13

1.6K 352 23
                                    

"Buat lo, San."

Kuulurkan satu cup Kopi pada Hasan yang tampak begitu serius memperhatikan Arga yang tengah bertemu dengan kliennya, yang di sambutnya dengan keheranan.

"Kapan kamu pergi, Ra?"

Aku terkekeh geli mendengar suara heran Hasan, rupanya dia tidak sadar jika aku telah meninggalkannya beberapa saat saking fokusnya dia dalam menjalankan tugasnya.

Sisi tanggung jawab Hasan dalam bertugas memang tidak pernah di ragukan lagi, hingga mengulik satu pertanyaan lagi yang sebenarnya sudah menggangguku beberapa waktu ini.

"San, kenapa kamu milih masuk barisan?" Jika tadi Hasan hanya melihatku sekilas, maka kini dia memperhatikanku sepenuhnya, tanda dia mendengarkan dengan betul apa yang akan aku katakan.

Aku menarik nafas panjang, berusaha mencari kata yang tepat agar tidak menyinggungnya, tapi bagaimana lagi, sikap Hasan yang terlalu sabar pada Arga, membuatku bertanya-tanya, loyalitas Hasan terlalu besar jika hanya karena tugas, dan aku ingin tahu apa alasannya yang begitu kuat.

Pertanyaan yang semakin menjadi terlebih saat kejadian mati lampu tempo hari, aku yang nyaris mati karena ketakutan karena rasa takut akan gelap tidak sebanding dengan kekhawatiran Hasan.

Melihat aku dan Arga waktu itu bisa turun dari tangga darurat sepertinya memberikan kehidupan kedua untuknya.

Menjadi Paspampres memang satu kebanggaan, tapi seorang Perwira sangat jarang masuk dalam barisan langsung seperti ini kecuali kasus istimewa sepertiku, yang di minta secara khusus oleh orang nomor satu di Negeri ini.

"Kita, lebih tepatnya kamu, susah payah masuk Akmil, 4 tahun kita di sana, dan seharusnya kamu bisa berkarir seperti Aria, kamu dan dia bintang terbaik di angkatan kalian, lalu kenapa kamu malah milih masuk barisan? Kamu seorang Letnan."

Untuk sejenak Hasan memandangku lekat, seolah menyelami bola mataku dan melihat apa maksudku sebenarnya meragukan loyalitasnya ini.

"Kamu ada alasan gitu buat lakuin semua hal ini?" desakku tidak sabar.

Hasan adalah seorang yang menurutku sulit untuk di tebak, terkadang dia bisa menjadi seorang yang hangat, tapi terkadang keramahannya pada semua orang justru menyimpan banyak rahasia lainnya.

Seperti kali ini, satu pertanyaan yang membuatku penasaran justru membuahkan jawaban yang tidak aku sangka.

"Mas Arga, dia lebih dari pada seorang yang harus aku jaga, Aura. Di matamu bahkan di mata orang lain dia memang buruk, tapi bagiku, dia seorang yang begitu baik, bukan hanya dia, tapi juga seluruh keluarga Heryawan."

Aku tercenung, masih tidak paham apa yang di katakan oleh Hasan. Hingga akhirnya seorang yang sering membuatku terpana karena tatapan matanya ini menarik nafas panjang, memulai cerita yang membuatku berubah pemikiran tentang Argasatya.

"Entah ini kebetulan apa bukan, tapi melalui ini aku ingin sedikit membalas budi terhadap keluarga Heryawan, Ra. Di mulai dari Kakek Mas Arga, beliau ngangkat Ayahku yang hanya yatim piatu korban dari sparatis jadi anak asuh beliau," astaga, aku tidak menyangka jika hubungan Hasan dengan keluarga Arga sedekat ini. Aku benar-benar tidak menyangka jika hubungan balas budi yang melandasi loyalitas mereka, melihat keterkejutanku membuat Hasan terkekeh, terlihat geli melihat ekspresi wajahku yang sering kali tidak bisa ku kontrol jika menemui sesuatu yang mencengangkan.

"Seperti yang kamu pikir, Ayahku dan Pak Heryawan itu begitu dekat, melalui Ayahku, Kakeknya Mas Arga sedikit terhibur karena anak asuhnya ada yang mengikuti jejak beliau sebagai seorang Prajurit, sementara Ayahnya Mas Arga lebih menonjol di dunia bisnis, dan setelah menikah malah beliau masuk ke dunia Politik. Kami yang bukan siapa-siapa menjadi berharga berkat keluarga Heryawan, Aura."

Beautiful KOWAD Ready On EbookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang