15

1.5K 352 24
                                    

"Berhenti dulu!"

Tanpa banyak bertanya aku menghentikan mobil ini sesuai permintaannya, dan dengan menyebalkannya dia menunduk, mendekat pada airpodku tanpa permisi dan berteriak keras pada mereka yang ada di seberang sana, membuatku benar-benar nyaris saja menghantam kepalanya karena terkejut.

"NGGAK USAH TURUN DAN BIKIN HEBOH, SAN. DIEM LO DI MOBIL SAMA FAHRI."

"Baik, Mas Arga."

Bromance macam apa dua orang ini, bisa-bisanya Hasan dengan entengnya membuatku harus berdua dengannya, dengan jengkel kudorong kepalanya itu kuat, membuat Arga kembali tertawa, semenjak bertugas menjaganya, kuperhatikan hari ini dia banyak sekali tertawa, entah apa yang membuatnya tampak begitu bahagia, benarkah mengerjai dan membuatku kesal setengah mati adalah hiburan yang menyenangkan untuknya?

Sungguh dia mempunyai selera yang buruk dalam humor. Selera humornya membuat perut anak gadis orang menjadi melilit.

"Kalo ngomong ya ngomong saja Mas, nggak usah deket-deket juga, kita nggak pernah tahu bagaimana orang usil di luar sana, bisa saja mereka mengambil foto dan membuat skandal yang merugikan."

Mata coklat tajam itu mengerjap tanpa dosa, jika sudah menunjukkan wajah polos bak anak usia TK seperti ini bukannya membuatku gemas dan tidak ingin memarahinya, justru membuatku geli sendiri.

Dia mengataiku tidak pantas untuk beberapa raut wajah, sedangkan dia tidak sadar diri jika dia jauh lebih menggelikan saat melakukan hal yang serupa.

"Semua wanita ingin terlibat skandal denganku," tidak denganku tolol, "sudah tidak terhitung berapa artis dan model yang menumpang namaku demi meroket, hebat bukan pengaruhku, hanya memberi tumpangan, dan gelar bergonta-ganti pasangan tersemat padaku. Lalu kenapa lo keknya geli banget deket sama gue."

Tawa miris nan masam keluar dari wajahnya yang menyebalkan, membuat sisi lain dari dirinya terlihat kembali. Tampak jika Arga memendam kesal atas sikap baiknya yang selalu di salah artikan.

Kembali lagi rasa simpati atas yang terjadi pada dirinya kurasakan, terkadang aku begitu jengkel padanya yang seenaknya, tapi di sisi lainnya, aku juga merasa kasihan pada hidupnya yang begitu terkekang.

Orang tuanya yang mempunyai pengaruh kuat, hingga dia tidak mempunyai privasi, segala hal menyangkut kehidupan pribadi menjadi konsumsi publik, dan semua orang hanya melihat dirinya hanya dari satu sisi yang menjatuhkannya.

"Maka dari itu, Mas Arga. Belajarlah memilah dan memilih teman, kita tidak pernah tahu mana yang musuh mana yang benar-benar teman. Kadang orang yang paling dekat justru musuh yang paling berbahaya. Dan asal kamu tahu, terlibat skandal denganmu adalah hal terakhir yang ingin aku lakukan, jika bisa tetaplah profesional."

Arga mengangguk, untuk sesaat matanya terpejam, seolah ingin melupakan sesuatu yang mendadak melintas di ingatannya, sesuatu yang sepertinya begitu buruk untuknya.

Dan saat kembali membuka mata, senyuman menyebalkan penuh teka-teki khas seorang Argasatya sudah kembali bertengger, seolah keluhannya beberapa saat lalu tidak pernah terjadi, tenyata selain menyebalkan, Argasatya juga merupakan seorang Aktor yang ulung dalam menyembunyikan apa yang di rasakannya.

Dan melihat hal itu justru mencubit sudut hatiku, sungguh nasib yang malang bagi seorang Pangeran sepertinya. Hidup penuh kesempurnaan tapi begitu terkekang.
Aaaarrrgggghhhhhh, kenapa hanya karena melihat raut wajahnya saja membuatku galau sih.

"Baiklah, terima kasih Letnan Aura untuk sarannya!" mau tak mau aku tersenyum melihat senyuman tulus Arga yang kembali terlihat, bersyukur dia bisa terlihat baik-baik saja, dan saat detik berikutnya dia menyerahkan sebuah kotak yang di ambilnya dari jok belakang, senyum sumringah semakin lebar menyambut wajahku yang keheranan. "Dan seperti yang aku bilang tadi, ini hadiah buatmu, membuatmu jengkel jauh lebih menyenangkan dari pada melihat Hasan di marahi."

