10. Juli

16 2 0
                                    

Kuala Tungkal, jambi 2020.

Aku terbangun dan membuka mataku. Kuperhatikan sekeliling kamar, tapi yang kudapat hanya TV menyala yang menyiarkan berita seputaran covid-19.

Hadeh...

Lagi-lagi itu.

Benar-benar menjemukan sekaligus mengesalkan. Bagaimana tidak, hanya dengan satu kumpulan virus, manusia harus merelakan sebagian waktunya untuk meminimalisir keluar rumah.
Padahal, hal yang sama-sama kita tahu, setiap kepala keluarga diharuskan mencari sumber ekonomi untuk memenuhi kebutuhan anggotanya. Dimana kerja merupakan kata yang dominan dengan outdoor. Kasihan kan, mereka yang memiliki penghasilan rendah justru tambah merosot pendapatannya hanya karena wilayah mata pencaharian mereka dibatasi.

Tapi semua kembali pada alam dan penciptanya. Yakin saja bahawasanya setiap permasalahan yang DIA berikan pasti membawa karunia dan hikmah yang besar. Tergantung dari kita saja, bagaimana menanggapi itu semua dengan bijak.

Karantina mandiri. Itu yang sedang aku jalani saat ini.

Efeknya adalah aku berhasil dibuat bosan. Hingga yang kulakukan saat ini mungkin sama dengan kalian, menjalani kehidupan yang jauh dari kata normal.
Bangun tidur, main HP, ke toilet, makan, minum, atau pekerjaan lain yang mungkin bosan jika dilakukan di dalam rumah. Sudah. Itu saja.

Aku membuka pintu rumah. Mataku mengarahkan fokusnya ke arah jalan yang kini tampak sepi. Tidak ada lagi ibu-ibu kompleks yang belanja di tukang sayur dengan ribuan gosipnya. Tidak ada lagi bapak-bapak nelayan yang buru-buru jalan dengan jaringnya. Atau tidak ada lagi anak-anak yang gembira loka bermain sepuasnya. Semua berubah.

Ada beberapa anggapan masyarakat yang kadang membuatku dilema. Antara mendukung argumennya atau bahkan membantah alasannya.

Katanya setiap manusia pasti akan mati. Jadi untuk apa takut dengan yang namanya virus.

Dengan alasan itulah mereka kepala keluarga yang kehabisan rupiah harus tetap melanjutkan misinya mencari penghasilan.

Aku membenarkan tindakan mereka karena dengan tidak bekerja, mereka pasti akan kehabisan uang. Otomatis itu semua akan berpengaruh pada kebutuhan mereka. Mengingat konsep ekonomi adalah setiap hari kebutuhan manusia pasti akan terus meningkat. Sedang untuk memenuhi kebutuhan itu, salah satunya bisa dilakukan dengan bekerja.

Di sisi lain, aku membantah apa yang mereka kemukakan. Bukannya kita takut dengan virus, tapi peraturan dari pemerintah untuk tetap berada di rumah saja itu tidaklah salah. Bagiku virus itu seperti sabun. Ia memang ada. Tapi tidak akan berbusa jika tidak kita larutkan dalam air. Begitu pula virus. Keberadaannya memang nyata. Tapi dengan kita menghindari, tentu tidak akan membuat virus itu semakin merajalela dan berkuasa atas segalanya.

Tapi lagi-lagi semua kembali ke tangan kalian.
Masing-masing bebas kok mengutarakan argumen.

Kalau pendapatku salah, itu terserah dengan cara sudut pandang kalian.
Yang terpenting aku sudah menggerakkan mereka untuk berani memulai membuka suara dengan mengutarakan penjelasan-penjelasan yang  logis.

Treeettt...

HP ku bergetar di balik saku celana. Aku buru-buru membuka isi pesan yang masuk.

Tugas lagi. Tugas lagi. Lagi-lagi tugas.

Kuliah online yang mengesalkan.
Sistem macam apa ini, semua serba menggunakan teknologi. Aku tahu teknologi diciptakan itu fungsinya seperti pesawat sederhana, yaitu membantu mempermudah pekerjaan manusia. Tapi untuk masalah semacam ini, kurasa kurang efektif.
Mendapat penjelasan langsung dari dosen saja belum tentu membuat murid paham, apalagi dengan online yang setiap saat pasti timbul notifikasi dari media sosial. Notifikasi yang membuat semua tangan gatal untuk membukanya.
Dan untuk tugas online?
Ah. Nanti saja.

Dear ThemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang