5. Hilang

20 2 1
                                    


Seperti waktu, satu detik memang suatu hal yang receh.

Iya. Hanya menyebutkan angka "satu". Itu sudah satu detik.
Tapi tanpa manusia sadari, waktu sesingkat itu sangatlah berharga. Satu detik dapat menjadi alasan dan penyebab atas jadi apa kita di masa depan.

-----------------------------------------------------------------------------------


Aku terbungkam diam, berdiri pada tumpuan kaki yang seakan tak sanggup menopang tubuhku yang lemah, melihat ayah terkulai tak berdaya, bahkan tak bernyawa.
Aku sedikit panik dengan apa yang terjadi. Tak henti-hentinya aku menggigit bibir bawahku. Aku meneguk ludah berkali-kali. Rasanya kerongkonganku seperti berada di padang pasir yang haus setiap saat.
Ibu terus menangis sembari menggoyang-goyangkan tubuh ayah yang lemah.
Aku seperti menyaksikan sinetron yang tengah beradegan sedih. Bukannya ikut berpartisipasi membangunkan ayah, aku justru merasa apa yang ayah perbuat pada kami selama ini terbayar sudah. Walaupun masih ada rasa takut yang menyelimuti diriku. Takut barangkali aku akan di penjara. Karena setahu-ku, penjara itu bukan tempat yang nyaman. Aku pernah menonton sinetron yang isinya menceritakan pengalamannya selama di penjara.
Ah. Sungguh mengerikan. Dikurung dalam ruangan yang di dalamnya banyak preman-preman yang siap memperbudak tahanan baru.

"Bu...maafin aku..." ucapku bergetar.
Ibu tidak menggrubis. Ia terus menangis sekuat tenaga. Kulihat ada raut kesedihan yang mendalam dalam dirinya.
Biar bagaimanapun, kehilangan bukanlah sesuatu yang dapat dijalani dengan mudah. Tidak ada yang terbiasa untuk itu.

'Apa yang sudah kamu lakukan, Neo. Dia ayahmu.'

'Kamu tidak salah. Dia memang pantas mendapatkan semua itu'

Kalimat-kalimat itu terus menggema di telingaku. Saling bersahut-sahutan seperti sedang ada acara debat yang melibatkan pro dan kontra. Sebagian ada yang mendukung. Tapi sebagian pula ada yang kecewa.

Membuat ibu sedih bukanlah keinginanku. Kukira, dengan lenyapnya ayah dari muka bumi ini dapat merubah dunia ibu supaya lebih ceria. Tapi yang ku saksikan hanya awan mendung yang terus-menerus menjatuhkan airnya ke bumi, membuat bumiku banjir oleh air mata ibu. Membuat aku tenggelam di dalamnya.

"Maaf"


**********

Acara pemakaman ayah berjalan dramatis. Ibu terus menangis melihat jasad ayah yang telah di tutup oleh kain batik seperti kebanyakan jenazah pada umumnya.
Para warga terus berdatangan silih berganti memenuhi rumahku. Membacakan yasin untuk ayah.
Ada pula kaum ibu-ibu yang terus memberikan memberikan motivasi dan semangat kepada ibu. Membuatnya supaya lebih sabar, lebih tenang.
Sedang kaum bapak-bapak, sibuk membuat peti mati untuk penguburan ayah.

Aku duduk di teras, di samping sebuah bendera kuning yang terus berkibar, seperti aku yang seolah-olah telah merdeka dari cengkraman ayah.
Aku tahu, menari di atas kematian orang lain apalagi orang itu adalah ayah kandung sendiri bukanlah hal yang baik. Tapi menurutku ini termasuk dalam kategori pembelaan diri.
Apa aku salah?

Aku duduk sendirian, tidak ada satu orang pun yang mau menegurku dan bahkan tidak ada pula yang mau duduk di sebelahku. Padahal di kanan dan kiri ada tiga kursi kosong. Sebagian orang tua justru memilih berdiri menjauh dariku. Setiap orang yang datang melayat pasti selalu ada yang berbisik-bisik seraya memandangku sinis.
Padahal, di saat seperti ini aku benar- benar membutuhkan orang yang dapat memberikan dorongan hidup supaya aku dapat bertahan. Tapi nyatanya tidak. Mungkin di mata mereka aku terlalu hina untuk mengharapkan semua itu.
Semua tahu bahwa akulah yang menjadi penyebab kematian ayah. Tapi rasanya, aku tidak punya pilihan lain. Seandainya saja mereka jadi aku, pasti juga akan melakukan hal yang sama.
Mereka saja yang tak pernah memahami posisiku.

Dear ThemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang