14

1.6K 347 13
                                    

"Siapa yang kamu sebut playboy?"

Setelah sekian lama mengenal Hasan dan Aria, kini aku paham kenapa dua manusia yang sama-sama pendiam ini begitu cocok, ternyata dunia manusia ini mempunyai sisi menyebalkan yang sangat parah.

Lihatlah sekarang ini, melihatku mati kutu kebingungan karena pertanyaan dari Arga, Hasan justru tersenyum kecil, tampak menikmati kebingunganku.

Perlahan aku berbalik, menatap Arga yang tampak begitu penasaran karena aku yang tidak kunjung menjawab. Dengan wajah arogan khas dirinya jika menanyakan sesuatu, dia berkacak pinggang, membuatnya semakin terlihat mengintimidasi untukku.

Untuk sejenak aku terdiam, memikirkan kenapa nyaliku mendadak menciut karena Argasatya, dan setelah beberapa saat kemudian aku tersadar, seorang Argasatya tidak boleh mempengaruhiku, aku menunjuknya, tepat di depan wajahnya, nyaris saja telunjukku mencolok hidungnya jika saja Arga tidak reflek mundur.

"Anda yang playboy, Mas."

Arga ternganga, begitu juga dengan Hasan yang tidak menyangka aku akan menyuarakan apa perkataanku tepat di depan wajahnya langsung.

"Lo ngatain gue playboy? Waaah, besar sekali nyalimu, Letnan."

Aku langsung menunjuk Hasan, "Hasan juga bilang kayak gitu."

Reflek kudapatkan toyoran dari Kasuhku ini, tidak sakit tapi cukup membuatku meringis. "Sembarangan! Enak saja main lempar kesalahan."
Aku tersenyum lebar padanya, memamerkan gigiku berharap jika Hasan akan membantuku keluar dari suasana canggung dari Buaya satu ini, sayangnya Hasan adalah manusia yang tidak peka, karena detik berikutnya dia justru meninggalkanku. "Saya ambil mobil dulu, Mas Arga."

"Ikut, San!" aku berbalik, ingin mengikuti Hasan yang sudah berjalan dengan cepat, sayangnya baru saja aku berbalik, lagi-lagi tarikan kudapatkan di kerah kaos poloku, sepertinya ini memang kebiasaan baru Arga terhadapku.

"Nggak usah meringis, lo nggak cukup imut buat bikin mimik wajah kayak gitu di depan Hasan."

Kusentuh kedua pipiku, merasa tertohok dengan kalimat Arga, dan tanpa aku sadari aku berkaca pada dinding kaca di sebelah kami, memperlihatkanku yang berdiri di samping Arga, tampak begitu kontras jika kami bersisian, benar-benar gambaran seorang babu dengan majikannya.

Terlebih dengan tinggi badan kami yang kontras, dan pakaian kami yang semakin menegaskan perbedaan kami. Argasatya benar, baru kali ini aku merasa buruk atas diriku sendiri, aku terlalu mengejar prestasiku, sampai aku melupakan kodratku sebagai perempuan.

Bahkan seumur-umur aku nyaris tidak pernah berias, alat make up yang aku miliki bahkan hanya moisturizer dan juga lipbalm.

Senyuman yang sebelumnya menghiasi suasana canggung di antara kami berubah menjadi senyuman masam, "nggak usah di perjelas, Mas Arga." Aku berdeham, berusaha senormal mungkin, aku tidak ingin laki-laki yang sedang kebingungan dengan perubahan raut wajahku ini tahu, jika apa yang baru saja dia katakan cukup menyentil sudut hatiku.

"Lo tersinggung sama kalimat gue barusan?"

Aku yang hampir saja melangkahkan kaki mendahuluinya kembali berhenti saat mendengar pertanyaan dari Arga barusan.

Kembali untuk pertama kalinya aku merasa aneh pada diriku sendiri, hanya satu kalimat yang sering kali di ucapkan orang karena aku yang terlalu tomboy, kini aku baper berlebihan, dan buruknya aku merasa jika aku buruk sebagai wanita.

Nyaris saja aku berbalik menghadapnya kembali saat sentuhan kurasakan di rambutku, bukan hanya menyentuh rambutku, tapi dia juga menarik ikatan rambutku, membuat kunciranku terlepas dan rambut panjangku jatuh tergerai.

Aku membeku di tempat karena apa yang di lakukannya, dari pantulan kaca di cermin, aku bisa melihat Arga yang tersenyum sendiri melihat ikat rambutku yang kini ada di tangannya.

Belum sempat aku menyadarkan diri atas sikapnya yang tiba-tiba, rangkulan hangat kudapatkan di bahuku, dan senyuman khas seorang Arga terlihat di wajahnya saat melihatku tidak bisa berkata-kata.

"Jangan tersinggung, kamu sebenarnya nggak cocok dengan pakaian seperti ini, Nona Judes. Selain punya mata yang bagus, rambutmu sayang kalo harus di ikat."

Sudut bibir laki-laki menyebalkan ini terangkat, tanpa merasa berdosa sama sekali sudah membuat jantungku berolahraga pagi-pagi dengan sikapnya yang tidak terduga.

"Nah begini jauh lebih baik, Nona Judes. Kamu pundan tampilanmu jauh lebih manusiawi sekarang ini, kamu tahu, aku sudah cukup stres dengan wajah kaku Hasan, jangan membuatku semakin sakit mata dengan penampilanmu yang seperti laki-laki." aku melongo, tidak menyangka jika hal sebodoh ini yang menjadi alasan Arga mengurai rambutku.

Aku menghela nafas panjang, berusaha mengumpulkan kesabaranku yang sepertinya mulai sekarang akan banyak di uji, bukan hanya kesabaran, tapi juga kesehatan jantungku.

Sebisa mungkin aku bersikap tenang, tidak ingin membuat Arga besar kepala karena sukses membuatku salah tingkah.

"Aku masuk barisan untuk menjagamu, Mas Arga. Bukan menyegarkan pandangan matamu. Dan tolong jaga sikapmu, Mas Arga."

Perlahan aku mendorong dadanya untuk mundur, membuat jarak agar dia memberiku ruang untuk sedikit bernafas. Kadang aku masih suka terkejut sendiri dengan sikap Arga yang tiba-tiba, bagiku segala hal yang di lakukan Arga lebih berbahaya dari pada serangan teroris sekali pun.

Tapi bukan Arga jika tidak membuatku emosi, bukannya menjauh seperti yang aku peringatkan padanya, dengan lancang Arga justru berjalan mendekatiku lagi, membuatku turut mundur hingga terantuk meja, andaikan saja ini bukan di tempat umum, sudah pasti aku akan memukul wajahnya yang sialnya terlalu tampan dan menyebalkan itu.

Sayangnya sekali pun ini tempat privat, masih ada beberapa mata yang melihat walaupun mereka terlihat tidak peduli.

Dan yang paling menyebalkan dari semuanya adalah Arga yang tampak begitu puas melihatku tidak bisa memberinya pelajaran, dalam hatinya dia pasti sudah begitu girang karena bahu dan tulang keringnya selamat dari pukulanku. Sungguh menyebalkan.

"Kenapa sih kamu ini, Ra? Sensi banget hari ini, kamu marah-marah karena aku ganggu kamu lagi PDKT sama Hasan?"

Aku? PDKT dengan Hasan? Astaga, sekarang aku meragukan kejeniusan Arga dalam berbisnis, haruskah aku menjelaskan dengan gamblang padanya jika aku tersinggung karena dia mengejekku jelek secara tidak langsung?

Bolehkah aku menghantam wajahnya itu kuat-kuat, agar otaknya berjalan dengan normal dan sadar jika kadang kalimatnya menyinggungku.

"Kenapa gigimu gemeltuk, Ra? Apa aku salah ngomong lagi? "

Astaga, kenapa dia masih bisa bertanya sepolos ini sih setelah nyaris membuatku menjadi seorang kanibal saking gemasnya aku terhadap sikapnya yang kelewat nggak peka ini.

"Mas Arga pernah di seruduk cewek saking kesalnya nggak, Mas?" tanyaku pelan, begitu lirih karena aku menutup rapat, aku khawatir jika aku terlanjur membuka mulutku, aku akan meneriaki dan memaki-maki dia atas sikap tololnya barusan.

Astaga, Aura! Sabar, sabar! Baru beberapa detik yang lalu kamu mau belajar mengenal sisi baik Arga, dan beberapa menit kemudian kamu sudah memikirkan dengan matang bagaimana cara memutilasinya.

Sayangnya kekehan tawa Arga justru menyambut kekesalanku yang memuncak, dan kembali dengan lancangnya melingkarkan lengannya pada bahuku dan setengah menyeretku keluar dari restoran.

"Ternyata godain kamu nyenengin juga, Ra. Kamu jauh lebih menggemaskan jika sedang marah. Dan jauh lebih menyenangkan dari pada kabur-kaburan. Mau aku kasih hadiah karena sudah ngehibur aku?"

Punggung tegap itu melewatiku tanpa pernah dia tahu jika apa pun yang dia lakukan sudah mendobrak segala hal yang kubataskan pada dirinya.

Hasan memang benar, sekali pun kamu memang menyebalkan, tapi kamu benar-benar berbeda.

Beautiful KOWAD Ready On EbookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang