zhong Chenle! Kamar 425! Aku mohon, selamatkan dia."

Jisung hanya bisa melepaskan perawat itu ketika perawat itu bersegera memanggil siapa pun yang dibutuhkan untuk menolong Chenle. Jisung berlari kembali menuju kamar rawat dan mengusap kepala Chenle. Jisung mengatur nafasnya, berusaha untuk tampak tenang di depan Chenle. "Kau akan baik-baik saja, percaya padaku. Kau akan baik-baik saja, kau akan baik-baik saja."

Jisung menjauh ketika beberapa perawat dan seorang dokter masuk dan mulai menangani Chenle. Jisung yang merasa bahwa dia tidak akan bisa bertahan di dalam sana berjalan keluar kamar dan menyandarkan tubuhnya pada dinding lorong.

Dapat Jisung rasakan jantungnya berdebar begitu cepat, tapi terasa begitu berbeda dari debaran yang dia dapatkan ketika Chenle membuatnya merasakan sensasi yang begitu nyaman. Debaran ini jauh dari kata nyaman dan menyenangkan. Ini membuat Jisung merasa kecil dan tidak berdaya.

Inikah yang manusia rasakan ketika mereka khawatir akan sesuatu? Ini yang manusia rasakan ketika mereka tidak ingin kehilangan sesuatu?

Ini perasaan yang mengerikan.

"Aku mohon... aku mohon selamatkan dia." Jisung berbisik lirih seraya memejamkan matanya.

Namun, kepada siapa dia memohon? Dia adalah seorang iblis, makhluk yang seharusnya mematahkan harapan manusia, perwujudan dari keputusasaan itu sendiri.

"Jisung?"

Jisung menoleh perlahan dan merasa terkejut mendapati seorang pria yang dia ketahui, berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Changbin?"

Pria yang betubuh sedikit lebih pendek dari Jisung itu mendekat dengan wajah kebingungan. "Kau... kau yang berdoa?"

Jisung tidak tahu harus merasa bingung atau lega karena kehadiran Changbin. Namun satu pertanyaan terlintas di benak Jisung. "Kau mendengar doaku?"








Byōyomi [JiChen | ChenJi] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang