12 part II

1.7K 403 23
                                    

"Jadi apa yang sebenarnya bisa hamba bantu, Pangeran."

Seketika wajah merengut Arga menghilang mendengar tawaranku barusan, senyuman jahilnya terlihat kembali di wajahnya yang harus kuakui ketampannya.

Dengan bersemangat dia menarikku menuju kamarnya, benar-benar seperti anak kecil yang begitu antusias ingin menunjukkan mainan baru pada temannya, membuat Hasan dan juga Gesang yang melihat tingkah Arga menjadi keheranan.

Senyuman lega terlihat di wajah Arga barusan, sementara aku di buat kebingungan kenapa dia membawaku ke dalam kamar dengan nuansa hitam dan abu-abu yang begitu pekat ini, sungguh terasa begitu suram, berbanding terbalik dengan sikap slengean Arga yang kutahu.

Atau karena memang aku sama sekali tidak mengenalnya? Entahlah, Arga seorang dengan banyak kejutan yang tidak pernah kupikirkan.

"Ada yang musti aku cek, Mas?" tanyaku sembari kembali memperhatikan sekeliling. Memperhatikan tidak ada yang janggal di kamar mewah ini, lagi pula seharusnya kamar adalah tempat paling aman, sudah pasti Hasan dan Gesang tidak akan luput dalam memastikan keamanannya.

Tapi sepertinya bukan hal itu yang ingin dia minta aku lakukan untuknya, karena detik berikutnya Arga menarik laci kotak besar yang ada di sudut ruangan.

Kotak besar dengan banyak jam mahal di dalamnya, tempat seorang yang hartanya tidak berseri menyimpan koleksi, sama seperti Yudha, sepupuku anak dari Tante Wina. Tapi bukan itu yang menarik perhatianku, deretan dasi berbagai motif yang membuatku terbelalak dan menangkap maksud Arga membawaku ke dalam ranah pribadinya.

"Menurut lo mana yang cocok buat gue hari ini?" aku memperhatikan setelan hitamnya, kemeja slimfit yang tampak begitu mahal, "gue ada meeting penting, dan klien gue kali ini ngeraguin sikap gue yang selama ini selalu bikin onar."

"Memang Mas Arga tukang bikin onar, kan?"

Arga mendengus sebal mendengar celetukanku barusan, berkacak pinggang dengan mata melotot siap menyemburkan kekesalannya padaku.

"Kenapa sih lo suka banget bikin gue sensi? Perasaan gue nggak pernah bikin lo kesal, deh!"

Aku ternganga mendengar nada tanpa rasa berdosa itu, dia bilang dia tidak pernah membuatku kesal? Sama sepertinya yang berkacak pinggang, kini aku pun melakukan hal yang serupa, entah kenapa, baru beberapa detik yang lalu aku mencoba bersabar atas dirinya, tapi di detik berikutnya emosiku sudah tersulut kembali.

Rasanya perdebatanku dengan Arga memang tidak ada habisnya, seperti sekarang ini, Argasatya harus di sadarkan betapa dia sering membuatku jengkel.

"Haloooo, Mas Arga, Mas ini lupa ingatan apa bagaimana? Di mulai dari kamera adik saya yang Mas injak dan sampai sekarang nggak ada kejelasan, Mas Arga yang nyodorin saya ke temannya kek barang hanya karena tanda jadi proyek, dan bukannya nyelesaiin masalah Mas Arga justru tiba-tiba ngomong kalo saya pacarnya Mas Arga. Hayo, itu nggak bikin kesal namanya?"

Arga melongo, berulang kali mengerjap tidak percaya ada yang berani menyemburnya seemosi seperti aku sekarang, tapi bodoh amat, yang penting aku sudah lega mengeluarkan kekesalanku padanya.

"Kamu sadar nggak sih ngomong selantang itu ke anaknya Presiden?"

Tuhkan, jurus andalannya keluar. Benar-benar bikin keki. Tidak ingin memperpanjang masalah dengan manusia menyebalkan si Prince of Fucekboy ini, aku beranjak memutuskan memilihkan dasi untuknya, dan saat aku melihat sebuah dasi silver yang berada di paling ujung, barang tersebut menyita perhatianku.

"Kalo ini gimana, Mas?" tanyaku seolah beberapa detik yang lalu aku tidak baru saja menyemburnya dengan kekesalan.

Dan syukurlah Arga juga melakukan hal serupa, tanpa banyak rewel dan protes akan apa yang terjadi beberapa saat yang lalu, dia langsung mendekat, meraih dasi yang aku ulurkan dan berkaca di cermin, mematut dirinya dengan pilihanku.

"Not bad!" ucapnya kemudian, aku hampir meninggalkannya berniat keluar kamar saat Arga justru mengulurkan kembali dasi itu padaku, "pakaiin!"

"Pakai sendirilah, Mas!" tolakku cepat.

"Gue nggak bisa pakai dasi, Ra."

"Haaah?" aku menggeleng tidak percaya, "bagaimana bisa seorang bisnisman tidak bisa pakai dasi, kalo Hasan yang nggak bisa pakai dasi aku percaya, Mas. Ada kalanya pakai seragam loreng kami atau pakai polo shirt, lha ini Mas Arga. Jangan ngadi-ngadi mau ngerjain saya deh, Mas."

Arga menggeram, tapi wajahnya tampak memerah karena malu, tampak terlihat beban saat ingin mengutarakan alasannya, "gue bisa berbuat apa pun, Ra. Tapi gue sama sekali nggak bisa pasang dasi, lilitannya bikin gue bingung. Sama kek Ayah, lo mau tahu gimana selama ini gue pakai dasi?"

Aku tetap saja tidak percaya apa yang di katakannya, justru alasan paling masuk akal dia yang ingin mengerjaiku.

"Gue selama ini minta tolong sama Hasan, Ra. Dan kalo di kantor gue minta tolong sama Fahri, sekretaris gue tadi. Lo tahu gimana awkwardnya waktu itu terjadi? Bisa lo bayangin apa yang ada di pikiran orang lain kalo lihat kejadian memalukan itu?"

Melihat wajah memelas Arga saat menceritakan hal itu membuatku geli sendiri, tidak bisa kubayangkan betapa canggungnya hal itu saat terjadi di antara dua lelaki maskulin itu.

Menyerah pada wajah memelas Arga untuk kesekian kalinya, aku memilih meraih dasinya, membuat senyuman Arga terbit di wajahnya yang menyebalkan, senyuman mematikan yang membuatnya menjadi bias bagi para kaum hawa, tidak peduli betapa namanya buruk di luar sana.

Tapi saat aku ingin memakaikannya, aku baru sadar, jika manusia menyebalkan ini merupakan laki-laki dengan postur yang terlalu tinggi, bahkan untukku yang mempunyai tinggi 167cm.

"Nunduk, Mas. Kalo nggak cariin apa gitu kek biar sejajar."

Arga kembali tertawa melihatku yang melayangkan protes atas tingginya, dengan cepat dia sedikit menunduk membuatnya sejajar denganku, Arga tidak tahu saja, jika jantungku sudah kebat-kebit tidak karuan, nyaris lepas saat aku harus berdekatan dengannya, terlebih saat wangi maskulin menguar berlomba-lomba masuk ke dalam hidungku tanpa tahu malu.

"Kamu ternyata kecil ya, Letnan Aura. Pantas saja gendong kamu sama sekali nggak berasa."

Setelah beberapa saat hanya berfokus pada dasi yang ada di hadapanku, berusaha keras agar tidak menatap matanya, kini tatapan mata kami bertemu, membuatku kembali bisa memperhatikan betapa tajamnya mata hitam tersebut, bola mata coklat yang terlihat angkuh itu kini berpendar hangat.

"Anda yang terlalu besar, Mas. Postur tubuh seperti Anda lebih cocok menjadi seorang Prajurit."

Kekeh tawa seorang Arga kembali terdengar untuk kesekian kalinya hari ini, dan dari jarak sedekat ini aku bisa melihat lesung pipi kecil di sudut bibirnya.

"Aku nggak berminat menjadi seperti Kakekku, Aura. Aku memilih jalan menjadi seorang pebisnis untuk berjuang."

Untuk terakhir kalinya aku menarik simpul dasinya, membuatnya menjadi begitu rapi. Dan saat aku berniat mundur, aku kembali harus mendengar kalimat singkat yang membuat jantungku jumpalitan.

"Kamu punya mata yang indah, Aura. Sudah berapa banyak laki-laki yang terpikat dengan keindahannya?"

Beautiful KOWAD Ready On EbookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang