19. Kabur

97 27 2
                                    

Happy reading<3


Satu Juta Luka
© oceancty

"Aarrgghhhh... Sialan!" Pagi ini Jeffrey sudah dibuat marah saja. Bagaimana tidak? Ia melihat sang satpam tak sadarkan diri dengan balok kayu di sampingnya, serta kunci gerbang yang masih menyatu pada gerbang.

Ia lantas segera menuju ke ruang bawah tanah, dan benar saja dugaannya, Jeno tidak ada di sana. Jeffrey mengacak rambutnya frustasi, Jeno benar-benar nekat kali ini. "Ada apa, Jeff?" tanya Sean yang melihat raut muka adiknya yang tak bersahabat tersebut.

"Jeno kabur, kak." lirihnya antara marah dan lesu. "Coba lacak lokasinya, atau jika tidak, kita ke kantor polisi sekarang, mungkin kita bisa tanya polisi apakah Jeno kesana atau tidak." titah Sean pelan. Sebenarnya ia juga tak kalah marahnya dengan Jeffrey. Tapi bagaimana lagi, ia tak bisa ikut lebih lama lagi selain bolak-balik kantor polisi untuk memperbarui informasi kasus.

"Tetapi ini masih pagi, kak." Jeffrey tidak yakin jika Jeno langsung kesana, lagian, waktu ini bukan waktu yang tepat untuk diperbolehkan berkunjung. "Baiklah, siang nanti kita kesana." usul Sean lalu kembali ke kamar.

Kali ini Jeffrey sedang sibuk dengan laptopnya, berusaha melacak keberadaan Jeno dengan ponselnya. Nemun lagi-lagi Jeffrey menggeram marah, ternyata ponselnya ditinggal di kamarnya. Ya, Jeno memang sengaja tak membawa ponselnya, ia tahu jika nanti kakak-kakaknya pasti melacak keberadaannya.

Sementara di sisi lain.

Jeno terbangun lantaran sinar fajar menusuk menembus retinanya. Ia tertidur di emperan toko yang terletak sedikit jauh dari keramaian. Dirinya lapar sebenarnya, sudah berhari-hari ia tak mendapat asupan nutrisi, tetapi ia harus kuat menahannya demi Kianna.

Tubuhnya terasa sangat lengket. Ia ingin mandi dan berganti pakaian, namun lagi-lagi ia tak membawa sepeserpun uang. Dirinya merasa sangat bosan sekarang, ia harus menunggu hingga malam datang, itu memakan waktu yang cukup lama baginya untuk menunggu.

Berakhirlah dengan Jeno yang menuju tempat pancuran air yang disediakan tak jauh dari sana, berniat untuk membersihkan bekas darah yang mengering dan wajahnya agar terlihat lebih segar sedikit. Juga ia meminum air keran tersebut dengan sedikit rakus, tak apa, hitung-hitung bisa menghilangkan rasa dahaganya.

Setelah selesai, ia kembali ke emperan toko tersebut. Ia memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa berpulang ke rumah. Pastinya ia yakin, ia pasti akan dikurung lagi bahkan dengan keamanan yang ketat. Ia benci dikurung.

Sepintas ide muncul dalam pemikiran Jeno. Ia tidak akan berpulang ke rumahnya, melainkan ke rumah Aldrich yang mau tak mau ia harus menjelaskan kejadian bagaimana ia bisa ke rumahnya. Untuk saat ini Jeno masih ingin menikmati udara luar, sehingga tidak langsung ke rumah Aldrich.

Malam menjelang, selama itu pula Jeno hanya terdiam melihat orang yang berlalu lalang di depannya. Sesekali ia juga memikirkan kondisi Kianna. Apa Kianna sendiri di sana? Apa Kianna sudah makan? Apa Kianna bisa menjaga dirinya? Apa Kianna diperlakukan dengan baik? Terlalu banyak pertanyaan seputar Kianna di pikiran Jeno.

Jeno melihat jam kota, sekarang sudah mendekati jam delapan malam. Lantas Jeno segera bangkit dan segera pergi menuju kantor polisi. Terkadang Jeno terlihat sedikit berlari agar segera sampai, tentu ia tak membuang waktu lama untuk segera bertemu Kianna.

Setelah sampai di depan kantor polisi tersebut, Jeno terlihat mengembuskan nafasnya pelan. Bagaimanapun juga, ia harus siap melihat kondisi Kianna. Setelah mendengar persyaratan dari polisi yang bertugas, Jeno segera dituntun menuju ruang yang terdapat satu meja dan dua kursi.

Jeno mulanya hanya terduduk sambil melihat sudut ruangan. Tak dipungkiri juga jantungnya berdegup kencang saat ini. Hingga ia mendengan suara dari sosok yang membuatnya kacau beberapa hari ini.

Satu Juta Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang