6. Hening dan Asing

18 2 0
                                    

-Manusia memang begitu. Kadang cuma pandai dalam omongan tanpa bisa melaksanakan-

--

--

--

----------------------------------------------------------------------------------

Kalau ada yang bertanya siapa orang paling menyedihkan, jawabannya adalah aku.
Karena baru saja aku menaiki tangga kebahagiaan, ruas di setiap tangga kini patah, membuat aku ikut terjatuh dan sakit.

Hidup yang paling membahagiakan adalah hidup yang dikelilingi oleh keluarga yang saling menyayangi. Tapi sayang, aku tidak bisa masuk dalam kategori itu. Karena ibu, satu-satunya orang yang menjadi bagian dari belahan hidup, kini pergi meninggalkanku, meninggalkan dunia dengan segala permasalahannya.

Se-peninggalan ibu, aku menjadi hidup sendiri. Yang kulakukan setiap hari hanya mengurung diri di kamar, meratapi kesedihan yang rasanya selalu datang tanpa aku undang.
Hanya alasan-alasan tertentu yang dapat membuatku keluar dari sangkar emasku, alasan itu seperti buang air kecil, buang air besar, minum, dan makan. Walaupun aku sering tak nafsu makan, tapi setiap malam aku selalu berusaha menyumpalkan makanan ke lambungku supaya maag ku tidak kambuh.
Iya. Meskipun hanya sedikit, porsinya seperti aku memberi makan kucing. Tidak lebih.

Hari-hari yang kulewati selalu ditemani oleh keheningan dan kesunyian semata. Rasanya tidak ada objek lain yang bisa ku lihat selain dinding kamar beserta perabot-perabotnya. Kadang suara yang bisa kudengar hanya suara cicak, suara yang hanya terdengar lirih seperti percikan air.
Tapi anehnya, keheningan itu seakan menjadi sahabat terdekatku, sahabat yang selalu ada untukku.
Apa aku masih layak dikategorikan sebagai manusia normal karena terlalu menomorsatukan keheningan?
Entahlah. Karena yang kutahu dari pelajaran IPS, manusia adalah makhluk sosial yang setiap saat pasti membutuhkan manusia lain.

Meski Ibu sekarang tidak ada, tapi Kak Fatma dan Bu Gina tetap menjalankan usaha menjahit ibu dengan tekun. Mereka masih setia dengan sikap disiplinnya. Datang tepat waktu, melayani pelanggan dengan baik, atau bahkan mereka sering memasak untukku seperti pembantu. Walaupun masakkan itu seringkali tidak aku habiskan lantaran tidak nafsu.

Sebenarnya aku tidak peduli mereka mau datang ke rumahku lagi atau tidak. Toh. Ada tidaknya mereka aku tetap hidup dan tak akan merubahku untuk menjadi seseorang yang ceria seperti dulu lagi.
Bahkan kadang aku malah tak mau keluar kamar seharian hanya karena malas bertemu mereka.

Melihat aku yang selalu berada di kamar terus-terusan, Kak Fatma dan Bu Gina selalu mengetuk pintu kamarku, menyuruhku makan dan lainnya, atau bahkan menasehati dengan kata-kata motivasi yang hanya kuanggap sebagai angin lalu saja.
Aku yakin itu hanya omong kosong supaya aku luluh.

Manusia memang begitu, terkadang hanya pandai berbicara tanpa bisa melaksanakannya,

Mendengar ketukan pintu yang setiap hari menghantui telingaku, membuat aku menjadi emosi. Pokoknya, apapun yang membuat aku jengkel, pasti selalu kulabrak dan kumaki-maki. Rasanya, saraf pengatur perasaanku sudah gesrek, sekarang hal sekecil apapun yang kuanggap mengesalkan, selalu berhasil memicu kemarahanku. Membuat aku kehilangan jati diri dan bahkan aku merasa seperti monster yang menakutkan.

"Neo..." seseorang menyapaku dari balik pintu sembari mengetuknya. Aku yakin itu pasti Kak Fatma. Aku hafal dengan suara serak khasnya.
"Kakak udah siapin nasi sama telur setengah mateng kesukaan kamu nih"

Dear ThemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang