ˢᵉᵇᵉˡᵃˢ, ʰᵒᵖᵉˡᵉˢˢ ᵖᵗ.⁴

125 20 0
                                    


Jaemin's.

.
.
.

Suara annoying dari nada dering Hp benar-benar membuat tidurku terganggu.

Siapa si bangsat yang nelpon jam 5 pagi? Aku hanya membatin kesal setelah melirik ke arah jam dinding.

Aku menggeser ikon telepon ke warna merah. Sepertiku, sang penelpon juga tak mau kalah. Sampai akhirnya aku menggeser ikon telepon itu ke warna hijau, "HALO?"

"Aduh santai Jaem,"balas si penelpon cepat.

"Apaan?"tanyaku.

"Emm gue mau minta tolong nih Jaem,"ucap si penelpon, itu Hyunjin.

Aku menghela nafas, "apaan Jin, cepetan dah gue masih ngantuk."

"Jadi gini, nanti kan ada DBL tuh,"ucap Hyunjin.

"DBL? Ohh, lomba basket sama dance itu?"

"Iyaa,"balas Hyunjin.

"Gue kan jadi salah satu pemimpin supporternya, tapi gue gabisa karena ternyata gue ada urusan di luar kota. Bisa lo gantiin nggak Jaem?"tanya Hyunjin.

"Hah apa? Gue gatau apa-apa sama kegiatan supporter itu,"balasku cepat.

"Iya gue tahu, nanti di sana ada si Felix kok. Dia bakal bantu lo buat mimpin anak-anak,"ucap Hyunjin.

"Terus kenapa nggak Felix aja sih Jin?"

"Kasihan Felix tahu Jaem. Masa dia sendirian disuruh mimpin anak ratusan gitu. Plis lah Jaem, bantuin ya?"

"Berapa lama? DBL-nya?"

"Dua hari, cuma sampe besok doang kok."

Aku terdiam sebentar untuk berpikir, lalu akhirnya menjawab, "yaudah."

"Sip Jaem, thanks ya. Oh iya bajunya bebas asal Jersey,"balas Hyunjin cepat.

"Itu mah ga bebas anying namanya,"komentarku.

"Hahaha ya maap emang gitu disuruhnya. Nah, jadi nanti pulang sekolah, lo tinggal nemuin Felix aja,"ucap Hyunjin.

"Oke oke oke.. udah ya, gue mau cari jersey sialannya nih."

"Hehe yoi Jaem, thanks sekali lagi."

Panggilan itu ditutup, meninggalkanku dalam keheningan lagi. Aku yang masih malas hanya menatap langit-langit dan berkali-kali menghela nafas.

"Sial..,"gumamku pelan. Aku kemudian bangun, lalu sedikit peregangan untuk memulai hari. 

Gue mana punya sih yang namanya jersey, yah jadinya harus ke rumah si anjing itu buat pinjem.

"Sialan ah ngerepotin aja itu si gondrong,"gumamku pelan, sambil mengejek si Hyunjin.

Aku mulai bersiap-siap untuk pergi ke rumah Jiho terlebih dahulu sebelum ke sekolah. 

.

.

Rumah Jiho dengan rumahku berjarak cukup jauh, kelas kompleksnya juga beda. Jadinya, aku harus pakai taksi agar bisa sampai dengan cepat di sana.

Enaknya, si Jiho yang selalu kasih uang ongkos biar aku gak keluar banyak kalau mau ke rumahnya.

Jam menunjukkan pukul setengah 7 saat aku sampai di depan rumah besar bagaikan istana itu. Aku menekan bel, dan gerbang bewarna coklat itu kemudian mulai bergerak.

"Eh Nak Jaemin,"sapa seorang ibu-ibu yang menjadi pemimpin para pembantu rumah tangga di rumah itu.

"Halo Bi Luna, Jiho ada di rumah?"tanyaku.

Manuver. [Nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang