Ada kalanya seseorang harus rapuh hanya supaya ia bisa belajar bagaimana caranya bangkit. Neo dengan segala keterpurukannya adalah sebuah kekurangan yang paling besar. Namun semua berubah drastis sejak kehadiran tiga sosok sahabatnya yang pada awaln...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Visualisasi : Neo
Hari itu, adalah hari dimana aku pertama kali menginjakkan kaki di SMK Negeri. Minggu lalu aku memang sudah mendaftar dengan melampirkan beberapa berkas penting. Tiga hari berturut-turut aku dibuat capek oleh pihak sekolah, karena harus bolak-balik dari rumah ke sekolah untuk memantau hasil tes. Sebetulnya aku tidak terlalu niat untuk itu, tapi lagi-lagi semua karena desakkan dari kakek. Untuk ongkos naik angkot setiap hari bisa dibayangkan gambar pahlawan apa saja yang kakek keluarkan dari dompetnya untukku?
Ah. Aku tidak peduli. Toh, ini semua juga atas keinginannya.
Yang perlu dipikirkan bukan hanya itu, tapi juga bagaimana penat-nya aku yang selalu mondar-mandir tidak jelas ke sekolah. Rasanya tulang belulangku sakit semua. Kalau saja itu bukan buatan tuhan, mungkin sudah patah dan remuk.
Entah tak tahu kenapa sekarang hobiku hanya bermalas-malasan. Setiap aku keluar dari rumah, imajinasiku hanya berkelana ke kamar. Membayangkan bagaimana nikmatnya tidur di atas kasur yang empuk, mendengarkan bisikan cicak, atau bahkan suara burung yang ber-cicitan tidak jelas di balik jendela bilik.
Sewaktu mendaftar, aku memilih dua jurusan. Kata kakek kalau di satu jurusan saja, bisa tidak lulus. Jadi kalau mendaftar dua jurusan, jurusan yang satu lagi bisa dijadikan cadangan. Ya minimal menambah kuantitas peluang. Lagi-lagi aku mengawali permintaan kakek dengan menolak.
Tapi katanya begini " kalau cuma satu jurusan, nanti kalau kamu gak lulus gimana?" "Jadi kakek nganggep aku bodoh?" Tuduhku sinis.
"Ya gak gitu, maksud kakek kan baik. Supaya peluang kamu masuk itu lebih banyak." "Kek. Yang namanya peluang selamanya bakal tetap jadi peluang. Gak bakal bisa ngerubah jadi suatu kepastian."
"Kalau gitu mending ga usah sekolah aja. Daripada sekolah tapi gak ada niat" nenek ku datang dengan cibir-an pedasnya.
"Kalau memang kalian keberatan buat nyekolahin aku mending aku gak sekolah aja. Ga papa kok" kataku dengan nada keras. Aku memang begitu. Selalu menanggapi sesuatu dengan emosi. Tapi kalau saja nenek tidak memulai, tentu aku tak merespon separah ini.
"Anak dikasih jalan mudah kok malah memepersulit diri. Mau jadi apa kamu gak sekolah? Gelandangan? Atau pembunuh?" Nenek lagi-lagi memancing emosiku. Aku tahu ia masih belum terima atas kematian orang tuaku. Terutama ayah. Ia selalu menyimpulkan bahwa kematian ayah sepenuhnya adalah salahku. Tapi coba saja ia menyaksikan bagaimana aku diperlakukan oleh ayah. Tentu ia mendukungku. Mendukung segala tindakanku.
Aku paling benci dengan orang yang terlalu melibatkan masa lalu atas perlakuannya terhadapku.
Mengungkit itu tidak baik.
Aku merasakan kepalaku sudah memanas. Berkali-kali aku menahan emosiku, tapi rasanya seluruh emosi itu ingin aku tumpahkan saat itu juga. Melampiaskan pada seseorang yang bersangkutan. Melampiaskan pada nenek.