2O. Membaik

109 25 2
                                    

Happy reading<3

Satu Juta Luka
© oceancty

Semalaman ini Aldrich sama sekali enggan menutup matanya. Bukan karena ia susah untuk tidur, melainkan ia masih mencerna penjelasan Jeno semalam. Ia menatap Jeno sekilas yang sedang tertidur pulas di sebelahnya. Iapun juga tak menyangka Jeno akan senekat dan sebrutal itu.

Mengingat Kianna adalah gadis lugu nan polos, sangat mustahil baginya jika ia melakukan tindakan di luar nalar. Aldrich lantas berpikir, sepertinya ada sesuatu dibalik kejadian ini semua. Tidak mungkin jika tiba-tiba Kianna dituduh sebagai pembunuh dalam sekejap. Pasti ada yang merencanakan ini semua.

Jeno perlahan mulai terusik dari tidurnya, merasakan sinar fajar menusuk retinanya. Ia menggeliat pelan, kini wajahnya yang bengkak lebih bengkak lagi karena efek bangun tidur. Lantas ia terduduk di pinggiran tempat tidur, menatap Aldrich dengan sorot mata yang kebingungan.

Tak salah jika Jeno menatapnya begitu, bagaimana tidak? Kantung mata Aldrich terlihat sangat jelas. "Sepertinya kau kurang tidur." celetuk Jeno saat mendapati Aldrich sedang membuka tirai kamarnya. "Aku kurang tidur." sahutnya sambil membuka pintu balkon. Bukan kurang tidur, melainkan tidak tidur.

"Jen, sebaiknya kau selesaikan masalahmu dengan kakakmu. Tak baik jika terus menghindar, kan? Nanti masalah semakin menjadi rumit. Cukup dengan Kianna saja yang ditahan, kau jangan ikut-ikutan membuat masalah baru." Jeno tampak berpikir, tak ada salahnya juga saran dari Aldrich. Tetapi ia belum siap untuk menemui kakaknya tersebut, mengingat rasa kecewanya masih membekas di hatinya.

Aldrich menghela nafasnya pelan. Ia tahu apa yang sedang di pikiran Jeno sekarang. Saat masing-masing terlarut dalam pikiran masing-masing, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan panggilan masuk dari ponsel Aldrich. Ternyata Dejun yang menelponnya.

Lantas pemuda itu langsung mengangkat teleponnya, menjawab sapaan itu dengan sedikit lesu. "Ada apa, Jun?" tanya Aldrich yang sedang tak mau basa-basi. "Bagaimana jika besok kita pergi ke Bacalar? Aku sudah menelepon Kianna tadi, namun ia tidak menjawab." Lantas Aldrich segera menatap Jeno yang juga sedang menatapnya, memberi isyarat menggunakan ekspresi wajah seperti 'ada apa?'

Sontak Aldrich langsung menekan tombol loud speaker  serta menaikkan volume panggilan. "Apa katamu? Aku tidak dengar." jawabnya sembari mendekat ke arah Jeno. "Bagaimana jika besok kita pergi ke Bacalar? Aku menelpon Kianna tadi, namun ia tidak menjawab." Ulangnya lagi.

Jeno yang mendengar itu sontak menghela nafas dan menundukkan kepalanya sedih, andai saja Dejun tahu, namun sayangnya, ia masih belum ingin membicarakan hal ini kecuali mendesak, sekalipun Dejun adalah detektif yang pernah membantu kasus Jeffrey yang sebelumnya.

"Itu, bukan bermaksud untuk menolak, hanya saja besok aku ada acara di perusahaan ayah ku, dan aku harus ikut." tolaknya secara lembut. Aldrich hanya tak ingin bersenang-senang di atas penderitaan orang. Aldrich harus ada di sisi Jeno yang di saat-saat rapuh ini.

"Oh ya, dan untuk Kianna, mungkin ia juga tak bisa ikut. Bukankah sebentar lagi waktunya Jeno untuk wisuda? Pasti ia ikut sibuk mempersiapkan keperluan Jeno." lanjutnya yang mewakili Kianna. Lagi-lagi Jeno termenung, ia bahkan lupa jika sebentar lagi ia wisuda.

"Ahh benar juga. Baiklah kalau begitu, kita tunda saja." Untungnya kali ini Dejun percaya perkataan bohong Aldrich. Iapun segera mengucapkan salam perpisahan dan segera mengakhiri panggilan. Aldrich terlihat menyingkirkan ponselnya di sebelahnya, lalu mengelus punggung Jeno yang terlihat lemah tersebut.

~

Sore ini Jeno menyiapkan tekatnya untuk kembali ke rumah. Awalnya ia sempat ragu, namun berkat kata-kata semangat dari Aldrich, hati Jeno mulai agak membaik. Aldrich tak ingin ikut campur dalam permasalahan kakak-beradik itu, juga ia sehabis mengantar Jeno langsung menjenguk Kianna.

"Jen?!" pekik Sean dan Jeffrey saat mendapati Jeno yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah. Jeno tampak lesu dan takut, namun lagi-lagi ia harus berakting. "Maafkan aku, kak. Tak seharusnya aku bersikap tak sopan waktu itu." lirihnya alih-alih melangkah ke arah kakak-kakaknya tersebut.

Jeno hanya tertunduk di depan kakak-kakaknya. Sebenarnya Jeno tak menyesali perbuatannya waktu itu, karena pikirnya perilaku Jeffrey kepadanya sudah di ambang batas, namun, ia harus bersandiwara agar satu masalahnya terangkat.

Kini Jeffrey mulai beranjak dari duduknya. Menghampiri adik kecilnya yang tertunduk lalu segera memeluknya erat, juga menepuk punggung itu pelan. "Maafkan aku juga, Jen. Aku lepas kendali saat itu, dan tak seharusnya aku melampiaskan kemarahanku kepadamu." sesalnya tanpa meninggalkan nada tegas.

Alih-alih Jeno membalas pelukan Jeffrey, Seanpun juga segera beranjak dari duduknya dan ikut bergabung untuk memeluk kedua adiknya tersebut. Apa ini yang dinamakan saudara? Jika memang mereka saudara, lantas mengapa dua di antara mereka sangat menentang keputusan adik bungsunya?

"Biarkan tetap seperti ini." gumam Sean sambil mengelus pucuk kepala Jeffrey dan Jeno. Andai saja jika ayah dan ibunya ikut bergabung, mereka pasti merasakan hangatnya keluarga yang sesungguhnya. Namu sayang, ayahnya itu adalah orang yang workaholic, sedangkan ibunya? Ibunya sudah pergi ke surga saat usia Jeno masih balita.

Tak ada yang mengira bahwa mereka bertiga sebenarnya adalah anak broken home. Namun mereka pandai dalam berekspresi. Kurangnya kasih sayang antara kedua orangtua merekalah yang membuat mereka mengetahui dunia gelap, dalam arti mereka suka bermain senjata api. Terkecuali Jeno.

Seperti mafia memang, namun mereka hanyalah seorang CEO dan seorang model, tak ada yang mengetahui sisi gelap mereka kecuali Kianna, bahkan Jenopun yang notabenenya adalah adik bungsunya, Jeno tak pernah melihat kedua kakaknya bermain dengan benda berbahaya tersebut.

"Tetapi ada satu permintaan dariku yang tidak bisa kalian tolak." pinta Jeno dingin sambil melepaskan pelukan kakak-kakaknya tersebut. "Apa itu?" tanya Sean penasaran dengan diiringi Jeffrey yang juga menatapnya bingung.

"Saat hari wisudaku datang, biarkan Kianna bebas satu hari untuk datang di acara penghargaanku."

~

Sehabis pulang dari menjenguk Kianna tadi, Jeno kini merebahkan tubuhnya di kasur empuk miliknya. Ia menatap langit-langit kamar, ternyata Kianna mampu menutupi semua rasa sakitnya. Lihat, bahkan setiap kali ia menjenguknya, Kianna tampak baik-baik saja, entah dari bentuk fisik maupun psikis.

Ia tahu alasan mengapa Kianna melakukan itu semua, tentu ia tak ingin membuat orang di sekitarnya merasa kasihan kepadanya. Justru hal itulah yang membuat Jeno semakin khawatir akan kondisi Kianna. Bisa saja Kianna terluka lebih dalam dari yang ia kira. Kianna bahkan selalu bilang, "Tak apa, jangan khawatir. Aku baik-baik saja."

Lantas Jeno mana tahu seberapa sakitnya Kianna jika Kianna sendiri terus mengelak? Jeno bahkan sudah memaksanya agar apa saja yang menjadi bebannya bisa dibagikan sedikit kepada dirinya. Jawaban Kianna hanya menggeleng pelan dan tersenyum, lagi-lagi ia berkata dirinya akan baik-baik saja.

Lantas, dirinya harus bagaimana agar Kianna nya bisa mempercayainya? Ahh bukan mempercayai, namun menorehkan bebannya kepada dirinya.

.

.

.

.

.

To be continue

Btw, sebentar lagi ada kejutan :D

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Btw, sebentar lagi ada kejutan :D

Satu Juta Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang