O7. Rindu

144 50 25
                                    

Happy reading<3

Satu Juta Luka
© oceancty

Luka yang membekas di tubuh Kianna kini semakin membesar. Ia memutuskan untuk hiatus dalam penyelesaian misi, berusaha mencari alasan yang terlihat sedikit masuk akal kepada teman-temannya. Kegiatannya kini hanya di sekeliling rumah, melakukan kegiatan yang menurutnya tidak terlalu menghabiskan banyak tenaga.

Dengan kalimba di genggamnya, ia terduduk sendiri di balkon kamar, memainkan alat musik tersebut dengan merdu, sesekali menatap ke langit. Haha, ia merindukan ayah dan ibunya saat ini. Pikirnya, tawaran Jeno waktu itu dapat menolong hidupnya menjadi lebih layak, namun nyatanya, ia jauh lebih kotor dari kehidupannya dulu.

Tak terasa, air mata terjun bebas tanpa permisi. Ia menghiraukan angin malam yang menusuk kulitnya, dirinya saat ini hanya merasakan sesal dan juga rindu di saat bersamaan. Sesal mengapa ia dulu menerima tawaran bodoh itu, dan juga rindu dengan ayah-ibunya yang telah lama pergi menghilang itu.

Ia memutuskan pandangannya dari langit, menatap sendu barang yang berada di genggamnya itu. Ia masih mengingat jelas, bagaimana ia sangat antusias saat pertama kali melihat kalimba itu, dan saat itu juga, orangtuanya berjuang keras untuk mendapatkan barang itu. Barang terakhir darinya yang sangat berharga dalam hidup Kianna.

Tanpa ia sadari, ada sosok lain yang mendengar isak tangisnya tadi, terasa begitu menyakitkan saat sosok itu mendengarnya. Batinnya seperti tercabik-cabik, ia segera mendatangi Kianna saat itu, berlutut di depannya, menggenggam tangannya, dan menatap manik basahnya.

Kianna tersentak, ia segera menyadari siapa yang berada di hadapannya tersebut, "J- Jeno?" ucapnya terbata-bata. Manik mereka saling bertemu, semua terdiam beberapa saat. Mata Jeno rasanya mulai memanas, tenggorokannya tercekat, seakan ingin menyuara, namun lehernya seperti di ikat dengan tali yang sangat kuat.

"A- aku merindukan mereka, Jeno," Jeno tak sanggup lagi. Ia segera membawa tubuh rapuh itu ke dalam dekapannya. Menenggelamkan wajahnya yang penuh isak tangis tersebut ke dalam dadanya. Air matanya seakan ikut turun. Ia tahu, ia tahu betul betapa rapuhnya sosok yang sedang ia dekap sekarang.

Ia merasa bersalah sekaligus merasa berdosa. Ia tak tahu jika lisannya berakhir seperti ini. Ini sungguh di luar dugaan, ia sama sekali tak menginginkan itu. Ia menangis dalam diam, tak ada suara tangisan ataupun suara isakan yang ia ciptakan, hanya ada suara isakan pilu oleh Kianna.

Ia mengelus rambut panjang yang tergerai nan indah itu. Air matanya juga ikut membasahi rambut wangi tersebut. Ia hanya terdiam, enggan membuka suara hingga sang Hawa menghentikan tangisnya. Terlalu rumit masalah ini untuk gadis manis sepertinya.

"Hey, aku di sini. Semua akan baik-baik saja," Sepertinya, Jeno tak yakin jika ucapannya tadi memang baik-baik saja. Nyatanya, itu hanya sebuah lisan, bukan sebuah bukti. "maafkan aku, maafkan aku, i'm sorry, Kianna." Kini tangisnya semakin menjadi-jadi. Ia segera mempererat dekapan hangat itu, memang angin malam terasa dingin dan menusuk, namun, dengan adanya sebuah dekapan, semuanya terasa hangat.

Ia ingin melepas semuanya, termasuk melepas Kianna dalam hidupnya. Namun, ia di landa rasa bimbang, ia ingin Kianna terus berada di sisinya, tetapi di sisi lain, Kianna akan semakin tersiksa jika berlama-lama berada di sisinya. Semua begitu menakutkan bagi Jeno.

Ia menyayangi Kianna sebagai adik, begitu juga dengan Sean dan Jeffrey, Jeno menyayangi mereka sebagai kakak. Tidak bisakah, kakak-kakaknya itu melihat sisi kebaikan Kianna? Barang sekali saja? Jeno memohon kali ini. Ia ingin hidup layaknya orang normal, memang ia menjalani kehidupannya dengan normal, tetapi tidak untuk saudara-saudaranya.

