16. Wadah

4 2 0
                                    

Sebuah baskom besar berisikan air hangat menjadi titik pusat keberadaanku bersama ketiga si manusia aneh ; Jemi, Juli, dan Ihsan.

Kami ber-4 sudah sampai di basecamp kami ; Rumah Jemi. Kamar itu masih tetap ruangan yang berisikan perabot mahal dengan jendela kaca transparan, yang bisa digunakan untuk melihat kota Jakarta dari atas. Hari itu, kami adalah murid yang masuk dalam kategori pembolos. Ya memang, setelah pertarungan tadi, kami pulang tanpa permisi. Kami sudah siap menanggung konsekuensi yang nanti akan menimpa. Entah itu membersihkan toilet satu sekolah, menyapu seluruh halaman, atau bahkan berjemur di lapangan sambil hormat bendera.

Bahkan dulu ada kasusnya, Afik, teman sekelasku bolos di pelajaran ekonomi bisnis, ia disuruh mencatat dari bab 1 sampai bab terakhir. Alias satu buku cetak. Alasannya sungguh tidak logis. Katanya supaya apa yang di catat dapat dipahami dan dimengerti, sebagai pengganti waktu yang dibuang karena bolos pelajaran.

Aneh. Emangnya Afik punya 1.000 GB  RAM dan 1.000 penyimpanan internal, apa? Bisa mengingat semua yang dia tulis.
Kalau begitu, justru guru yang cuma punya penyimpanan kentang, karena tidak berpikir bagaimana sulitnya mencatat, melawan hawa napsu dan hawa kantuk yang tak henti-hentinya menyerang. Tentunya itu semua atas perintah sang malas.

Entah sejak kapan Rumah Jemi dinobatkan sebagai basecamp. Sedang alasannya tak lain dan tak bukan karena rumahnya yang luas dan megah, ditambah dengan fasilitas yang lengkap di kamar itu, membuat si penghuni pasti akan betah walau berlama-lamaan. Dan untuk kali ini, semua peralatan tersusun rapi, persis seperti kamar seorang Nyonya yang selalu bersih dan enak dipandang.

Kali ini, Bi Ijah ; pembantu Jemi, benar-benar menunjukkan eksistensinya sebagai pembantu rumah tangga. Karena biasanya kalau sudah kamar itu berserakan, penyebabnya hanya satu : Bi Ijah pasti lupa membersihkan. Kalau kudengar dari cerita Ihsan, sih, katanya Bi Ijah itu punya penyakit pikun, padahal usianya masih belum tergolong tua.

Ihsan membalas ungkapan Juli "emangnya elo, lemah"

Juli menciut, mungkin karena kali ini ia harus menanggung kekalahan atas jawaban Ihsan.

"Coba... aja gue punya bini. Pasti udah bini gue yang ngompres gue."

"Mimpi lo" cerca Juli yang langsung menampol pipi Ihsan, berusaha menyadarkan.

Ihsan mengaduh sakit. "Oh. Iya. Gini aja. Elo kan ganteng mi, entar kalau udah gede, lo cari bini yang cakep-cakep, yang banyak. Bosen sama yang satu, nempel ke yang lain lagi. Entar di sela-sela kesedihan wanita itu, gue dateng kek superhero yang peranya menyelamatkan dunia mereka. Nah. Otomatis, gue bisa nempel sama mereka. Ibarat kata nih, ga papa deh gue dapetnya yang bekasan Elo. Asal masih cantik aja.

"Bi Ijah no, pacarin" Jemi menampol wajah Ihsan. Lagi-lagi anak itu kesakitan.

"Lo gak papa, Yo?" Tanya Jemi padaku.

"Gak" jawabku singkat.

"Beneran?" Kali ini Juli yang bertanya,

Aku menarik napas berat sambil memegang obat merah untuk ku oleskan ke lukaku.

"Gak... tenang aja. Kalian...." aku menjeda ucapanku,
Kutatap wajah mereka satu persatu. "sedang bersama orang yang tega membunuh ayahnya sendiri" ungkapku jujur.

Kulihat mereka sedikit memundurkan wajah beberapa senti.

"Kalau kalian gak mau temenan lagi sama gue karena takut atau apa, gue siap dijauhi. Orang kayak gue memang sebenernya gak pantes buat gabung sama orang sebaik kalian."

"Tapi gue yakin, lo ngelakuin itu karena pasti ada alasannya kan?" Tanya Jemi menatapku serius.

Aku membalas tatapannya, lalu memalingkan mataku ke bawah,
"Dia udah nyakitin ibu" jawabku sendu. Tanpa sadar aku mengeluarkan air mata, pertahanan bendunganku ternyata tak sekuat yang aku bayangkan. Kukira masa laluku hanya akan menjadi masa lalu, ternyata jika di ingatkan, dampak sakitnya masih terasa sampai sekarang.

Dear ThemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang