Pernikahan

690 54 3
                                    

Hari ini, aku sudah memakai gaun terbaikku, rancangan dsainer ternama. Aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Dari sepuluh tahun banyak teman-teman ku yang ingin mengajak reoni, baru hari ini aku sangat merasa antusias.
Setelah selesai dengan segala riasan, aku siap untuk pergi ke pesta yang sedang dinanti-nanti oleh mereka. Tidak lupa, sebelum turun aku memakai kacamata minus yang sudah dimodifikasi dengan lensa photocromic. Karena acara mereka di adakan di tempat terbuka. Jadi, tidak ada salahnya terlihat lebih dominan.

Aku turun dari mobil, dan berjalan dengan elegan.  Beberapa teman meneriakkan namaku, dari mereka kebanyakan orang yang dulunya sering.membicarakanku di belakang. Aku tidak punya Indra ke enam, sahabatku lah yang mengatakannya. Aku jelas percaya. Saat itu, rasanya tidak ada teman setulus dia. Di saat yang lain, selalu mencercaku, karena fisik yang tidak bisa diterima kebanyakan manusia yang merasa sangat sempurna.

Mereka rata-rata sudah memiliki anak, ada yang sedang mengandung, ada yang sudah memiliki anak dengan seusia TK, sementara Aku? Datang sendiri, dan tidak sedang mengandung, apalagi membawa anak. Sial. Kenapa aku tidak terpikirkan sampai sejauh itu.

Mereka berbasa-basi dengan mengatakan kangen. Tapi mata mereka lebih tertarik dengan muka  dan segala brand yang kupakai. Aku tidak peduli, tujuanku adalah mengatakan pada semua orang yang mulai khawatir denganku ketika mereka mendapatkan surat undangan yang sama seperti yang dikirim untukku, seminggu yang lalu, di kantor.

Bayangkan, sahabat sendiri menikah dengan mantan pacar sahabatnya. Sedih? Enggak. Marah? Enggak. Kecewa? Banget! Tapi mau menyalahkan siapa? Jodoh yang mengatur Allah. Biarakan semua berjalan seperti semestinya. Jika itu memang membuatnya bahagia, ya aku juga ikut bahagia, sekalipun bulshit!

Setelah cipaka-cipiki, kami mendengar suara master of seremoni memulai acaranya. Aku berdiri di bagian belakang si penghulu, sengaja biar Raka bisa melihatku. Melihat perempuan yang sudah dia sakiti sampai sedalam-dalamnya.

Raka hendak mulai mengucapkan ijab qobul, dia sempat melihat ke arahku, tatapan mata kami bertemu, aku bisa melihat dari balik kacamataku ada mata Raka yang berkaca-kaca. Tatapan kami, seakan menembus kacamata yang kupakai, aku menahan dengan sekuat tenaga, agar tidak mengatakan untuk berhenti pada Raka, aku lupa, mana mungkin Raka melihat mataku dengan jelas. Dia memejamkan matanya,  sebelum akhirnya menjabat tangan Ayah Nea, semua larut dalam suasana sakral ini, dengan satu tarikan nafas Raka mengucapkan janji suci itu. Ada yang tertawa bahagia, ada yang menangis karena terharu dan ada aku yang bingung harus berekspresi seperti apa. Setelah selesai, semua bubar dari tempat, karena pengantin harus naik taman pelaminan.

"Gak nyangka banget ya," perkumpulan ini dibuka oleh suara orang yang dulu ketika dikelas paling rame soal gosip. Jadi, kalau cari gosip nanya dulu sama dia kebenarannya. Dan aku selalu jadi topik terasik, untuk mereka bicarakan, apalagi, setelah kabar aku berpacaran dengan Raka tersebar. Wooo, semua merasa sedang menonton film si ganteng dan gadis buruk rupa.

"Kalau gue jadi Lo, ogah banget  datang ke sini. Lo gak harus datang Rin, sayangin diri Lo sendiri,"  Manusia sok bijak. So merasa dia ada di posisi kita, padahal di belakang ngetawain sambil guling-guling.

"Gue datang untuk kangen-kangenan sama kalian, yang udah berusaha mencari gue selama 10 tahun ini."
Skak Mat! 

Walaupun aku gak ikut kumpul, bukan berarti Nea gak kasih tau apa aja yang mereka ucapkan. Siapa Nea? Sahabatku. Ya benar.
Aku sekarang ragu, apakah semua yang diucapkannya dulu benar, atau hanya dongeng semata. Untuk membuatku sekedar bahagia.

"Tapi gue penasaran deh, Lo udah beneran move on dari Raka? Padahal taun lalu, si Raka masih keliatan nyari Lo banget. Gue kira dia perjuangin Lo, ternyata cuma alasan supaya bisa deket sama Nea doang."
Aku menaikkan kaca mataku yang sedikit menurun, rasanya terik matahari tidak sepanas ucapan teman-temanku.

"Si Sendi kalau ngomong, Rara kan udah cantik sekarang, gampang cari yang kayak Raka, bahkan lebih dari Raka juga bisa, iya kan Ra?"
Rara? Sudah sangat lama, aku tidak pernah mendengar orang menyebutku dengan sebutan itu.

"Hmm,"

"Terus, kenapa datang sendirian?" Selalu ada manusia yang pendiam, dari suatu perkumpulan, tapi kalau sudah bicara dia yang paling menyakitkan dibandingkan yang cerewet sekalipun.

"Dia itu datang sendirian, sengaja gak mau pamer lakinya yang lebih ganteng dari Raka."
"Emang bener Ra? Posesif banget, takut diambil lagi ya?"

Suara tawa mereka, sangat menjengkelkan untukku. Harusnya sih, aku minta teman kantor untuk menemaniku, tapi gengsi.

"Sayang, kok ada di sini?" tanya seseorang yang tiba-tiba saja, melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku bingung, siapa lelaki ini, sama sekali tidak kenal.

"Pak Azka?  Pacar Rara? Serius?" Sendi yang bertanya bak petasan sunatan itu membuatku sedikit tercerahkan. Jadi, Azka namanya, bos Sendi. Entah apa maksud Lelaki ini sebenarnya.

"Seperti yang kalian lihat, Saya permisi dulu ya? Ayo sayang."

Aku berusaha melepaskan tangannya dari pinggangku.
"Saya tau, kamu masih butuh saya, setidaknya sampai selesai salaman dengan  mereka."
"Tapi saya tidak kenal dengan Anda."
"Saya azka."
"Saya gak peduli namamu siapa, lepaskan."

Bukan melepaskannya, dia malah semakin erat mencengkram pinggangku yang ramping. Membawaku naik ke pelaminan Bea dan Raka, acara salaman sedang sepi, karena kebanyakan dari mereka sudah mengucapkan selamat, dan sedang menyantap hidangan.

Kedua mempelai itu tampak canggung, mungkin mengundangku ke acara mereka ini, hanya basa-basi dan mereka berpikir aku tidak akan datang, sayang sekali mereka salah.

Mata Raka tidak bisa lepas dari pinggangku yang masih dirangkul oleh eum Azka, entahlah siapa. Rahang Raka terlihat mengeras. Aku sudah tidak menduga bahwa lelaki ini masih memiliki perasaan untukku, toh bagaimanapun, sekarang Raka sudah dimiliki dan memiliki Nea seutuhnya.

"Selamat ya Nea sahabat terbaikku, akhrinya kamu nikah juga, aku doain kalian langgeng sampai maut memisahkan, mimpi kamu akhirnya tercapai, menikah dengan suasana outdoor begini, aku jadi kepikiran juga buat nikah dengan suasana begini,"  ucapanku biasa saja bukan, gak ada yang aneh. Jika ada yang mereka takutkan maka aku tidak akan mengabulkannya.

Nea memelukku, dan mengatakan kata maaf dengan suara yang seperti menahan tangis, mungkin dia ingin menangis, tapi ditahan, make up mahalnya sayang banget kalau kena air mata, sekalipun gak akan luntur tapi kan jadi kurang bagus keliatannya.

Aku tidak membalas ucapannya, justru segera melepaskan pelukan kami, aku merasa punggungku sedang dielus seseorang, seakan menarikku kembali pada kenyataan, padahal tadi aku sempat luluh, tapi aku yakin aku kuat. Aku sudah tidak ingin menjadi bodoh dan kembali terjebak.

Nea terlihat kaget, aku melepaskan pelukan kami, dan tidak mengatakan apa-apa lagi, aku langsung berjalan satu langkah, agar bisa berhadapan langsung dengan Raka, kemarin saat di halte, cuacanya sedikit gelap karena matahari tertutup awan hujan, Aku hanya memastikan bahwa yang menikah dengan sahabatku adalah Raka yang memiliki tahu lalat di ujung matanya atau tidak, jika tidak ada, berarti ini hanya kembaran Raka atau siapalah yang mungkin mirip dengannya. Sayang sekali, ternyata tanda itu ada, dia benar-benar Raka.

Rakanya yang dulu, selalu meminta untuk digenggam tangannya, saat aku selalu merasa minder jika sedang  jalan-jalan dengannya yang selalu dapat tatapan memuja dari perempuan, sementara aku, dapat tatapan hujatan. 

Haloooo guysss, gimana? Gimana? Masih mau stay?
Jangan lupa like dan komen yaa :)
Love you all, kalau likenya meningkat terus, aku update tiap hari.

Direktur Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang