Dinner

219 28 0
                                    

Rin sudah memakai gaun terbaik menurutnya, pakaian ini mungkin terlalu mewah hanya untuk makan malam bersama gema, itu pikiran Azka. Kok Azka? Ya dia dari tadi belum pulang, alasannya sih katanya supirnya sakit perut, tapi kan masih banyak yang lain, yang bisa menjemputnya pulang.

"Cantik sekali cks." Kesal Azka, dalam gumamannya melihat Rin, dari mulai sepatu sampai rambutnya yang sangat rapi.

"Kenapa? Masalah. Udah dari dulu kok cantiknya," ujar Rin, dengan tingkat kepercayaan diri yang sangat amat tinggi.

"Itu kan karena kamu berusaha terlihat sempurna di mata orang." Gerutu Azka yang masih belum bisa melepaskan pandangannya pada leher jenjang Rin.

Rin mengibaskan rambutnya.
"Ya terus, apalagi yang bisa mereka lihat, kalau bukan penampilan, saya gak mau capek-capek berbuat baik, tapi ujung-ujungnya dikhinatanin. Biarlah, mereka lihat saya dari segi penampilan. Toh gak akan merubah apapun."

"Kamu gak takut masuk angin?" Pertanyaan Azka membuat Rin memutar bola matanya.

"Kamu tinggal di luar negeri bagaian mana sih? Kok ngeliat penampilan begini aja takut masuk angin. Bukannya di sana, jauh lebih bebas."

"Mereka kan sudah terbiasa, tapi kamu?" Azka tampak meragukan Rin akan tetap baik-baik aja setelah memakai gaun itu.

"Saya lebih dari terbiasa. Puas?"
Rin mulia berjalan keluar dari ruang tamu, dia membukakan pintu, agar Azka keluar dari sana.

Azka mengerti dia berdiri dan berjalan ke arah pintu, yang knopnya sedang Rin pegangi itu, dia bukan berjalan keluar, tapi ke depan Rin, tepat di hadapannya, napas mereka juga terdengar samar, saking dekatnya.

Rin sedikit kaget serta panik, kenapa juga Azka ada di depannya. Bukan keluar rumah.

"Azka!" Dengan kesadaran penuh Rin segera mendorong Azka, dia takut lelaki itu khilaf.

"Kenapa?" tanya Azka.

"Siapa tau ada setan' lewat, nanti kamu nyerang saya." Jawaban jujur itu, membuat Azka tersenyum evil.

"Lalu, kenapa berani pergi dengan pakaian seperti itu? Kamu sengaja? Biar dikhilafin orang?"

"Saya kan sama gema."

"Emang gema apa? Emang dia gak bisa khilaf?"

Rin diam. Gema gak mungkin kurang ajar kayak Azka.

"Saya tau, gema orang baik."

"Lalu, orang baik gak bisa khilaf? Ngaco!"

"Ya terus? Kenapa anda repot sekali sih, kenapa?" Rin sudah mulai emosi.

Rin selalu melakukan apa yang dia mau, selama ini tidak ada yang berani mengaturnya, eum lebih tepatnya tidak ada yang perduli dengan apa yang dia lakukan. Dia juga lupa, pada keluarganya sendiri, karena memang tidak ada keluarga seperti definisinya.

Dia berdiri sendiri, dihakimi, dicemooh, semua hal yang bisa baginya, jatuh bangkit, terluka mengobati sendiri, semua serba sendiri, dan saat Azka datang, dia merasa terlalu diatur.

"Saya perduli sama kamu." Perkataan Azka dibawakan dengan nada yang sangat berat, seakan ini hal yang sangat serius.

"Saya tidak perduli pada anda."

Azka yang entah kapan sudah kembali ada di hadapannya dalam jarak dekat itu, menggebrak pintu dengan satu tangannya, yang membuat Rin melompat kecil, matanya pun reflek menutup.

"Anda itu benalu, anda merusak hidup saya yang tenang, mood saya yang baik, dan apapun yang saya lakukan adalah anda ikut campur terus. Ini bukan cara mencintai."

"Kali begitu, ajari saya untuk bisa mencintai kamu dengan benar, seperti yang kamu ingin."

Tatapan mereka terkunci. Kenapa, harus Azka yang berusaha mencintainya.

Direktur Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang