21

1.8K 371 39
                                    

"Berarti kamu juga tahu Aura jika apa yang aku lakukan ini adalah hal yang terbaik untuk kariermu, kamu sudah lihat bukan, berdekatan dengan manusia sampah sepertiku akan membuatmu dalam masalah setiap harinya."

Aku menggeleng, tidak setuju dengan cara berpikir Arga barusan, tidak ada manusia yang terlahir dengan label buruk seperti itu.
Sebegitu dalamkah tekanan yang di berikan Ayahnya hingga bisa mempengaruhi seorang yang visualnya begitu slengean sepertinya.

Hatiku berdenyut nyeri melihat bagaimana kondisi Arga yang sebenarnya, semua perlawanan yang dia berikan pada Ayahnya saat di ruang kerja tadi patah dengan kalimat yang serupa dia katakan padaku.

Kenapa dengan para lelaki keluarga Heryawan ini, Pak Wisnu bahkan membentuk Heryawan's Angel di barisan pengawalannya, terobosan yang berbeda dari presiden sebelumnya, kupikir itu adalah bentuk kesetaraan dan juga penghargaan beliau atas pencapaian perempuan yang setara di masa modern ini.

Tapi kenapa di dalam ruangan tadi beliau justru memperlihatkan pandangan lain tentang kami, seolah wanita dengan kekuatan sepertiku adalah sosok yang menakutkan, kekuatan kami seolah menghancurkan harga diri mereka sebagai laki-laki.

Dan bodohnya, pemikiran bodoh seperti itu terpatri dengan kuat di pikiran Arga, membuatku semakin jengkel pada dua laki-laki Heryawan ini.

"Bisa kita bicara berdua sebentar, Mas Arga?"

Lama Arga terdiam, tampak menimbang untuk menerima atau tidak permintaanku barusan.

"Anda sendiri yang bilang kan kalau ini bukan hanya tentang perjodohan kalian, tapi juga tentang karierku yang turut tercoreng karena skandal ini. Karena itu, mari kita bicara sebentar."

Dan saat Arga mengangguk, perasaan lega mengalir mengusir ketegangan yang sejak tadi aku rasakan, tanpa harus di perintah dua kali, Hasan dan Fahri beranjak pergi, menyisakan aku dan Arga di tengah keheningan lorong Apartemen ini.

Kumatikan earphone yang bertengger di telingaku, tidak ingin ada orang lain yang mendengar percakapan kami, hal yang akan membuatku dalam masalah sebenarnya, tapi sepertinya itu bukan masalah lagi karena setelah ini aku akan mendapatkan teguran dari Dewan Kehormatan Militer juga atas masalah yang menimpaku dan menyeret bukan hanya nama pribadiku, tapi institusi tempatku mengabdi.

Desah lelah terdengar dari Arga saat menyandarkan dirinya ke dinding, kantung mata hitam tebal terlihat di wajahnya, dia benar-benar tampak mengenaskan.

Ternyata memang benar, seorang yang paling banyak tertawa dan tersenyum adalah orang yang paling banyak menyimpan masalah.

"Kita hanya punya waktu sampai kita turun ke bawah. Apa yang mau kamu katakan, Letnan."

Aku mengangguk, mengerti dengan waktu sempit yang tersisa sampai kita turun ke bawah dan menghadapi wartawan yang sudah menunggu kami.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku ingin memanfaatkan statusku sebagai Putri dari Rafli Ilyasa, mengabaikan Arga yang kini memejamkan matanya mencoba beristirahat atau justru mengusir pikiran buruk tentang perdebatannya dengan Ayahnya tadi, aku mengirimkan pesan pada Papaku.

Papa, bisa uruskan surat izin buat konpers, aku ingin menjawab semuanya sebagai Putri Papa, bukan sebagai seorang Heryawan's Angel. Dan Aura perlu izin buat ini semua.

"Apa yang akan kamu katakan nanti di luar?" suaraku membuat Arga membuka mata, mata coklat tajam itu berulang kali mengerjap, menatapku begitu lekat untuk beberapa waktu sebelum dia menarik garis bibir sensual itu untuk tersenyum, senyuman yang bahkan tidak sampai ke mata.

"Apa pun, asalkan tidak membuat namamu buruk, aku akan bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan terhadapmu tempo hari."

"Katakan alasannya. Kamu minta aku buat nggak jatuh hati sama kamu, tapi sadar nggak sih Ga, kalo yang kamu lakuin itu bikin anak orang baper. Kamu bisa bilang kayak gitu ke aku, tapi tatapan matamu sama sekali nggak bisa bohong."

Arga mendekat, berdiri tepat di depanku, senyum pura-pura yang sebelumnya ada di wajahnya kini kembali menghilang, berganti dengan raut arogan yang beberapa kali kulihat saat dia mengintimidasi lawan bicaranya.

Ingin rasanya aku menjambak rambut dari seorang Argasatya ini, menyadarkannya agar tidak memperumit sesuatu yang mudah.

"Tahu apa kamu dengan hatiku?" tangan itu terangkat, memberikan isyarat padaku untuk diam dan mendengarkan dia berbicara. "Percaya diri sekali kamu ini menganggapku jatuh hati padamu, aku tidak menyangka jika seorang Letnan hebat sepertimu begitu mudah terbawa rasa padaku. Kamu mau tahu alasanku membelamu sejauh ini, alasannya karena aku ingin bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan, sesederhana itu."

Arga menyentuh pipiku, seringai mengejek terlihat di wajahnya sekarang ini sebelum berbalik pergi, berbanding terbalik dengan sorot matanya.

"Kamu dengar sendiri bukan, jika seorang laki-laki Heryawan adalah pelindung, mana mungkin aku akan jatuh hati pada tameng sepertimu. Jadi jangan GR, Letnan. Aku melakukan semua ini agar tidak merugikan pihak mana pun, pihakku, pihak Ayahku, pihakmu, dan pihak Mutia dan si tua Fajar Hilman."

Aku berdecih sinis memandang punggung tegap yang kini berjalan menjauh dengan angkuhnya.

Ternyata selain menyebalkan, kamu juga pelakon sandiwara yang ulung, sayangnya aku bukan termasuk orang yang akan percaya dengan sandiwara itu.

Kamu bertingkah sebagai kesalahan dalam kesempurnaan Ayahmu, bagaimana jika aku melakukan hal yang sebaliknya, menghentikanmu dari semua sikap yang tanpa kamu sadari telah menghancurkanmu perlahan-lahan.

🔵🔵🔵🔵🔵🔵🔵🔵🔵🔵🔵🔵🔵🔵

Papa sudah mengurus apa yang kamu minta, tidak akan ada yang mempertanyakan ijinmu berbicara. Papa pikir seumur hidup kamu tidak akan membutuhkan Papa.

Aku sudah lupa kapan terakhir kali memakai dress seformal ini, terlebih saat aku melihat bayanganku di lift saat memoleskan lipstik warna coral yang sangat jarang aku lakukan, aku terlalu nyaman dengan segala tugasku hingga aku lupa jika sebenarnya aku adalah perempuan biasa pada umumnya yang senang merias wajah dan memperhatikan berlama-lama wajah cantiknya.

"Kamu di mana, Ra. Mas Arga nunggu kamu buat Konpers, ingat ini pertaruhan kariermu."

Baru saja aku kembali memasang earphone, teriakan keras dari Hasan yang begitu frustasi terdengar di ujung sana, membuat telingaku berdenging sakit.
Ku pijit tengkukku pelan, mengurangi rasa sakit karenanya.

"Gue udah di lift."

Jantungku kini berdetak semakin keras seiring dengan lift yang bergerak semakin turun, bersamaan dengan berita-berita tentang diriku yang begitu buruk. Terlebih saat aku membaca komentar yang menyerbu akun IGku.

Cemoohan tentang aku yang menyalahgunakan posisiku demi menggaet Arga menjadi dominasi komentar, aku tidak menyangka, jika efek Arga yang menjadi bias bagi para wanita begitu besar efeknya padaku.

Dengan apa yang aku lakukan ini, mungkin akan memperkeruh semuanya, entah meredakan atau justru menyulutnya semakin besar.

Tapi melihat bagaimana tersiksanya Arga di bawah tekanan Ayahnya membuatku membulatkan tekad mengambil langkah gila ini, Arga butuh seseorang yang menariknya dari semua tekanan yang membuatnya menjadi begitu buruk.

Tiiiiiinggggg

Tatapanku yang sejak tadi terfokus pada ponsel beralih saat pintu lift terbuka, kerumunan wartawan yang ada di luar lobby sudah menyambutku, persis seperti yang kami perkirakan.

Wajah terkejut Arga dan Hasan, dan juga Paspamres yang kini dalam formasi lengkap dalam konpers ini menyambutku, keheranan karena aku tidak dalam posisi bertugas seperti seharusnya.

Mengabaikan wajah terkejut mereka aku menghampiri Argasatya yang kini melihatku tidak percaya.

"Mari mulai konpersnya, dan kali ini aku sebagai Aura Rembulan, bukan Letnan Aura Ilyasa."

Beautiful KOWAD Ready On EbookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang