Dua : Pertemuan tidak sengaja

2K 388 18
                                    

Disclaimer.
Cerita ini fiksi semata yang terinspirasi dari Prajurit tangguh di Negeri ini untuk hiburan.
Jika ada beberapa bagian yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya itu adalah bentuk dramatisasi penulis.
Harap di maklumi dan tidak di permasalahkan tulisan yang bersifat hiburan ini.
Happy reading reader.
Enjoy

"Kok rapi amat, sih? Mau ke mana lo?" suara Lettu Julian yang baru saja masuk ke dalam ruangan membuatku terkejut, di antara banyaknya orang yang ada di sekelilingku, entah kenapa manusia dari Manado ini yang paling sering membuatku terkejut.

Lihatlah sekarang ini, setelah nyaris membuatku jantungan, dia juga melihatku dengan pandangan aneh, menatapku dengan seksama mulai dari ujung kakiku yang memakai sepatu kets, hingga rambut panjangku yang kali ini kugerai, tak lupa juga sedikit riasan agar kantung mataku yang menghitam sedikit tersamarkan.

Entah pandangannya ini kagum atau malah menghina, karena keseharianku selain menggunakan seragam hijau dinas adalah hitam putih layaknya Heryawan's Angel yang bertugas langsung di lapangan.

Menghentikan sikap anehnya, aku langsung memberikan seniorku ini hormat dalam sikap siap, satu salam wajib para anggota militer pada mereka yang memiliki pangkat lebih tinggi.

"Siap, hari ini saya libur Letnan Julian."

Julian berdeham mendengar nada suaraku yang agak sewot melihat dia yang menatapku aneh, sayangnya setelah menerima salam hormat yang kuberikan tetap saja dia melayangkan kalimat yang membuatku keki sendiri.

"Ternyata kamu beneran cewek ya, Ra. Bisa pakai lipstick di tempat yang tepat."

Kalian tahu bagaimana kesalnya diriku sekarang ini mendengarnya, tanpa memedulikan jika dia adalah seniorku, kusambit Julian dengan kamera yang sengaja kuambil, membuatnya mengaduh meringis kesakitan.

"Upppsss, Sorry Kasuh! Sengaja emang."

Tawaku meledak usai membalas kalimat menjengkelkan Julian, mengabaikan beberapa orang yang ada di ruangan ini, aku memilih melangkah keluar.

Ya seperti ini lah kehidupan para Paspampres yang sebenarnya, Paspampres bukan hanya mereka yang bertugas di lapangan langsung dalam mengawal para keluarga Presiden sebagai tameng hidup para pemimpin, tapi mereka yang ada di balik layar seperti kami, tidak melulu tentang bersikap kaku dan juga tunduk pada senioritas jabatan, tapi juga kami saling berbagi tawa menghilangkan kejenuhan akan tugas kami yang selalu di tuntut untuk fokus.

Satu sisi tersembunyi yang kadang luput dan tidak terlihat, tertutup oleh image garang kami di lapangan.

Dan setelah banyak waktu kuhabiskan waktuku di ruang pengamanan dan juga ruang latihan, akhirnya cuti yang sangat kunantikan kudapatkan.

Seharian ini, di bekali dengan kamera yang menjadi hadiah keberhasilanku masuk ke Batalyon Paspampres dari Aira, adikku satu-satunya, aku menghabiskan waktuku mengelilingi Jakarta. Berkeliling Kota super padat yang menjadi tujuan kaum urban mengubah nasib, Kota yang bisa mewujudkan harapan, tapi juga bisa menjadi Kota keras yang mengerikan.

Tapi terlepas dari semua tentang baik dan buruknya Kota ini, setiap sudutnya selalu menarik untuk ku jelajahi, berkeliling tanpa beban tugas adalah hal yang jarang kudapatkan.

Aku mencintai tugasku, kehormatan yang aku idamkan sedari aku kecil dulu, mimpi yang terpupuk begitu besar setiap kali melihat Papa pulang bertugas dengan seragam dinas kebesarannya, dan sedikit orang yang mencibir mimpi karena genderku, kini melihat, sekali pun aku perempuan, seorang Ilyasa tetaplah seorang berdarah penjaga Negeri ini.

"Gue suka hari ini, tapi gue lebih cinta sama tugas."

Melihat hasil jepretanku tak pelak membuatku menggumamkan hal yang tak pernah kupikirkan, seorang Paspampres wanita memang akan selesai tugasnya di barisan setelah menikah, hal yang sangat di sayangkan sebenarnya, tapi untuk sekarang, hal itu tidak ku khawatirkan, jangankan untuk menikah, mengenal laki-laki saja hanya hitungan hari, seperti hari ini, aku begitu menikmati bidikan kameraku, tapi lebih dari itu, aku jauh lebih mencintai tugas dan kehormatanku.

Beberapa orang terdekatku bilang, Takdir akan membawa jodoh kita sendiri mendekat, untuk itu aku tidak perlu memusingkannya.

Sayangnya sepertinya Takdir memang tidak membiarkanku bahagia dengan kesendirian dan kencan tugasku lebih lama, karena baru saja aku memikirkan hal itu, sebuah dorongan yang keras menerjang bahuku, tidak cukup hanya membuatku tersungkur, manusia tidak tahu diri yang lari tunggang-langgang itu juga menginjak kameraku yang terjatuh menjadi remuk seketika.

Semuanya terjadi begitu cepat, serasa sepersekian detik aku melihat hadiah pemberian adikku hancur karena kaki manusia tidak tahu tersebut.

Tanpa berpikir panjang aku segera bangkit, mengejar sosok berjaket hitam yang kini berlari menyeruak kerumunan padatnya manusia di Kota Tua.

Aku sudah lupa kapan aku berlari sekencang sekarang ini, tapi percayalah, seorang yang aku kejar benar-benar pelari yang handal, menyeruak dengan gesit di antara lalu lalang para wisatawan yang menghabiskan sore hari.

Jika bukan karena itu hadiah Aira, aku tidak akan sudi menghabiskan waktu berhargaku dengan mengejar manusia tidak tahu diri ini, membuat tubuhku yang wangi harus bersimbah keringat.

"Jangan ikutin gue, bego!"

Sepersekian detik dia menoleh ke arahku yang mengejarnya, tampak sirat kekhawatiran terlihat di mata hitamnya karena aku yang nyaris mencapainya, umpatan yang dia berikan sama sekali tidak menghentikanku, justru memompa energiku semakin besar untuk bisa membungkam mulutnya yang besar dan lancang mencemoohku.

Dan hap!! Kutarik jaket hitam itu kuat, membuatnya kehilangan keseimbangan dalam larinya, sayangnya itu adalah kesalahan yang tidak kuperkirakan, karena detik berikutnya bibir laki-laki itu tersenyum menyebalkan sebelum tangannya juga menarikku, membawaku jatuh bersamanya untuk merasakan kesakitan yang akan dia rasakan.

Bruuuukkkkk.

Debuman keras terdengar di telingaku, aku sudah mempersiapkan diri atas rasa sakit karena terjatuh di beton yang keras tapi yang kudapatkan justru sebuah dada liat dan tidak menyakitkan, bahkan dengan lancangnya aku bisa mendengar degup jantungnya yang begitu keras, berpacu cepat dengan nafasnya yang terengah.

"Apa dadaku terlalu nyaman menjadi tempat bersandar?"

"Haaahhh?" untuk sejenak aku benar-benar di buat bodoh karena insiden jatuh tidak terduga ini. Takut-takut aku membuka mata, menatap mata hitam dan si pemilik senyum menyebalkan yang kini tengah menyeringai terhadapku.

Astaga, aku seperti mengenalnya.

"Dan jika kamu lupa, kita masih ada di kawasan kota Tua, Nona."

Aku mengerjap, dengan cepat aku bangkit, masih bingung dengan semua yang terjadi hingga gerutuan terdengar darinya di sela-sela gerakannya membersihkan celana dan bajunya, menyadarkanku apa tujuanku mengejar laki-laki gila ini.

Tapi belum sempat aku menyemprot kesalahannya karena sudah menginjak kameraku, laki-laki ini dengan percaya dirinya menyela kalimatku.

"Maaf ya, Nona cantik. Tapi aku harus pergi sekarang."

Dengan cepat dia kembali memakai topinya, menyelipkan sebuah kartu nama di kantung kemejaku, nyaris saja dia kembali berlari saat suara keras yang familiar di telingaku meneriakan perintah padaku.

"AURA, JANGAN BIARIN DIA LARI."

Otakku belum mengingat siapa laki-laki gila ini, tapi perintah Hasan, teman dari sahabatku ini membuatku dengan cepat kembali menariknya, menghentikannya dari pelariannya lagi, mata hitam itu kembali terkejut, tidak menyangka jika aku akan menuruti perintah dari orang yang memgejarnya, tidak sampai sepersekian second mata kami saling bertemu, sebelum aku menyerang titik vitalnya, menghentikannya yang mungkin saja melawanku dan mengunci setiap gerak tubuhnya.

Melihatnya meringis kesakitan karena kuncian tangannya sedikit menghibur hatiku yang kesal karena kameraku yang rusak karena ulahnya, sayangnya hiburan itu hanya bertahan beberapa detik karena apa yang di ucapkan Hasan membuat duniaku menjadi suram seketika.

"Mas Arga, Mas Arga nggak apa-apa?"

Beautiful KOWAD Ready On EbookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang