"Apapun yang terjadi, jangan pernah benci dengan ayah sendiri."
"Ah. Itu semua omong kosong."-----------------------------------------------------------------------------------
Aku membuka mataku dengan cepat, pandanganku yang masih blur tertuju pada langit-langit kamar berwarna biru dengan kombinasi gambar awan yang membuat seolah-olah itu semua adalah langit. Kepalaku rasanya berat dan sempoyongan. Aku mencoba menenangkan otakku sejenak. Tapi pikiranku berkelana, mencari kebenaran atas kejadian yang rasanya sangat menakutkan, kejadian yang mengecewakan, dan kejadian yang sama sekali tak diinginkan oleh semua orang. Apa itu nyata? Atau hanya mimpi belaka?
Aku harap ini semua hanya mimpi. Mimpi buruk yang aku ingin selamanya tidak akan pernah terjadi.
Baik untukku, maupun orang-orang di luar sana.Aku mengerjapkan mataku beberapa kali untuk mendapatkan titik normal.
Aku baru sadar, ternyata hari ini adalah hari senin, hari dimana setiap sekolah pasti mewajibkan muridnya untuk datang lebih awal dalam rangka menghormati pahlawan dan kemerdekaan. Apalagi namanya kalau bukan upacara.
Aku menoleh menatap jam duduk di samping ranjangku, sudah pukul 07:15.
Aku menghembuskan napas berat. " Ah. Aku pasti telat."
Aku berniat bangkit dari sangkar emasku. Tapi belum lagi niat itu terkabulkan, aku merasa badanku sakit semua, kepalaku bertambah pusing berkali kali lipat. Aku segera memeriksa dengan tanganku, ternyata ada bekas luka yang membuat kulit kepalaku mengelupas beberapa senti. Tidak hanya itu, tulang pinggangku rasanya mau patah dan entah kenapa sekujur badanku ikut perih semua.Aku segera mengamati satu demi satu luka yang ada di tubuhku. Mulai dari kepala sampai ujung kaki. Aku benar-benar kaget ketika mendapati seluruh area tubuhku sudah babak belur.
Berarti kecewa yang kuanggap hanya mimpi buruk, itu adalah kejadian nyata. Kejadian yang membuatku hampir gila. Kejadian yang pasti akan mengubah segalanya.
Aku mengingat kembali kejadian semalam, betapa sakit rasanya mendapat siksaan semacam itu. Apalagi itu semua kudapat dari ayahku sendiri. Orng tua yang dahulu begitu sayang padaku.
Bagiku, peristiwa itu tidak hanya membuat luka di fisik saja, tapi juga menyerang psikis dan mentalku.Kreeekk....
Suara pintu terbuka, wanita paruh baya masuk dengan wajah yang pucat. Dia adalah ibuku.
"Kamu udah bangun, sayang" sapanya dengan suara yang masih parau ; suara yang menandakan bahwa ia baru saja menyudahi tangisnya.
"Ibu enggak papa?" Tanyku lirih.
Beliau hanya menggeleng " Enggak"
Kulihat bola mata ibu memerah seperti sudah tak mempunyai air mata lagi.
Aku tahu betul ibu, omongan tentang keadaan yang katanya baik-baik saja itu hanya bualan belaka. Ia paling gemar menyembunyikan sedihnya, baik di mataku atau di mata orang-orang di luar sana. Tapi aku sudah khatam dengan pembohongan ibu. Aku tidak akan pernah terkelabui oleh senyumnya yang ia buat semanis mungkin. Tetap saja, aku bisa memahami keadaan ibu. Ia tidak sedang baik-baik saja. Ekspresi wajah memang bisa berbohong, tapi untuk sorot mata, tidak.
Mungkin satu-satunya alasan yang memaksakan ia untuk membohongiku hanya satu : supaya aku tidak cemas.
Kadang aku heran, terbuat dari apa hati ibuku itu.Ibu mendekatiku, lalu duduk di samping tempat aku berbaring.
Ia mengusap puncak kepalaku dengan lembut. Sungguh, suatu tindakan yang begitu membuatku merasa kembali mempunyai pahlawan. Pahlawan yang kuat seperti memiliki kekuatan magis yang mampu membuat laut yang awalnya diterpa badai menjadi tenang. Seperti hatiku yang semula hancur, kini bisa ia buat kembali nyaman dan tentram."Ibu semalem dipukulin lho sama ayah, masih tetep bilang ga papa?"
Ibu tampak membendung air matanya dengan sekuat tenaga. Beliau seperti tak rela air mata sucinya tumpah di hadapanku.
"Bu..." ulangku.
Ibu masih diam tak menjawab pertanyaanku.
Ia mendesah berat "Mungkin ayah semalem lagi capek, kamu ga usah mikir yang macem-macem soal ayah. Lagi pula ibu ga papa kok. Kamu jangan khawatir"Aku menunduk sebelum akhirnya angkat bicara.
"Ibu kalau memang udah ga sanggup ngejalanin hidup sama ayah, bilang. Ibu bisa ceraikan dia. Aku siap kok buat ga punya ayah. Untuk apa punya anggota keluarga yang lengkap tapi selalu nyakitin. Percuma""Kamu ga boleh ngomong kayak gitu. Kamu itu masih kecil. Belum saatnya kamu mengerti masalah orang dewasa, nak"
"Aku ga peduli umur aku berapa. Aku cuma mau ibu gak terus terusan sedih"
"Nak... apapun yang terjadi, kamu gak boleh benci sama ayah kamu sendiri. Durhaka, lho. Ingetkan cerita malin kundang?"
"Malin kundang kan jadi batu karena dia nya yang salah. Kalau ini kan justru kebalikannya. Lagian sejak kapan malin kundang durhaka sama bapaknya. Siapa yang ngerubah ceritanya" kataku polos."Neo... udah. Ibu gak akan pernah merasa tersakiti kalau kamu jadi anak yang baik. Jadi jangan pernah benci sama ayah kamu sendiri, karena itu yang membuat ibu lebih sakit dari apapun. Karena konsepnya, apapun tindakan anak itu tergantung didikan orang tua. Kamu mau ibu masuk neraka cuma gara-gara rasa benci kamu."
"Tapi bu..."
"Suuutt..." ibu memberikan jari telunjuknya ke bibirku. Mengisyaratkanku untuk tidak membantah.Aku tidak peduli dengan nasehat-nasehat ibu. Itu semua omong kosong. Di dunia ini tidak ada orang yang baik. Semua jahat. Kecuali ibuku. Aku sudah mendapatkan semua itu melalui perantaraan ayah. Dulu, ia orang yang baik, tapi dalam sekejap mata berubah seperti monster yang menakutkan.
Aku mengambil posisi duduk. Duduk di sebelah ibu yang selalu berhasil menyugesti pikiranku, membuat apapun yang menjadi masalah di dunia ini musnah seketika.
Aku membenamkan wajahku dalam dekapannya. Kami berpelukan, saling menguatkan satu sama lain."Oh iya, ini kompresnya" ujar ibu menunjuk baskom merah di atas nakas.
"Tadi kepala sama luka-luka kamu udah ibu kompres. Nanti di lanjutin ya, ibu ambil obat luka dulu buat kamu."
"Bu...Aku ga sekolah dulu, ya. Badanku sakit semua soalnya"
Ibu hanya tersenyum seraya mengangguk "Iya".Ibu segera beranjak dari kamar yang membuatku hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan hilang dari balik pintu.
*****
Sejak kejadian hari itu, ayah semakin berubah. Ia tambah brutal, kekerasan demi kekerasan seakan tak henti-hentinya menghantui keluargaku. Tanpa aku sadari, kekerasan yang ayah lampiaskan ke aku dan ibuku seolah-olah adalah hal yang lumrah. Janggal rasanya jika satu hari saja ayah tidak marah-marah. Bagiku, tiada hari yang tidak menyakitkan. Semua begitu mengecewakan. Bahkan kadang aku merasa Radik Mangsawan itu bukan ayahku. Melainkan musuh besarku.
Rumah yang dulu kuanggap sebagai surga kecil kini harus kuralat menjadi neraka yang menakutkan.
Tapi sejak itu pula, aku merasa ada yang aneh dari diriku. Semua yang melibatkan pertengkaran selalu membuatku merasa berada di puncak emosi. Membuatku lebih emosional dan tempramental. Kadang aku suka marah-marah tidak jelas dengan temanku sendiri, walaupun itu hanya karena masalah yang sepele."Itu udangku!" Aku membentak Aga yang tengah mengaitkan umpan ke kail pancingnya.
Saat itu kami sedang berada di tempat biasa, yakni sungai. Tempat dimana aku dan teman-temanku mengistirahatkan hati dan emosi setelah se-pagian sekolah yang katanya menuntut ilmu. Tapi justru menurutku sekolah hanya membebani ibuku. Karena dengan aku sekolah, ibu pasti bersusah payah mencari uang untuk biaya jajanku. Apalagi sekarang beban ibu bertambah setelah ayah tidak menafkahi keluarga. Alhasil, sekarang ia yang mencari uang untukku dan untuk kebutuhan keluarga. Sungguh aneh. Tulang rusuk kini menjelma menjadi tulang punggung."Gua minta" Aga menyeringai.
"Nggak!" Tolakku sembari merebut udang di tangan Aga. Kulihat Aga kaget dengan sikapku. Gusma dan Sapik juga ikut menatap aku. Iya, akulah yang menjadi titik fokus mereka. Tapi aku tidak peduli."Kamu kenapa sih, Yo?" Tanya Gusma melerai.
"Kamu yang kenapa? Ikut-ikutan"
"Neo. Kamu ngerasa gak sih kalau sekarang sikap kamu itu aneh. Kamu jadi sering marah-marah gak jelas"
"Emang salah, ya. Aku cuma mempertahanin apa yang menjadi milikku."
"Kamu sekarang gak asik"
"Udah deh. Yok semua pulang. Biarin Neo sendirian di sungai. Biar di makan hiu sekalian. Jadi temen kok egoisnya na'uzubillah" Ujar Gusma membuat semua temanku pulang. Meninggalkan aku yang kini dipenuhi emosi. Aneh. Seharusnya aku merasa bersalah. Tapi kok kali ini tidak.Ah. Terserah mereka saja lah.
Gimana?...
Bingung ya sama perubahan sikapnya Neo.
Memang begitu sih, manusia. Emosinya sering gak ke-kontrol.Support terus ya
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan follow, vote, comment, and share.Stay,
Mahrus

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Them
Ficțiune adolescențiAda kalanya seseorang harus rapuh hanya supaya ia bisa belajar bagaimana caranya bangkit. Neo dengan segala keterpurukannya adalah sebuah kekurangan yang paling besar. Namun semua berubah drastis sejak kehadiran tiga sosok sahabatnya yang pada awaln...