Happy reading<3
Satu Juta Luka
© oceancty"Kak Jeff!" seru Jeno yang melihat kakak ke-dua nya itu sedang berjalan menuju pantry. Jeffrey menoleh, mengangkat kedua alisnya pertanda bahwa ia bertanya 'ada apa?' Jeno segera menyusul kakaknya tersebut. Ikut menduduki kursi yang berada di pantry.
"Jika aku sudah lulus nanti, aku ingin memulai usaha sederhana." ucap Jeno seraya mengambil segelas air putih. "Itu bagus. Lalu, apa masalahnya?" tanya Jeffrey sambil mengaduk kopi panas yang berada di depannya kini. Seketika raut wajah Jeno berubah menjadi bingung.
"Aku hanya tak tahu, aku ingin memulai usaha apa." lirih Jeno dengan frustasi. Sebenarnya, ia siap untuk melakukan pekerjaan, karena menurutnya, bekerja itu sangat menyenangkan. Apa Sean dan Jeffrey menurunkan sifat workaholic nya kepada Jeno?
"Lebih baik, kau memilih usaha yang menurut mu itu adalah hal yang menyenangkan, jika kau tertarik atau lihai dalam bidang itu, lanjutkan lah, perdalam ilmu-ilmu yang menurutmu itu akan mengubah mu dalam hal positif. Contohnya aku, aku suka dalam bidang kuliner, aku mencoba untuk memperdalam ilmu-ilmu yang berhubungan tentang kuliner. Juga kak Sean, ia cenderung dalam bidang fashion, maka ia akan memperdalam ilmu-ilmu yang berhubungan tentang fashion." jelas Jeffrey panjang lebar. Pantas memang jika ia menjadi penasehat yang baik untuk adiknya. Ia hanya ingin Jeno kelak menjadi orang sukses seperti dirinya dn kakaknya.
"Aku yakin, kau pasti bisa menentukan pilihanmu. Kau tak mungkin salah dalam mengambil keputusan, aku percaya padamu, Jen." tutur sang kakak sambil menepuk pelan pundak sang adik. Memberi keyakinan bahwa semua pasti ada maknanya. "Kalau begitu, aku tinggal ke kamar." pamit Jeffrey sambil beranjak dari pantry dengan secangkir kopi di tangannya.
Ia menghela nafas sambil melihat kepergian kakaknya, akan ia pikirkan nanti, yang terpenting, ia harus bisa menyelesaikan tugas akhirnya dulu. Kini, Jeno juga melangkah kan kakinya menuju kamar, ia mulai bergelut dengan laptop yang berada di depannya.
Tak terasa, ia menghabiskan waktu selama lima jam untuk berada di posisi yang sama. Ia mulai menyingkirkan laptop itu ke samping, ia menggeliat pelan, merilekskan otot-ototnya yang terasa kaku tersebut. Lantas ia segera menengok ke arah jam, ternyata sudah pukul tiga sore. Waktunya ia untuk melayani Kianna.
Saat ia sudah berada di depan pintu kamar Kianna, di ketuknya pintu itu pelan, takut mengganggu gadis yang berada di dalam. Di bukalah pintu itu, ia melihat ada Kianna di atas ranjangnya sambil memainkan kalimba favoritnya. Entah mengapa, setiap Kianna memainkan alat musik itu, pikiran dan hatinya mendadak lebih tenang.
Gadis itu menoleh saat melihat kehadiran Jeno di kamarnya, ia tersenyum lalu menepukkan kasurnya yang terlihat kosong, mengisyaratkan agar Jeno terduduk di sebelahnya. "Mainkan lagi, agar diriku bisa lebih tenang." Kianna menyrengitkan kedua alisnya, ia tampak bingung dengan ucapan Jeno barusan.
"Apa dirimu sedang tidak baik-baik saja? Katakan padaku." titahnya yang kemudian mendapat gelengan dari Jeno. Kianna paham akan hal itu, mungkin, Jeno masih belum ingin berbagi masalahnya kepada siapapun termasuk dirinya. Tetapi, tanpa ia tahu, Jeno sudah membagikan masalahnya tersebut kepada Jeffrey.
Di mainkan kalimba itu dengan penuh irama, suara lembut Kianna mengiringi alunan musik tersebut, membuat suasana hati Jeno jauh lebih baik dari yang sebelumnya. Jeno mulai memejamkan mata, dirinya masih terfokus pada aksen alunan musik Kianna.
Hingga di rasa ia sudah tak mendengar alunan musik itu lagi, matanya terbuka perlahan. "Sudah selesai." ucap Kianna kini sambil menaruh alat musik kesayangannya tersebut ke nakas. "Kalau begitu, aku akan menyiapkan alat untuk membasuh tubuh mu." Kemudian Jeno mulai beranjak dari kasur Kianna.
~
Kini, luka lebam dan luka jahitan pada tubuh Kianna berangsur membaik setelah berhari-hari lamanya. Tentu dengan bantuan obat, salep, dan kontrol secara rutin. Juga tentu selalu Jeno yang berda di sampingnya. Kini ia juga sudah boleh beraktivitas seperti biasanya.
Terlihat aneh memang, jika selama ini Sean dan Jeffrey sama sekali tak mengganggu gadis tersebut, mungkin hati nuraninya sedang bergerak agar tak menyakiti gadis malang tersebut.
Sekarang, gadis itu sedang mencuci piring bekas sarapan mereka ber empat tadi. Para penghuni rumah juga sudah berada di tempat mereka mencari kesibukan. Kianna mulai kesepian lagi. Ya, semenjak ia di bawa ke rumah sakit waktu itu, Jeno memutuskan untuk berkuliah dari rumah, agar Jeno bisa mengawasi Kianna, tetapi kini semua berjalan dengan normal kembali.
Sesudah mencuci piring, ia segera melesat ke taman belakang, sudah lama rasanya ia tak mengunjungi taman itu sejak ia mulai tak sadarkan diri. Bunga Mawar kesukaannya kini nampak layu, maklum, tak ada yang merawat taman ini selain ia sendiri.
Mulai pagi itu, ia berkebun sampai senja mendatang, menunggu kepulangan Jeno yang selalu ia rindukan.
~
"Halo, Jun?" Kianna mulai menyapa Dejun di seberang telepon genggamnya. Entah apa yang ingin Dejun sampaikan kepada gadis itu, tumben-tumbenan sekali Dejun menelponnya.
"Na, besok ada waktu luang?" Kianna mengangguk yang pastinya tak bisa dilihat oleh Dejun, "Ada, memangnya kenapa?" Tanyanya balik sambil menyeruput teh hangat yang berada di depannya. Sekarang ia sedang berada di balkon kamarnya.
"Bagaimana dengan Xcaret park besok?" Kianna nampak berpikir, Xcaret park? Kelihatannya tidak buruk, tetapi ada satu yang membuatnya ragu. "Bagaimana dengan Jeno?" tanya gadis itu pelan. Bukan masalah ada Jeno atau tidak, ia hanya tak tega jika ia bersenang-senang saat Jeno sedang sibuk-sibuknya menjalani tugas akhir.
"Tentu ikut." jawab Dejun dari seberang telepon. Lagi-lagi, Kianna nampak berpikir. "Tetapi Jeno sedang di sibukkan oleh tugas akhirnya. Jika kau memang ingin mengajak Jeno, akan ku tanyakan sekarang." Kianna mulai beranjak dari tempat duduk yang berada di balkon. Ia bergegas menuju kamar Jeno yang berjarak satu kamar dari kamarnya.
Di ketuknya pintu itu pelan, lalu perlahan ia mulai memutar kenop pintu itu. Menampakkan Jeno yang lagi-lagi sibuk dengan laptopnya. Kianna menghampiri dengan telepon yang masih menyala di genggamannya.
"Jeno, boleh aku meminta waktu mu sebentar?" tanya gadis itu pelan, Jeno mengangguk, tanda ia selalu terbuka untuknya. "Besok Dejun ingin mengajak kita ke Xcaret park, bagaimana? Apa kau tak sibuk besok? Jika sibuk tak apa-apa, aku juga tidak ikut pergi." tanyanya yang kemudian mendapat gelengan dari Jeno.
"Tidak tidak. Besok aku ada waktu luang, aku akan menemanimu." sergah Jeno dengan cepat. Apapun dirinya relakan untuk Kianna. Masih ingat dengan ucapan Dariel tentang Jeno yang terlalu terobsesi oleh Kianna? Hey dude! Itu adalah bentuk kasih sayang Jeno kepada Kianna. Apa saja yang tidak untuk Kianna?
.
.
.
.
.
To be continue
Hilangkan rasa malasku untuk mengetik, Ya Allah >_<
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Juta Luka
ActionIni bukan tentang cinta. Ini tentang keduanya yang tidak memanusiakan manusia. "Hari ini, aku berdiri di sini bukan untuk mati, tetapi melepas rasa penat ku selama ini." "Jun, bolehkah aku bertemu dengan Jeno?" © 2020, oceancty