Tangis Kianna kini mulai reda, ia sudah tidak mendengar isak tangisnya lagi. Ia sedikit melonggarkan dekapannya, ahh ternyata ia sudah terlelap. Tidak terasa memang, sedari tadi Jeno yang sibuk dengan pikirannya, Kianna yang sibuk dengan menangisnya.

Ia pandangi wajah itu, menatapnya dalam. Lalu ia mengerutkan alisnya, ia melihat seperti ada bekas luka di dahinya. Lalu dengan cepat ia mengalihkan pandangannya pada tangan Kianna. Jeno membolakan kedua matanya, ia kembali menatap wajah yang sedang terlelap itu. Kini, air matanya kembali turun, bersamaan dengan hatinya yang semakin di hujam beribu besi.

Ia lagi-lagi kembali mendekap tubuh itu. Nafasnya memburu, tangisnya semakin pecah. Ia yakin, tak hanya di bagian wajah dan tangan yang terdapat luka, namun bagian tubuh lainnya yang tertutupi juga mendapat luka. "Jangan bagini, Na. Kumohon ..." raungnya sambil menggeleng.

Ia akui, dirinya sangat bodoh saat ini. Lebih mementingkan tugas daripada nyawa, nyawa yang sudah banyak tersakiti oleh fisik dan batin. Sesaat setelah itu, ia melepaskan pelukannya, mengusap air matanya, lalu menggendong Kianna menuju ranjangnya. Menidurkannya secara pelan-pelan. Di ciumnya kening itu, sebelum menggumamkan, "Selamat malam!" Lalu, ia menutup pintu kamar itu secara perlahan dan segera pergi menuju kamarnya sendiri.

Esoknya, Kianna terbangun, merasakan matanya yang tertusuk sinar fajar. Ia memandang sekitar, seingatnya, semalam ia berada di balkon, menangis, bertemu Jeno, dan menangis di pelukan Jeno, itu yang terakhir ia ingat. Mungkin, ia berada di sini karena di gendong oleh-nya.

Ia segera beranjak dari kasur, lagi-lagi, nyeri di tubuhnya langsung menyerangnya, ia terhenti sebentar, lalu melanjutkan langkahnya. Saat ia membuka pintu kamarnya, ia menemukan Jeno di ambang pintunya. Jeno tersenyum sumringah.

Dengan muka seperti orang yang baru bangun tidur, dengan mata yang sedikit sembab, Kianna membalas senyuman itu. "Selamat pagi!" sapanya semangat, dan Kianna menjawab singkat, "Juga!"

Lalu mereka berjalan beriringan menuruni tangga, di hiasi dengan perbincangan-perbincangan yang mampu membuat keduanya terkekeh. Di meja makan sudah terdapat Jeffrey di sana. Menatap mereka berdua, ahh tidak, lebih tepatnya menatap Kianna dengan tatapan maut.

Oh astaga, lihat! Jeffrey menggebrak meja makan itu keras, "Kau," Tunjuknya kepada Kianna, "kau sudah lupa ingatan huh? Mana hasil kerjamu sabagai pembantu? Bahkan makanan pun kau belum menyiapkan. Kau tinggal di sini hanya untuk menumpang heh?! Bahkan aku tak sudi melihat wajah sok memelas mu itu." cecarnya dengan nada yang meremehkan, kaki Kianna langsung melemas, ia benar-benar lupa. Ia terlalu lelah akibat menangis semalaman.

Baru saja ia akan mengangkat bicara, namun Jeno sudah mendahuluinya. "Stop it, kak! Tidak bisakah kau melihat sisi baiknya? Sekali saja? Bahkan kau selalu memandang kelemahannya. Ia mempunyai banyak sisi baik." tegasnya yang sedikit murka, namun ia berusaha mengontrol emosinya tersebut.

Jeffrey terdiam. Ia selalu menuruti perkataan adik lelakinya tersebut. Alih-alih Jeno mengontrol deru nafasnya, Kianna menatap manik tajam Jeffrey. Manik kecoklatan yang ia takuti untuk di tatapi. Ia segera memutuskan kontak mata dengannya, lalu segera melesat ke dapur, tentu membuatkan makanan. Ia tidak ingin membuat singa-nya semakin marah, sangat mengerikan baginya.

.

.

.

.

.

To be continue

Selamat pagi! Lagi pada daring ya? Aku juga lagi daring sekarang, cuma nyuri waktu sebentar untuk up chapter ini hehe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Selamat pagi! Lagi pada daring ya? Aku juga lagi daring sekarang, cuma nyuri waktu sebentar untuk up chapter ini hehe..

Semoga harimu menyenangkan!

Satu Juta Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang