*Aku mengibaratkan ibuku seperti siti hawa. Yang tercipta dari tulang rusuk nabi Adam. Dan ayahku adalah tulang punggung. Tulang rusuk akan selalu memeluk tulang punggung. Sedang tulang punggung harus kuat berdiri, sesuai dengan perannya, mencari nafkah dan sebagai kepala keluarga. Ibu akan selalu menasehati ayah ketika beliau salah. Dan ayah harus kekar berdiri tegak supaya fondasi keluarga tidak goyah. Itu arti sebuah pernikahan. Saling bekerja sama dalam hal apapun*
-Baneo Arnanda-
----------------------------------------------------------------------------------
Kuala Tungkal, jambi 2020
Jam menunjukan pukul 20:00 wib. Hari di luar sedang hujan. Rasanya dingin. Dingin sekali. Aku terbaring di ranjang dengan selimut yang masih belum bisa kulepas dari tubuhku. Aku berusaha memejamkan mata supaya cepat tertidur. Tapi otakku liar berkelana menuju alam khayalan yang selalu melintas menghantui takdir-takdir hidupku. Berkhayal menjadi orang yang sukses dengan segala karyaku, berkhayal menjadi orang yang dapat memberikan motivasi hidup untuk orang lain, dan orang yang siap untuk dijadikan panutan. Begitulah aku ketika sudah memasuki jam tidur, berbagai imajinasi keluar dengan cepat, menembus cakrawala hidup yang kadang tak sesuai dengan usaha manusia. Selagi berkhayal itu gratis, kenapa tanggung tanggung?
Manusia memang begitu, selalu menyembunyikan hasil dibalik kata 'seandainya'. Lupa bahwa kehidupan yang sebenarnya itu bukan berada di alam bawah sadar. Melainkan dunia dengan segala cobaannya. Tapi bukankah kesuksesan dimulai dari mimpi dan khayalan?Aku membalikkan posisi tidurku. Kupejamkan mataku untuk kesekian kalinya. Tapi tetap, aku belum bisa tertidur. Kenapa hanya untuk mengistirahatkan otak perlu usaha sekeras ini?
Aku jadi teringat dengan perkataan temanku, Jemi. Katanya, kalau kita ingin cepat tidur, kita bisa coba berkhayal menghitung domba. Ah. Rasanya aku tidak percaya. Tapi tidak ada salahnya aku coba.
Aku mulai memejamkan mata dan berimajinasi seakan akan aku memang tengah menghitung domba. Tapi yang ada di benakku bukan domba ternak yang nyata. Melainkan domba-domba shaun the sheep, animasi kartun yang selalu berhasil membuatku sakit perut menahan tawa ketika menontonnya. Bahkan kalau boleh jujur, di usiaku yang sudah menginjak 20 tahun ini, aku masih hobi mengoleksi video-video nya.
Domba-domba itu seakan berloncatan dari satu pagar ke pagar lain. Semua tertib sesuai dengan instruksi khayalanku.
Domba pertama melompat, diikuti domba ke-2, ke-3, ke-4, dan seterusnya. Aku mulai masuk terjerumus ke dunia khayal yang lebih parah. Kenapa rekomendasi dari Jemi justru membuatku tambah sulit untuk tidur. Berlama-lama an menghitung domba kurasa bukan cara yang tepat untuk membuat seseorang cepat tidur. Jemi berbohong.Aku membuka mataku dan menatap kosong langit-langit kamar. Akhirnya, dengan berat hati, aku memberanikan diri membuka selimut yang melekat di tubuhku. Kurasa ada sesuatu yang jika dikerjakan lebih baik hasilnya daripada sekedar berkhayal memanjakan sang otak. Ya, apapun itu.
Sseerrr...
Hawa dingin yang sekarang tengah melanda rumahku kini masuk sampai ke tulang-belulang.Sungguh awal yang berat.
Aku mengintip setiap guyuran hujan dari balik kaca jendelaku. Rintikan hujannya begitu cepat, membuat aku kadang berfikir, bagaimana dinginnya hawa di luar sana, bagaimana nasib para pemulung jalanan yang tengah mencari nafkah, dan bagaimana nasib orang yang tidak mempunyai rumah. Sungguh, tuhan begitu baik padaku, sudah memberikan rasa aman dan nyaman, setidaknya dari derasnya hujan yang mengguyur kota Kuala Tungkal ini. Tapi apa aku jahat, bersyukur di atas penderitaan orang lain?
Aku melangkahkan kakiku menuju dapur untuk menyeduh secangkir kopi. Hujan yang lebat memang cocok di kombinasi dengan kopi hitam yang pekat.
Aku kembali memasuki kamarku dan meletakkan secangkir kopi yang sudah kubuat ke atas meja. Di sampingnya ada sebuah paper double polio yang isinya sendiri aku lupa entah apa.
Aku duduk di atas kursi meja itu, ku singkirkan tugas itu ke sisi paling pojok.
Aku menyeruput kopi hitamku. Rasanya benar benar menghangatkan sekaligus menenangkan. Sungguh, tuhan begitu hebat. Hanya dengan perantara kopi, Ia mampu membuatku melupakan beban yang kadang tak beralasan, membuat masalahku terasa lebih ringan, membuatku tenang.
Bersyukur, cara paling sederhana menikmati kehidupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Them
Teen FictionAda kalanya seseorang harus rapuh hanya supaya ia bisa belajar bagaimana caranya bangkit. Neo dengan segala keterpurukannya adalah sebuah kekurangan yang paling besar. Namun semua berubah drastis sejak kehadiran tiga sosok sahabatnya yang pada awaln...