"Nggak lagi ngPrank, kan? Jangan-jangan isinya bangkai hewan." tanyaku curiga, kuguncang kotak itu perlahan, tapi tidak ada bunyi apa pun yang mencurigakan, ayolah, walaupun dia sering baik juga padaku, tapi tetap saja aku tidak bisa serta merta melupakan keusilan dan juga sikap biang keroknya yang sering membuatku darah tinggi, aku memicing menatapnya, memberinya peringatan jika sampai ini bagian dari keusilannya, aku tidak akan segan mengirimnya ke Neraka dengan jalur prestasi.

Telapak tangan besar itu terulur, dan yang membuatku terkejut, dengan sekuat tenaga Arga menyentil dahiku, dengan begitu menyakitkan, "kenapa sih, lo nggak bisa gitu lihat gue dari sisi baik, di kasih hadiah malah jawabannya negatif thinking terus."

Halaaah, merajuk lagi. Kenapa mood laki-laki seperempat abad ini lebih parah dari pada anak TK sih, dengan jantung yang berdetak kencang, serta tangan yang gemetar karena was-was aku menarik tali pita hitam yang melingkari kotak tersebut.

Dan saat kotak tersebut terbuka, aku di buat tidak bisa berkata-kata saat melihat sesuatu yang di tempatkan dengan begitu manis di dalamnya.

Astaga, Argasatya. Kupikir dia melupakan hutangnya padaku, nyaris saja aku tidak percaya saat menyentuhnya, "ini Leica Q2, kan?" tidak bisa kubayangkan bagaimana Aira melihat kamera yang aku miliki ini, seorang yang menekuni fotografer sepertinya pasti akan histeris saat di sodorkan kamera seindah ini.

"Yaps, benar sekali. Kamu harus lihat ini." sama sepertiku yang tidak bisa menyembunyikan senyuman, Arga pun sama, dengan tidak sabar dia mendekat, menekan salah satu tombol yang memperlihatkan foto-foto yang sebelumnya ada di kamera lamaku, "aku sudah pindahkan semua fotomu ke memori yang baru ini."

"Lancang sekali kamu ini, buka-buka foto punya orang."

Arga mendengus sebal mendengar protesku barusan, dia tidak tahu saja jika tidak ada seorang pun yang aku izinkan untuk melihat hasil jepretanku, dan ternyata justru manusia yang aku nobatkan sebagai manusia paling menyebalkan justru dengan leluasa melihatnya.

"Kenapa sih, dari sekian banyak apa yang ada di diri lo yang bikin gue jengkel, cuma hasil foto lo yang bisa gue puji. Siniin, gue mau komentarin foto lo."

Dari jarak sedekat ini kembali aku melihat Arga dengan begitu jelas, tampak dia yang begitu antusias memperhatikan beberapa jepretanku, mengomentari sudut gambarku layaknya seorang komentator seni, bahkan pujian juga tersemat di antara beberapa kalimatnya yang sering kali mencemoohku.

Tanpa sadar aku tersenyum sendiri menyadari jika memang aku sudah mulai terbiasa dengan sikap menyebalkan Arga ini, berbicara sesuka hatinya menyuarakan apa yang ada di dalam kepalanya tanpa berpikir panjang.

Menyakitkan tapi tidak munafik. Tapi terkadang sebagai manusia, kita yang tidak terima saat seorang menyuarakan kekurangan kita, merasa tersinggung dan marah-marah sendiri saat kita mendengarnya.

Di tengah keterpakuanku melihatnya yang memandang layar kamera dengan begitu serius, tidak kusangka wajah tampan yang di gilai banyak wanita itu akan menatapku, membalas tatapanku dengan sama lekatnya, manik mata coklat gelap yang sering kali terlihat angkuh itu kini menarikku, tidak membiarkanku untuk lari dari pandangannya, memaksaku untuk tenggelam dalam hal yang tidak pernah kurasakan.

Kalian pernah dengar jika cinta datang dari mata turun ke hati?
Kalian pernah dengar satu rasa berasal dari sebuah tatapan?
Percayalah, itu yang aku rasakan sekarang, tanpa aku pernah tahu apa alasannya.

"Turunlah, kita coba kamera ini! Dan jangan menatapku terlalu lama, aku ini terlalu mudah untuk di cintai."

Beautiful KOWAD Ready On EbookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang