3. Pembunuh

19 2 0
                                    

* luka yang paling sakit adalah ketika kita melihat orang yang kita sayangi menangis, tanpa kita tahu apa penyebabnya.*


-----------------------------------------------------------------------------------


Pada dasarnya, setiap manusia akan berubah. Baik fisik maupun perilaku. Awalnya, aku menganggap perubahan sikap ayah terlalu cepat dan pesat. Berbeda 180 derajat dari biasanya. Hal yang paling membuatku rikuh adalah karena aku tidak tahu penyebab perubahan sikapnya itu. Rasanya, aku seperti orang yang paling mudah untuk dibohongi oleh argumen-argumen yang kadang tak masuk logika oleh ibuku sendiri setiap aku bertanya ayah kenapa.

Alasan demi alasan yang ringan membuatku tidak sedikitpun percaya bahwa apa yang diutarakan ibu perihal perubahan berat ayah itu benar adanya. Setiap kali aku bertanya, ibu pasti selalu menampakkan raut wajah yang biasa-biasa saja. Seolah-olah masalah yang dihadapi itu hanya masalah kecil yang tak perlu diperpanjang. Tapi aku tahu, ibu pasti menyembunyikan segala kesedihannya dibalik hatinya yang lembut. Sungguh. Luka yang paling berat adalah menyembunyikan kesedihan tanpa ada yang harus tahu apa penyebabnya dan tanpa ada yang menghibur.
Seandainya saja aku diperbolehkan tahu apa yang ayah sembunyikan dari semua ini, aku pasti akan selalu menjadi pahlawan untuk ibu di setiap waktuku. Meskipun itu harus mengorbankan sekolah dan waktu bermain. Aku tidak peduli. Asal ibu mau untuk aku kuatkan. Bukankah satu keluarga yang paling membuat bahagia itu saling jaga dan saling percaya. Rasanya untuk mempercayaiku saja, ibu sulit. Apa karena usiaku yang belum menginjak remaja. Tapi walaupun aku masih anak-anak, aku dapat memahami perasaan ibu, memahami bagaimana rasanya disakiti oleh orang yang paling dicintai, memahami semuanya.

"Ayah mungkin lagi capek, banyak kerjaan di kantor." Kalimat yang selalu muncul dari bibir ibu setiap aku kesal dan bertanya kenapa ayah jahat.

"Gak mungkin setiap hari capek mulu, bu"

"Nanti kalau kamu udah dewasa, pasti tau, kalau kerja itu capek"
"Ya tergantung pekerjaannya, kalau jadi kuli ya pasti capek. Kalau jadi bos baru gak capek."

"Makanya, kamu rajin-rajin sekolah, supaya bisa jadi bos buat masa depan kamu"
Aku hanya mengangguk. Membenarkan segala ucapan ibu.

Satu yang membuatku kagum pada sosok ibu, ia selalu ada, bahkan untuk hatiku yang terkadang terselimuti oleh kebencian. Padahal dari lubuk hatinya, ia jauh lebih sakit.

**********

Hari itu, aku adalah hari dimana aku harus merelakan ayah sepenuhnya, yang mungkin itu semua atas kesalahanku sendiri. Aku tidak tahu harus bahagia atau justru gembira loka. Tapi satu yang dapat aku rasakan : Aku mendapat kepuasan.

Peristiwa itu dimulai saat aku pulang sekolah sendirian karena teman-temanku pulang dengan jemputan orang tuanya. Beberapa ada yang naik motor, tapi tak sediikit juga yang naik mobil. Aku tidak tahu tujuan bagi mereka yang memilih kendaran mobil untuk menjemput anak-anak mereka, padahal letak sekolahku termasuk sempit di area jalan rayanya. Kadang kalau sedang hujan, seringkali depan sekolahku itu macet berat. Klakson demi klakson motor terus berbunyi. Seperti berkompetisi dengan suara terkuat akan mendapat juara pertama. Semua berebut tempat demi mendapatkan posisi terdepan. Sudah tahu seperti itu kondisinya, orang-orang kaya justru ingin memperlihatkan kepunyaan dengan memamerkan harta bendanya. Satu yang dapat kusimpulkan ; Mereka egois.

"Kamu pulang sama siapa" tanya Aga yang tiba-tiba menepuk pundakku dari belakang.
Aku tak menggrubis. Aku ingat beberapa hari lalu, ia dan yang lainnya memojokkanku, membuat aku seolah terintimidasi atas kesalahanku sendiri.
Biasanya, anak-anak itu lebih mudah dalam memaafkan kesalahan orang lain. Bahkan kadang tak sampai satu hari, perkelahian sehebat apapun pasti akan damai dengan sendirinya. Tapi kali ini kenapa aku tidak. Itu tadi, aku merasa ada yang aneh dari aku yang sekarang.

Dear ThemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang