18. penyemangat baru

2 1 0
                                    

Aku membuka mataku perlahan, kulihat matahari mulai memberanikan diri menyelinap masuk ke dalam kamarku, namun masih terhalang tabir putih yang menyelimuti kaca jendela, membuatnya hanya tampak seperti cahaya yang samar-samar. Tak ingin ketinggalan, cicitan burung ikut meramaikan suasana pagi. Alam memang seakan sengaja menyatukan makhluk-makhluk untuk membangunkan para manusia.

Aku masih dalam posisi tidur, kupandangi langit-langit kamar dengan tatapan aneh, bukan karena mataku yang masih sepet, bukan karena aku mengigau, juga bukan karena aku yang tak waras, tapi entah mengapa di setiap pandanganku selalu tergambar jelas lekuk senyum Salsa yang seakan sengaja mengikutiku seperti hantu penunggu. Tanpa sadar aku tersenyum tipis.

Pagi, dulu memang sangat sayang untuk ditinggalkan begitu saja, dan hal yang paling indah yang harus dilakukan di pagi hari adalah tidur.
Tapi itu dulu, asumsi semacam itu kini tidak lagi berlaku ketika Salsa mulai menampakkan diri di SMK.
Hari itu, aku berusaha semaksimal mungkin meriasi diriku dengan berbagai polesan bedak dan rambut yang terus kusisir hingga tertata sangat rapi. Tak lupa aku menyemproti tubuhku dengan parfum supaya tercium wangi. Padahal biasanya kalau ke sekolah hanya memakai minyak rambut kemiri, jangankan memandang masalah penampilan, harum atau tidaknya tubuhku saja aku tidak tahu, kalau kata kakek, tujuan sekolah kan menuntut ilmu pengetahuan, bukan menuntut perhatian. Di depan cermin kupandangi diriku sendiri, kuputar kanan dan kiri tubuhku, kudekatkan wajahku, ah. Bibirku agak terlihat hitam, aku mulai berpikir bagaimana caranya agar terlihat lebih merah. Dan timbul lah ide gila dibalik pikiranku, aku mulai menerobos masuk ke kamar nenek, karena biasanya jam segini beliau menyiapkan sarapan untuk aku dan kakek. Aku mulai mencari lipsticknya di tas yang biasa nenek bawa ke kondangan atau yasinan. Setelah kutemukan benda yang kucari, aku segera mengoleskan ke permukaan bibirku. Yap, perfect.

Aku kembali ke kamarku dengan buru-buru. Lagi-lagi kucermati diriku di depan cermin. Kuratakan olesan lipstick di bibirku, dan entah kenapa aku jadi senyum-senyum sendiri, kalau kalian menobatkanku seperti orang gila, terserah. Toh, aku tidak punya alasan untuk menolak atau membantah tuduhan kalian. Yang penting aku bahagia.

Aku mulai melangkahkan kakiku ke tempat sarapan.
Kulihat kakek tengah menikmati secangkir kopi dengan kacamata yang menyantol di depan matanya sambil membaca koran, hobi dari kakek yang sejak dulu tidak bisa diubah. Sedang nenek, ia tengah sibuk menyiapkan menu sarapan andalan, ubi rebus dan roti dengan kombinasi mentega.

"Pagi kek...pagi nek.." sapaku dengan senyum yang masih mengembang di bibirku.

Kakek menurunkan koran yang ia pegang, ia mengernyirkan jidat dan menatapku aneh. Aku seperti pelaku yang sedang di introgasi olehnya."kenapa?"

"Tumben wangi?"
"Lagi ada yang di incer kali...inget ya, kalau sekolah gak boleh pacaran" ujar nenek yang tengah meletakkan sarapan ke atas meja.
"Emang kenapa sih?" Kakek seperti membelaku.
"Anak muda kalau udah kenal pacaran tuh sering lupa sama mimpi-mimpinya"
"Eh...kalian kenapa sih? Aku gak pacaran kok"

Kakek menatapku dengan senyum kecil. Ia lantas meletakkan kacamatanya di atas meja.
"Kakek juga pernah muda"

Mendengar omongan singkat kakek membuatku hanya bisa tersenyum canggung. Aku lantas mengambil sepotong roti dan mengoleskan mentega di atasnya,

"Neo...gini, ya.. kakek...."

Tritt... suara klakson mobil berhasil membuat omongan kakek terpotong. Itu pasti mobil Jemi. Syukurlah.

Aku segera mengambil rotiku dan menyalami kakek nenek dengan buru-buru.
"Duluan ya. Assalamualaikum"

"Ganteng banget lo hari ini, yo" sambut Ihsan dari dalam mobil diikuti tolehan Jemi dan Juli.

Dear ThemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang