Jakarta di tengah malam masih memperdengarkan hiruk-pikuk suara kendaraan yang terus simpang siur, melewati jalan raya yang dipenuhi oleh lampu dibawah naungan bulan.
Aku sudah menghubungi kakek, mengabarinya kalau aku menginap di rumah Jemi.
Mobil berhenti tepat di sebuah garasi besar,
"Yok..! Turun" Ajak Jemi.
Ihsan langsung saja menyosor, cepat-cepat membuka pintu mobil. "Biasa aja bisa kali, San" cerca Juli yang tampak geli dengan kelakuan Ihsan yang terlihat seperti anak kecil yang baru pertama kali di ajak ke kebun binatang.Ihsan tak menggubris. Juli ikut turun, sedang aku membuntut di belakangnya.
Baru saja aku turun dari mobil, aku sudah di suguhkan pemandangan yang begitu luar biasa. Karena di dalam garasi itu tidak hanya ada satu mobil. Melainkan 5 mobil dengan masing masing sudah divariasi. Semua mobil tampak begitu mewah, hanya satu yang tidak. Yaitu mobil avanza yang sudah kusam dan lecek, seperti tidak pernah dicuci.
Tidak hanya itu, berbagai varian motor juga tersedia di tempat itu. Mulai dari KLX, Harley, vario, bahkan sampai supra-X yang sudah tak layak pakai."Ini semua punya elo?" Tanyaku ragu.
Jemi tersenyum tipis sembari mengangkat alis.
"Ya iya lah jelas. Emang punya elo?" Jawab Ihsan.
"Pertanyaan yang bener tuh gini 'emang Neo nanya Elo?' " bantah Juli membelaku. Lagi-lagi aku geli melihat perdebatan Ihsan dan Juli. Kemenangan pasti selalu memihak pada Juli. Bukan Ihsan. Peluang Ihsan untuk menang dalam perdebatannya hanya 0,001%.
Hadiah yang dihasilkan dari perdebatan itu hanya satu : kami bisa melihat ekspresi Ihsan yang hanya bisa tersenyum getir dengan menahan kekesalan. Dan itu lucu.Aku mulai melangkahkan kakiku menuju halaman rumahnya yang sangat luas, kalau dibandingkan dengan rumah kakek mungkin 3 kali lipatnya. Dan itu masih halaman rumah.
Aku rasa jakarta memang kepunyaan orang tua Jemi."Yok masuk !" Ajak Jemi yang tanpa ku sadari sudah berada di ambang pintu.
Jemi memgeluarkan kunci dari balik saku celananya, lalu memasukkan ke lubang kunci di pintu itu. Pintu terbuka, dan aku masuk diikuti Juli dan Ihsan. Melihat kemegahan rumah si sultan ini, aku seperti orang katrok yang kampungan, kubu dengan sebuah kemewahan yang belum pernah dilihat.
"Najemi... dari mana aja kamu?" Tanya perempuan paruh baya yang menyambut kedatangan kami.
Jemi menyalami perempuan itu sembari mengecup punggung tangannya. Aku, Ihsan, dan Juli pun ikut melakukan hal yang sama.
"Biasa, ma. Tadi perform nya agak lama mulainya. Jadi ya agak telat pulangnya." Jelas Jemi."Oh.. gitu.. gimana tadi rame gak yang nonton? Maaf ya mama ga bisa ikut, soal nya tadi mama sibuk banget."
Jemi terseyum tipis.
"It's okay mam. Ya udah ya ma. Aku mau mandi dulu. Oh iya, kenalin temen baru, namanya Neo."Aku tersenyum canggung dan sudah bersiap manyalami tangannya.
"Tadi kan udah salamannya" ujar wanita itu dengan tertawa pelan, membuat aku malu sendiri dibuatnya.
"Kayaknya nanti lo harus ke dokter deh, Yo. Mana tau urat malu lo nambah satu lagi." Ujar Ihsan meledekku.
"Gak papa nambah, dari pada elo, udah punya satu, putus pulak" Juli lagi-lagi membuat Ihsan kalah telak. Sedang Ihsan hanya bisa menahan geram."Oh. Iya tante, aku boleh ikut mandi, kan ya?" Izin Juli.
Mama Jemi mengangguk.
Ihsan mengangkat tangan. "Aku juga tante,""Ah. Kalian kayak sama siapa aja. Mandi tinggal mandi juga. Biasanya juga gak izin dulu"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Them
Teen FictionAda kalanya seseorang harus rapuh hanya supaya ia bisa belajar bagaimana caranya bangkit. Neo dengan segala keterpurukannya adalah sebuah kekurangan yang paling besar. Namun semua berubah drastis sejak kehadiran tiga sosok sahabatnya yang pada awaln...