Aku menguap setelah mendengarkan penjelasan Pak Jitok mengenai Proses akuntansi. Dimana katanya kalau mulai dari jurnal umum kita sudah salah memasukkan angka, maka akan salah juga di proses pelaporan keuangan lainnya sampai ke ujung sekalipun.
Bagaimana tidak mengantuk coba, cara beliau menjelaskan itu seperti orang yang tidak punya pita suara, alias bervolume rendah, membuat aku seperti ternina-bobok-kan oleh suaranya yang lebih sempurna jika di katakan ia sedang mendongeng atau berpuisi.
Jemi yang berada di samping menyenggol bahuku,
Aku menoleh,
"Ngantuk gak lo??" Tanyanya dengan mata sudah memerah.
Aku mengangguk. "Banget."
"Keluar yok. Cari angin"
"Yok. Gue juga udah gak kuat"
Jemi meminta izin pada Pak Jitok untuk keluar kelas dengan alasan sudah kebelet. Sedang aku juga beralasan demikian.
"Sumpah, Yo. Sekali keluar kelas rasanya ngantuk gue ilang langsung." Ungkap Jemi setelah kami berhasil keluar dari pelajaran si guru kramat itu.
"Anjir. Gue juga. Gak tau kenapa ya, bosen banget gue"
"Makan yuk. Laper..."
Aku menoleh menatap Jemi seolah mataku memantulkan jawaban iya."Bagus... kalian ninggalin kita..." tiba-tiba Ihsan dan Juli muncul dari belakang.
Jemi menjawab dengan enteng. "Sengaja..."
Ihsan memonyongkan bibir, kesal.
"Ke warung Bi Junar yuk" ajak Juli ikut menimbrung.
"Ya kami emang mau ke situ." Jawabku.
Kami ber-4 akhirnya sampai ke warung Bi junar, kantin rahasia yang letaknya berada di belakang tembok sekolah. Di tempat itu, ternyata bukan hanya kami yang bolos pelajaran. Banyak anak-anak sekolah bahkan dari sekolah lain datang bergerombol, aku tahu karena seragam sekolahnya beda dengan sekolahku.
Juli menarik engsel tanganku. "Yuk. Duduk. Malah bengong"
Aku hanya menurut.
Jemi memgeluarkan rokok sampoerna dari saku celana abu-abunya. Ia menyulut ujung rokok itu hingga berwarna merah, manandakan bahwa rokok itu sudah menyala.
Ia menghisap rokok itu dengan wajah yang seolah-olah menyatakan bahwa itu nikmat. Alhasil setelah di hembuskan asap kini berterbaran menuju udara.
Kami sudah memesan makanan kami masing-masing.
Seperti biasa, aku memesan nasi dengan lauk telur setengah mateng."Lu gak bosen atau malu gitu, pesen makanan kayak anak kecil. Cuma pakai telur setengah mateng" ujar Ihsan mengomentariku.
Aku yang tadinya ingin melahap makananku, akhirnya mengurungkan niat. Aku menoleh ke arahnya. "Enggak."
"Lagian lebih baik malu kali, dari pada goblok" celetuk Jemi pada Ihsan.
"Kayaknya gue harus ganti temen deh" ratap Ihsan dengan lugunya.
Juli meledek. "Emang ada?"
Ihsan akhirnya memilih fokus melahap makanannya, mungkin baginya lebih baik seperti itu dari pada apa yang ia ucapkan menjadi bahan perdebatan yang hasilnya pasti akan membuatnya kalah telak. Bagaimana mungkin ia bisa menguasai perdebatan, sedang yang musuh di lawannya ada 3.
Suapan pertama berhasil mendarat ke mulutku. Tapi setelah menjelang suapan ke-dua, ada saja yang mengacau, membuat nafsu makanku jadi berkurang, bahkan hilang.
Seseorang datang menghampiri meja makan kami. Dari raut wajahnya sudah tergambar jelas, bahwa tindakan yang akan ia lakukan pasti tidak baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Them
Fiksi RemajaAda kalanya seseorang harus rapuh hanya supaya ia bisa belajar bagaimana caranya bangkit. Neo dengan segala keterpurukannya adalah sebuah kekurangan yang paling besar. Namun semua berubah drastis sejak kehadiran tiga sosok sahabatnya yang pada awaln...